Lumpur Kota dan Kisah Pertanian Cimenyan

Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa-Indonesia, Bandung.

Warga Kota Bandung pada Selasa 20 Maret 2018 dihebohkan oleh lumpur yang menumpuk di beberapa Kawasan perkotaan seperti Cicaheum, Antapani, Arcamanik, dan sekitarnya. Orang kota dibuat heran karena lumpur tersebut datang pada keadaan hujan yang tidak terlalu besar dan berlangsung hanya kurang dari dua jam.

Bagi kami di organisasi Odesa-Indonesia yang saban hari beraktivitas di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, persis sebelah utara Perkotaan Bandung, memandang hal tersebut sebagai sunnatullah, yakni ada kejadian dengan penyebab yang logis. Lumpur yang membanjir itu merupakan hasil akumulasi dari beberapa hujan sebelumnya, paling tidak akumulasi hujan dalam satu minggu terakhir. Daerah Cimenyan pada satu minggu terakhir mengalami hujan rutin dengan curah yang sangat tinggi disertai dengan es. Biasanya hujan itu terjadi pada pukul 14:00 hingga 15:00 atau pada 15:00 hingga 16:00.

Sebelumnya, kami sudah menyaksikan sendiri, terdapat aliran air di kali seperti Cisanggarung (daerah Curug Batu Templek) yang menjalar ke Perumahan Arcamanik dan kali Cidurian yang menjalar ke daerah Cicaheum/Antapani itu terus mengalirkan air dan sampah-sampah warga ke perkotaan.

Kali-kali kecil yang tak diperhatikan. Sebagian mengalirkan tanah dari pertanian bercampur dengan sampah warga pinggir kota. Sedikit demi sedikit mengumpul di area sekitar Cikadut yang berjarak sekitar 2-4 Kilometer dari Jalan A.H Nasution, pada akhirnya menyeruak ke daratan yang lebih rendah, yaitu perkotaan Bandung.

Dari kota kembali ke kota
Kawasan perbukitan yang terbentang dari Desa Ciburial (lajur Dago) hingga Oray Tapa (lajur jalan Sindanglaya) sejak 40 tahun silam menjadi pertanian sayur. Hutan-hutan dibabat untuk kegiatan budidaya tanaman yang abai terhadap ekologi dan naasnya itu tidak membuat kebanyakan petani berkecukupan hidupnya.

Hutan sebagai pilar ekologi hanya tersisa sekitar 2.000 meter di bagian permukaan bukit ( di Kawasan Puncak Bintang, Pondok-Buahbatu, Parabonan, Oray Tapa, hingga Palintang). Sementara dari kampung-kampung bukit itu sampai daerah pemukiman kota berjarak sekitar 6.000-8.000 meter terbentang pertanian sayuran yang hampa dari pohon-pohon tegakan/tinggi.

Perbukitan lahan kritis terlihat bergelombang. Kota Bandung begitu terlihat rendah dari Kawasan 5-6 Km perbukitan Cimenyan. Cukup dengan mata telanjang kita menyimpulkan tanah-tanah dengan kemiringannya curam itu pasti akan mudah larut oleh air, apalagi jika curah hujan seperti pada beberapa pekan terakhir ini.



Kemudian pada Kawasan desa pinggir perkotaan seperti Kawasan Sindanglaya, Cikadut, Cigadung, hingga Dago kita lihat berjimbun bangunan rumah dan perumahan berkembang cepat tanpa kendali. Intinya, pohon-pohon ditebangi, tanah perbukitan ketinggian 1.400 Mdpl turun ke kota, bersama sampah-sampah rumah tangga.

Kemarin, ada warga Cikadut yang bergurau. “Itu sampah plastik asalnya dari kota. Orang desa kan cuma beli isinya. Sekarang plastiknya kembali ke kota. Tanah lapisan atas pertanian yang penuh kimia juga berasal dari kota. Sekarang balik ke kota lagi,” ujarnya sambil tertawa.

Memang banjir di Kota Bandung tidak semua problemnya berasal dari Cimenyan, namun Cimenyan merupakan bagian penting yang harus diperhatikan. Hutan telah punah. Petani-petani penggarap sayuran hidup dalam kemiskinan karena berpola tradisional tanpa kearifan sama sekali. Sementara orang-orang kota, mayoritas pemilik tanah di perbukitan itu sebenarnya juga tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan atas tanah yang dikelola petani. Belum lagi pada masalah perumahan yang dibangun tanpa memperhatikan ekologi.

