Kerjasama Lintas Spesies:
Paradigma Baru Mengatasi Perubahan Iklim
Faiz Manshur Ketua Odesa Indonesia
Jika kita hanya mampu bekerjasama dengan sesama manusia itu tandanya pengetahuan kita masih terbelakang. Pasalnya, syarat terciptanya keberlangsungan hidup manusia tak akan cukup jika hanya melakukan kerjasama antara manusia, melainkan butuh melakukan kerjasama antar spesies termasuk tanaman dan hewan.
Perubahan iklim dengan rupa-rupa tragedi yang terjadi saat ini semestinya dilihat melalui pendekatan interdisipliner dengan menyertakan masalah-masalah ekologis sebagai fakta sosial, dan lebih dari itu, diperlukan juga sikap empati terhadap tanaman dan satwa.
Sudah saatnya kita memperluas cara pandang yang lebih maju dengan mendesain program kerjasama lintas spesies dengan melibatkan monyet, kadal, ular, tikus, cucak rawa, dan aneka ragam pepohonan. Landasan berpikir ekologis ini mudah kita terapkan karena kita bisa menarik pengetahuan dari sejarah dan sains.
Argumen Logis Kerjasama Lintas Spesies
Kita mulai pembicaraan ini dari hakikat kerjasama yang esensinya adalah ajaran, bukan sekadar terminologi. Ia dibutuhkan sebagai cara pandang oleh setiap perkumpulan manusia sejak zaman purba.
Para filosof di zaman klasik memulai dengan memunculkan petuah-petuah bijak. Teks-teks kitabiah keagamaan menganjurkan agar umatnya saling kerjasama satu sama lain. Hingga era modern sekarang kini, kalau kita bicara urusan organisasi, perusahaan, atau negara, tak boleh melupakan gagasan “ajaran kerjasama”. Mengapa?
Pertama, dari sisi eksakta, apa yang disebut hukum gerak kebendaan saling terkait dari unsur satu dengan unsur lain. Saling terkait adalah situasi objektif yang didalamnya memuat interkoneksi. Kedua, dari sisi biologis, semua makhluk hidup berkembang dalam situasi kolektif. Jika ada spesies yang hidup tetapi minim kerjasama- apalagi jenis spesiesnya lemah- maka hukum alam akan mengantarkan kepada takdir sebagai spesies yang mudah punah.
Selain argumentasi dari dua sumber pengetahuan tersebut, pengetahuan materialisme-dialektis juga telah membuka cakrawala kepada kita tentang hakikat kerjasama dengan doktrin komunitarianisme-nya. Materialisme-dialektis ini meyakinkan kita bahwa strategi kerjasama adalah kebutuhan objektif setiap spesies karena lahir dari kebutuhan naluriah, alias bukan strategi yang dibangun di atas pikiran idealis. Semakin kuat kerjasama semakin kuat kesintasan setiap spesies. Itulah mengapa sains hingga agama tidak menentang “ajaran kerjasama”.
Paradigma Baru: Dari kerjasama Antar Manusia ke Antar Spesies
Sayangnya, selama ini kita membatasi pengetahuan tentang kerjasama terbatas pada relasi antar manusia. Niat dan targetnya pun terbatas untuk tujuan melayani kepentingan manusia (homosentris).
Misalnya kita belajar kerjasama dari kehidupan jamaah kerbau di padang rumput. Jika ingin selamat, maka petunjuknya adalah jangan terpisah dari kerumunan karena bisa dimangsa hewan buas. Kita pun belajar dari singa -yang supaya terpenuhi makan dan minum- harus berkoloni secara kompak.
Begitu pula kita bisa belajar dari monyet yang punya kolektif dan terpimpin untuk sebuah pembagian makanan yang adil. Selain itu, satu pelajaran yang baik juga kita dapatkan dari cara hidup lebah. Lebah -sekalipun hewan kecil- karena kesediaannya berorganisasi secara disiplin, pada akhirnya memberi dampak besar bagi tanaman dan satwa lain. Keberhasilan produksi tanaman penghasil bunga dan buah mustahil berjalan baik jika tidak menyertakan lebah. Belajar dari lebah kita dapatkan kecerdasan emosional yang karena ketaatan berjamaahnya mampu melahirkan sikap altruis dengan penyerbukannya.
Semua pelajaran itu berharga. Sayangnya “harganya masih murah” karena kita belum bisa beranjak level dari sekadar menyusun strategi kerjasama antar manusia ke strategi kerjasama antar spesies. Kalau sekarang muncul istilah ngetren kolaborasi, maka kolaborasi yang paling penting dilakukan adalah melibatkan tanaman dan hewan.
