Oleh FAIZ MANSHUR Ketua Yayasan Odesa Indonesia IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Pohon berbicara satu sama lain. Hidup mereka berkomunal. Unsur-unsur kehidupannya sama seperti manusia dan hewan, terhubung pada energi, materi, dan informasi.
Hari Minggu, 31 Oktober 2021 saya ke hutan untuk yang kesekian kalinya. Kali ini saya memasuki hutan Arcamanik bagian tengah menuju puncak dengan berjalan kaki bersama teman-teman Odesa. Satu hal saya pertanyakan saat berada di tengah hutan adalah, seberapa banyak jenis-jenis pohon, kemudian membandingkan dengan hutan dalam pengertian ideal baik yang kuno maupun hutan rekayasa.
Di beberapa hutan (lebih tepatnya sisa hutan) di Bandung yang saya temui, terlihat minimnya jenis-jenis pepohonan. Apa yang disebut aneka ragam hayati dengan kekomplitan tanaman tak sungguh nyata. Apalagi jika melihat hutan rekayasa dengan penananam sistem pragmatis monokultur dengan dominasi pohon pinus. Sementara pada hutan-hutan yang pohonnya tumbuh secara alami, sekalipun tidak luas, terasa lebih menawan.
Hutan terbaik ialah hutan dengan kehidupan aneka ragam hayati. Hal ini yang akan membuat ekologi bertahan baik, dan ekologi yang baik bisa menjadikan ekosistem bekerja secara sempurna. Jika jenis tanaman jumlahnya sedikit, semakin mudah hutan itu mengalami kerusakan karena di dalam sistem monokultur tidak akan memicu kerja alam secara dialektik. Salahsatu indikatornya ialah sepinya perkembangan satwa baik jenis kecil, menengah maupun satwa besar. Semakin beragam jenis pohon di dalam hutan, akan semakin banyak satwa yang berkembang dan di situ hukum kesuburan tanah akibat “pupuk” alamiah yang keluar dari perut hewan akan memperkaya pertumbuhan flora.
Instagram Praktik Pertanian Ramah Lingkungan
Bukan hanya itu, ragam satwa di dalam hutan juga akan memperkuat dinamika antar tanaman. Dan hal yang ingin saya tulis di sini sekarang ialah tentang hutan adalah dinamika hidupnya, yang sebagaimana manusia lekat dengan energi, materi, informasi, termasuk di dalamnya adalah komunikasi.
Cara Pohon Berbicara
Apakah tanaman saling berkomunikasi? Ini pertanyaan menarik karena untuk membuktikan komunikasi antar hewan, bahkan manusia dengan hewan bukan perkara sulit. Tanpa pendekatan sains pun kita bisa menyaksikan secara konkret para hewan berkomunikasi. Bahkan kita juga bisa berkomunikasi dengan hewan baik dengan percakapan maupun dengan isyarat. Itulah mengapa wacana komunikasi pada hewan lebih sering ke urusan teknis, bukan lagi soal sainstis.
Pada pohon agaknya kita harus berpikir serius, dan itu tak mudah jika tidak menguasai dasar-dasar pengetahuan tertentu. Paling besar kita hanya berangkat dari keyakinan. Tetapi kita beruntung karena ada cara meneguhkan terjadinya komunikasi antar pohon dengan pendekatan istilah-istilah ilmiah seperti sinyal listrik, isyarat kimia, dan jaringan mikoriza.
Pengetahuan-pengetahuan ilmiah tentang komunikasi tanaman itu tumbuh berkembang setelah 1800, dan “biangkerok” yang membuat para ilmuwan berpikir adalah Charles Darwin. Mula-mula Darwin melihat tanaman pakis yang memiliki sifat kenaikan energi dalam merespons lingkungan itu mirip dengan sistem energi pada saraf hewan. Tetapi waktu Darwin melihat fenomena interaksi antar tanaman belum memasuki wilayah komunikasi. Yang lebih banyak dijelaskan oleh Darwin adalah kompetisi individu tanaman dalam rangka survival. Di sana terdapat penjelasan tentang jatuh bangunnnya hidup spesies.
Jauh setelah era Darwin, berkembanglah banyak penemuan tentang unsur kerja hidup tanaman dari sisi listrik ini. Hal itu memberikan pengetahuan kepada kita bahwa sinyal listrik pada tanaman adalah indikasi terdapatnya komunikasi antar tanaman karena tanaman memiliki kebutuhan survival dari ancaman eksternal seperti ancaman herbivora atau dalam rangka bertahan hidup.
Sementara itu, adanya komunikasi dari tanaman bersandar pada isyarat kimia semakin menemukan kekuatan logikanya. Isyarat kimiawi yang ada dalam tanaman itu berkait dengan respons tanaman menghadapi situasi stres akibat ancaman cuaca seperti serangan hujan ekstrem, serangan angin atau kekeringan atau bahkan over kelembapan.
Sisi lain bisa disertakan di sini dengan melihat sisi kehidupan tanaman dengan penyakitnya. Penelitian Hirokazu Ueda dkk di website NCBI yang membuktikan dua model komunikasi dalam tanaman penting untuk dibaca. Berangkat dari fakta bahwa tanaman bisa stres akibat faktor eksternal seperti cuaca atau ulah hewan atau manusia. Tanaman bisa “punya rasa” senang atau nyaman sehingga lebih antusias mengembangkan diri. Tetapi pada saat terancam oleh cuaca sehingga sumber pangan minim atau terancam karena dikonsumsi hewan atau manusia, mereka punya respons khusus. Untuk mengatasi hal itulah tanaman mengembangkan sistem komunikasi, terutama mengirim (dan menerima) informasi terkait dengan senyawa organic volatile.
Tahun 2012 lalu, S.E, Jorgensen, penulis buku “Introduction to System Ecology” sebagaimana dikutip Oekan S. Abdoellah dalam bukunya Agroforestry dan Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan di Indonesia (2021), mengungkapkan bahwa interaks-interaksi sistematis antar komponen penyusun ekosistem juga menyertakan informasi yang perannya sangat penting untuk fungsi kerja ekosistem.
Jorgensen menyampaikan bahwa setiap komponen biotik menangkap informasi dari bentuk-bentuk fisik di alam, topografi, pancaran partikel cahaya, suhu sekitar, tingkat kelembaban udara, tekanan udara, dan sebagainya. Nah, informasi-informasi yang tertangkap oleh bentuk-bentuk kehidupan dalam rupa susunan kimiawi, diserap dan dijadikan dasar bagi perilaku yang cocok sesuai kapasitas biokimiawi, diserap dan dijadikan dasar bagi perilaku yang cocok sesuai kapasitas masing-masing.
Nyata terlihat tanaman bekerja melangsungkan kehidupannya sama seperti spesies lain, termasuk manusia yang tak terpisahkan dari unsur energi, materi dan informasi.
Pohon Bicara Komunal Serupa Manusia
Suzanne Simard, seorang profesor ekologi hutan di University of British Columbia punya pandangan yang lebih meyakinkan tentang komunikasi antar tanamam, bahkan penelitiannya membuktikan tanaman merupakan “makhluk sosial”. Interaksi antar kimiawi dalam tanaman menurut Simard mendorong pengetahuan kita tentang relasi hidup mereka. Dan jamur mikoriza, bekerja sebagai pengambil nutrisi dan air yang membawa kepada bibit tanaman baru sebagai perkembangbiakan tanaman.
Simard juga mampu menjelaskan secara logis, ketika di suatu lokasi tertentu tidak ditemukan jamur mikoriza, bibit-bibit tanaman kecil tidak berkembang. Simard juga mampu membuktikan di antara pohon saling memperingatkan akan bahaya yang mengancam dan mereka juga saling berbagi nutrisi, terutama saat-saat masa kritis. Suplay informasi dan nutrisi inilah yang oleh Simard disimpulkan pentingnya ada pohon besar atau pohon ibu, atau disebut pohon pusat yang pada saat masa kritis tetap hidup, kaya informasi dan kaya nutrisi yang kemudian sangat berguna menjaga kelangsungan hidup banyak pohon di sekitarnya.
Kemudian Richard Grant seorang Jurnalis di Tucson, Arizona menulis dengan provokatif tentang pola kehidupan pepohonan di hutan Pegunungan Eifel di Jerman. Di sana ia menemui keluarga rimbawan dan penulis tentang Hutan, Peter Wohlleben, dan mendapatkan pengetahuan sensasional tentang pohon. Di website www-smithsonianmag-com itu ia tuliskan bahwa pohon induk memberi makan anak-anak mereka dengan gula cair dan memperingatkan tetangganya ketika bahaya mendekat.
Pohon-pohon hidup dengan semarak dan penuh keajaiban. Pohon-pohon berkomunikasi satu sama lain. Semuanya terlibat dalam perjuangan hidup. Untuk mencapai kebesaran mereka bergantung pada jaringan hubungan, beraliansi, dan berjaring dengan kekerabatan yang rumit.
Pengalaman Odesa
Cara adaptasi tanaman menarik untuk dijelaskan secara khusus karena ini memperkuat pengetahuan tentang komunikasi dan informasi pada tanaman. Saya sendiri punya pengalaman yang bisa menjelaskan korelasi antar tanaman itu berkembang dalam bentuk komunal.
Saat musim hujan akhir 2016 lalu kami menanam ratusan pohon kelor di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Banyak pohon yang mati. Tingkat kegagalan begitu tinggi. Sebagian kami temukan karena cara tanam yang salah, sebagian lagi karena faktor bibit yang buruk, tetapi pada sebagian kasus juga disebabkan betapa tanaman itu butuh adaptasi dan salahsatu bentuk adaptasinya ialah pentingnya tanaman induk.
Bukan hanya induk dalam pengertian umum, melainkan lebih pada induk rumpun. Pada satu lokasi di kampung Waas Mekarmanik misalnya, banyak pohon kelor mati. Kami curiga ada faktor ketinggian tanah mempengaruhi. Tetapi itu tidak menjelaskan sebagai faktor tunggal karena toh ada puluhan pohon kelor yang tetap hidup dengan sangat lambat. Satu tahun kemudian petani odesa kembali menanam pohon kelor, diulang dengan cara yang sama.
Hasilnya? Jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Lalu kami bandingkan dengan lokasi lain di jarak 7 km di mana kami menanam pada tahun 2016 ternyata lebih mudah tumbuh. Setelah kami usut, tanaman kelor yang lebih mudah tumbuh itu manakala sebelumnya terdapat pohon kelor yang sudah berkembang baik dan mapan.
Instagram Gerakan Botani Odesa
Para petani memberi informasi hal itu, bahwa jika pohon kelor ditanam di ladang yang sebelum belum ada kelor niscaya hidupnya sulit, sebagian pada mati. Tetapi jika sudah ada kelor yang tumbuh kuat, katakanlah satu tahun, maka tanaman susulan tersebut akan lebih mudah. Ini membuktikan bahwa komunalisme dalam tanaman sebagaimana lazimnya hidup manusia. Ketika manusia menempati hunian baru yang kosong dari manusia tentu butuh cara survive yang lebih serius karena adaptasi awal tidak mudah. Tetapi begitu manusia sudah berkumpul di suatu tempat, maka pendatang baru tersebut akan merasa lebih mudah untuk survive.
Kembali ke hutan Arcamanik
Di hutan kecil Arcamanik ini saya melihat pepohonan semakin susah mengambil eksistensi untuk kehidupannya. Banyak manusia masuk dengan kepentingan-kepentingan yang bukan untuk kehidupan flora, termasuk faunanya. Kemudian ada petani yang menginginkan bisa survive mencari sumber hidup dari hutan, tentu dengan tujuan ekonomi manusia.
Tanaman kecil, terutama sayuran dan kopi ditancapkan. Benar mereka telah mendapat aturan untuk berekonomi dengan tetap merawat hutan. Tetapi aturan tinggal aturan. Pohon-pohon kopi dan sayuran ditanam di bawah rerimbunan pinus. Lama kelamaan kepentingan pohon kopi semakin banyak.
Lama-lama juga mereka berpikir ingin menambah jumlah tanaman sayuran. Dan akhirnya menebang pohon yang dianggap tidak menghasilkan uang untuk diganti tanaman kecil penghasil uang. Manusia masuk hutan membawa kepentingan yang berbeda dengan kepentingan pohon di hutan. Hewan-hewan pun susut karena kehadiran manusia.
Hutan Rusak, Bahaya Mengintai Bandung
Populasi monyet berkurang dan sering berebut makanan dengan petani. Di luar petani juga ada orang-orang kota yang memanfaatkan hutan untuk keperluan bersenang-senang dengan motor trailnya. Puluhan bahkan ratusan orang setiap pekan masuk hutan, ngebut di jalanan becek berlumpur; merusak area dan juga sering menganggu para petani di pinggir hutan.
Hutan hidup bersama kita. Pepohonan tumbuh dengan cara yang mereka miliki. Bagimana pohon bisa survive adalah sebuah pelajaran penting bagi hidup karena eksistensi pepohonan itu juga tak terpisah dengan satwa dan juga manusia. Jika hutan sudah rusak, mestinya pertanyaan kita bukan sekadar “kapan kita menikmati hutan?”, melainkan, “bagaimana merawat hutan?”.[]
Komentar ditutup.