Oleh FAIZ MANSHUR Ketua Yayasan Odesa Indonesia IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Kehilangan modal alam kurang disadari sebagai faktor penentu
Pada obrolan siang sehabis menata tanaman, saya bertanya kepada Kang Toha, seorang petani yang aktif di Yayasan Odesa Indonesia, tentang situasi petani di sekitar kampung halamannya di Waas Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Karena saat ini musim tanam, Kang Toha bercerita tentang modal usaha para petani. Salahsatu yang menjadi perhatian adalah soal tetangganya yang menghutang Bank sebesar Rp 50juta.
Karena saya sudah tahu luas tanah yang digarap petani tersebut, saya langsung bereaksi.“Celaka!. Mengapa memodali lahan seluas itu harus butuh uang sebanyak itu? Mestinya tidak semua harus belanja. Kalau gagal panen, nanti bermasalah lagi,” kata saya.
Kang Toha mengangguk dan menjawab, “ya memang begitu. Kecanduan ngutang. Senang kalau dapat uang, tapi tidak mau mikir saat mengembalikan.”
“Coba Kang Toha, semestinya berapa kebutuhan yang pasti untuk memodali lahan seluas itu?” tanya saya.
Kang Toha menjawab, “kalau saya cukup 15juta dengan catatan airnya (irigrasinya) dibenahi terlebih dahulu supaya pekerjaan murah, benih jangan sampai beli, dan jenis tanamannya jangan satu sebab kalau gagal satu gagal semua. Dan yang penting uang hutang itu jangan digunakan untuk urusan di luar usaha tani,” katanya.
Kang Toha juga bilang, sekarang ini bank lebih mudah mengucurkan bantuan kepada para petani. Tetapi menurutnya, hal itu bisa menjebak petani dalam lilitan hutang. Sebab masalahnya bukan soal bunga bank yang rendah, tetapi lebih pada persoalan pengembalian bulanan. Tidak ada satu pun komoditi pertanian yang bisa tepat setiap 30 hari dipanen.
Sayuran yang paling cepat, yakni 35 hari panen pun membutuhkan waktu kerja 60 hari karena urusan bertani bukan sekadar menancapkan benih ke lahan lalu tumbuh kemudian panen. Ada persoalan durasi waktu untuk persiapan tanam. Ada juga kemoloran waktu tanam karena petani masih bergantung pada hujan. Dengan kata lain, sistem pembayaran kepada bank konvensional tidak realistis untuk modal usaha tani.
Logika Modal
Di luar itu, urusan menghutang memang menjadi masalah besar karena kesalahan-kesalahan pengaturan keuangan pada para petani. Kami mengetahui hal tersebut karena sering berbicara dengan ratusan petani dengan cara rinci. Ada kenyataan para petani selalu merasa kepepet sehingga hasrat ngutangnya menabrak akal sehat. Keuangan para petani seringkali kacau balau, dan kita menyebutnya itu akibat rendah literasi. Konkretnya, lemah dalam logika perhitungan dan psikologi saat berhadapan dengan uang.
Benar setiap usaha butuh uang. Masalahnya uang bukan satu-satunya modal yang menentukan. Orang yang awam soal wirausaha sering kali lemah dalam perhitungan atau lebih tepatnya memahami keadaan objektif dan membuat klasifikasi. Akibatnya semua persoalan ditanggapi dengan cara pandang berbasis finansial. Dampaknya ialah pemborosan, tidak efisien dan seluruh energi pikiran terkonsentrasi untuk mengurus beban finansial.
Sesungguhnya, di luar urusan modal uang, kita juga perlu membicarakan modal lingkungan, terutama alam. Ada situasi kerusakan lingkungan yang membuat setiap usaha petani rawan bangkrut;
1) Kerawanan akibat rendahnya kualitas manusia. Ini bencana paling dasar dari sebuah usaha permanen di mana para petani tidak memiliki tabungan benih/bibit dan pupuk. 2) Keadaan air (irigrasi) yang sulit sehingga memboroskan tenaga kerja dan mengurangi kemampuan produksi tanam, 3) Tenaga kerja semakin mahal sementara petani belum mengganti dengan mesin, 4) Perubahan iklim menciptakan siklus perjudian tersediri yang bisa merusak panen petani dalam waktu singkat. 5) Belum terhubungnya produk dengan kepastian harga di perdagangan. 6) Bekerja individual tanpa kepemimpinan dan kebersamaan dalam urusan budidaya hingga urusan panen.
Benahi lingkungan
Kerusakan alam pertanian benar-benar telah menghilangkan modal survive para petani. Di Kawasan Bandung Utara misalnya, terdapat kenyataan (dan ini juga terjadi di hampir seluruh penjuru dunia sebagaimana laporan-laporan FAO/PBB), bahwa hilangnya kekuatan alam menjadikan kemiskinan merajalela.
Benar untuk mencapai kesejahteraan kita mesti memiliki kemampuan Sumber Daya manusia dalam rangka mengolah Sumber Daya Alam. Sebab terdapat banyak fakta kekayaan alam tak berkorelasi dengan kemakmuran manusia. Kekayaan alam bisa saja tidak mensejahterakan pemilik atau orang-orang sekitarnya. Tetapi bagaimana jika kita ajukan pertanyaan, “ketika manusianya lemah sementara alamnya juga rusak?
Kemiskinan yang kekal di sebuah negara itu akibat belum mampunya pemerinttah mengeksekusi mandat ideologi negara. Dan rusaknya alam menambah akut kemiskinan warga negara. Karena itu, selain perlu membenahi dimensi Sumber Daya Manusia, kita juga dituntut membenahi lingkungan yang rusak. Banjir yang semakin rutin dan semakin kuat merusak rumah juga berpotensi memiskinkan banyak orang. Kisah negeri Bangladesh misalnya, bisa menjadi cermin bahwa di sana kemiskinan kekal karena banjir “yang rutin.”
Di lingkungan perdesaan di mana ladang-ladang mengalami perubahan iklim, tanah mengalami pesakitan, udara pun semakin memanas. Matahari tidak bekerja memproduksi fotosintesis sehingga tanaman pertanian semakin sulit berkembang. Ternak mereka makin tidak produktif, pupuk semakin sulit. Akibatnya hasil panen pun susut dari waktu ke waktu.
Kemiskinan di kota memperlihatkan fakta objektif yang sama. Orang-orang miskin perkotaan berada di dalam lingkungan yang buruk; keadaan rumah yang sempit, air yang tak lancar, sampah yang menumpuk, pendidikan yang asal-asalan dan sejumlah kesempitan lain yang membuat kesempatan mereka semakin susah mengembangkan diri.
Kita butuh standar dasar logika dalam perhitungan usaha ekonomi. Setiap rekayasa atau inovasi kita arahkan dalam rangka menjawab problem saat ini dan juga kemampuan mengatasi problem di masa mendatang. Dan problem yang harus kita hadapi bukan semata mengatasi kebutuhan manusia, melainkan juga mampu memenuhi kebutuhan alam.[]
Memperbaiki Politik Memperbaiki Ekologi