Bukankah pada saat kita akan menjalankan kerjasama senantiasa bertanya, siapa yang akan kita ajak? Mengapa paradigma kerjasama hanya pada tataran lintas mazhab, lintas agama, lintas etnik, lintas negara dan lintas bangsa. Ini adalah pola pikir terbelakang. Bisa jadi kalau berhasil dalam mewujudkan kerjasama itu, maka yang mendapatkan rahmat hanyalah manusia, tetapi belum merahmati alam.
Jika kita meluaskan pembacaan atas perubahan iklim yang di dalamnya terdapat krisis pangan dan kerusakan lingkungan, hal tersebut karena manusia tidak menaruh empati pada botani dan satwa. Manusia terlalu fokus pada “ego-kemanusiaan” dan belum punya fokus pada “ego-ekologi”. Kita juga mengenal hukum alam yang saling berkaitan, tetapi semua kaitan yang ada, dalam praktiknya hanya diarahkan untuk keperluan manusia. Semestinya juga kebutuhan alam terpenuhi. Sudah saatnya kita menggeser doktrin “mengambil manfaat bagi kita (manusia)” ke arah doktrin baru; “setiap spesies harus sama-sama mendapatkan manfaat.”
Cara Kerjasama Lintas Spesies
Jika kita tidak segera mengubah paradigma ke arah kerjasama lintas spesies niscaya kita akan saling menyalahkan satu sama lain -sementara letak kesalahan paling mendasar adalah tidak menyertakan tanaman dan satwa..
Ada tiga prinsip yang penting untuk menegakkan kerjasama ekologis ini:
1) Rasa aman dan mendapatkan manfaat. Semua pihak yang berada dalam ruang lingkup kerjasama harus sama-sama merasa aman, merasa punya kebebasan untuk aktualisasi hidup, dan masing-masing harus mendapatkan keuntungan. Jika tanaman dan hewan tidak aman dan tidak mendapatkan manfaat, mereka akan kabur atau mati. Tanaman atau hewan memiliki kemampuan mengembangkan diri secara massif manakala mereka merasa aman dengan jaminan pangan yang tercukupi dan jaminan keamanan dalam reproduksi sehingga kerja evolusionernya berjalan lancar.
2) Saling percaya satu sama lain. Terhadap aneka ragam tanaman kita bisa meletakkan kepercayaan bahwa mereka adalah aktor penting dalam produksi pangan, dekarbonisasi dan pemicu timbulnya keanekaragaman satwa. Untuk itu kita harus menyelenggarakan kesempatan mereka hidup berkomunal, sumber air yang memadai, dan aman dari bencana terutama saat masih usia muda. Kalau pemenuhan dasar ini ada, maka pohon akan cepat sekali tumbuh berjejaring dan secara otomatis akan mengundang aneka ragam satwa hadir dalam lingkungan pepohonan.
3) Keberagaman. Terhadap pohon dan hewan kita pun harus menaruh empati atas nasib mereka dan generasinya. Mereka seperti manusia, perlu koloni untuk bergotong-royong satu sama lain untuk saling melindungi, saling memasok dedaunan (kompos), saling mengirim sumber makanan melalui jaringan akar, dan bahkan dibantu berjejaring melalui proses penyerbukan dari lebah dan tawon dan spesies-spesies kecil lain yang berkeliaran di udara. Lahirnya koloni botani juga akan mendorong perkembangbiakan satwa di dalam tanah. Dengan kata lain, kita harus membangun ekosistem dengan target keanekaragaman hayati. Itulah mengapa dalam budidaya pertanian harus polikultur, bukan monokultur.
Berpikir dan bertindak ekologis dalam menghadapi badai perubahan iklim adalah keharusan. Kita juga tidak bisa lagi berpikir pragmatis asal masih punya uang secara otomatis akan mudah menyelesaikan urusan makanan. Itu bukan perilaku bijaksana karena urusannya sekadar pemenuhan kebutuhan dasar biologis.
Untuk lebih mencapai hidup yang sejahtera dan terhindar dari bencana perubahan iklim, saatnya kita harus bekerjasama dan memberikan kesempatan berkembang berkelanjutan bagi tanaman dan satwa. Secepatnya pendidikan kita harus menerapkan doktrin ini (dalam kurikulum sekolah).[]
Penulis: Faiz Manshur
Admin: Fadhil Azzam
Baca Tulisan Lain dari Faiz Manshur:
Berdamai Dengan Alam Sebagai Solusi Hidup Manusia
Lagu Ilir-Ilir Sunan Kalijaga Memuat Karakter Pengembangan Diri dan Ekologi
Memperbaiki Politik Memperbaiki Ekologi
Pohon Berbicara Satu Sama Lain