Desa Ciburial telah lama menjadi persoalan yang tak pernah diselesaikan oleh para kepala daerah seperti Bupati Bandung, Walikota atau Gubernur. Villa-villa di Cimenyan juga banyak berkontribusi memperburuk keadaan. Orang Kota membangun villa dengan mengurangi lahan tanpa ada tindakan kontributif dalam perbaikan lingkungan pertanian dan kemasyarakatan. Contoh kecil misalya, tidak membuat sumur resapan air.

Siapa yang harus bertindak?
Kita sudah mengetahui akar masalah lokal ini. Walikota Bandung tidak melempar problem ke Bupati Bandung. Bupati Bandung perlu bilang itu kewenangan Gubernur yang membawahi KBU. Tugas pertama adalah pada sikap Gubernur untuk mengandeng Walikota dan Bupati. Duduk Bersama rapat untuk menyelesaikan masalah. Ingat, jangan boros anggaran untuk rapat koordinasi tapi tindakan nol.

Apa yang harus dilakukan?
Pertama, Bupati Bandung dan Gubernur Jawa Barat yang memiliki kewenangan pada urusan Kawasan Bandung Utara (KBU) harus mengambil peran aktif dalam pertanian berkelanjutan. Jangan hanya karena banyak petani bawang di Cikawari lalu Bupati Dadang Nasir menganggap itu potensi lokal kemudian –seperti pada pebruari lalu datang ke Cikawari mendorong kelompok tani untuk ekonomi semata. Itu sama juga menjerumuskan petani untuk terus melakukan perusakan ekologi. Bertani apapun boleh asalkan dengan sistem yang berkelanjutan dan lebih menguntungkan dalam berbagai sisi. Selama ini petani sayur, termasuk petani bawang di Cimenyan belum bisa membuktikan kesejahteraan dari hasil panennya. Kebanyakan yang berhasil maju hanya bandar/pedagang.

Kedua, pertanian di Kawasan Cimenyan itu tidak sulit untuk beralih tanam asalkan ada jaminan dalam hal keilmuan, modal dan aplikasi pendampingan. Organisasi kami bisa membuktikan perubahan beberapa puluh petani dengan sistem baru yang lebih efisien, ramah lingkungan dan lebih menguntungkan. Banyak petani yang bingung bukan karena tidak bisa bertani, tetapi karena model pertaniannya tidak sistematis dan rasional. Bupati Dadang Nasir misalnya perlu menduplikasi pertanian dari Pesantren Agribisnis Al-Ittifaq Rancabali yang sudah berpengalaman terkait dengan matarantai kebutuhan hidup keluarga petani (peasant) bukan farmer. Contoh ada pada dekat kita dan jangan sampai justru banyak bermanfaat buat daerah lain tetapi tetangganya sendiri tidak dapat meneladani.

Ketiga, tanah-tanah milik orang kota yang menganggur harus diberi tanggungjawab oleh negara. Bupati Bandung dan Gubernur Jawa Barat perlu membuat surat edaran khusus kepada pemilik tanah yang puluhan tahun tidak diurus. Ancaman pajak progresif tidak cukup. Tanah harus dimodali dengan bibit-bibit untuk menyokong ekologi. Keberadaan tanah menganggur tanpa pepohonan merugikan banyak pihak. Tanah harus diurus, bukan dibiarkan. Diurus pun harus dengan kontrol yang baik supaya tidak semua bukit ditebangi pohon untuk sayuran.

Kalau keadaan buruk tanpa perencanaan saja bisa terjadi, maka logikanya, keadaan baik yang terencana pasti akan bisa dilakukan. Setahap demi setahap akan memperbaiki keadaan asal jelas target dan sasarannya. Ethiopia yang dulu petaninya tertimpa wabah kelaparan, kini berhasil menorehkan prestasi dalam perbaikan gizi, pertanian berkelanjutan. Semua karena ada keseriusan mengatasi masalah, bukan melempar masalah.[]

1 komentar untuk “Lumpur Kota dan Kisah Pertanian Cimenyan”

  1. Pingback: Setiap Hujan, Jalan di Cikawari itu menjadi Kali – ODESA INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja