Oleh: Faiz Manshur. Ketua Yayasan Odesa Indonesia
Ada bencana alam yang kejadiannya hanya dalam hitungan detik. Ada bencana sosial yang terjadinya berlangsung secara gradual. Keduanya sama-sama menimbulkan tragedi kemanusiaan. Namun yang pertama (bencana alam) lebih cepat mendorong orang berempati lalu bergerak, sedangkan pada bencana sosial, tidak demikian.
Bencana alam mengondisikan orang spontan menaruh empati karena hampir tidak perlu orang beralasan untuk tidak berempati. Kebanyakan secara objektif menaruh empati karena penyebabnya bukan karena kesalahan siapapun, hanya sedikit saja yang anti-pati. Sedangkan dalam bencana sosial, orang lebih banyak memilih alasan untuk anti-pati. Misalnya, terhadap orang miskin, nalar untuk berbagi tidak langsung muncul karena bisa muncul nalar yang secara simbolis terungkap antara lain, “dia miskin karena malas,” dia “punya mental pengemis,” dan lain sebagainya.
Nalar anti-pati pada kemiskinan terkadang lebih kuat sehingga kalaupun membantu biasanya lebih karena faktor keterdesakan, misalnya melempar koin supaya kita aman dari gangguan kriminal. Membayar zakat karena kewajiban agama, bukan dalam rangka membuktikan zakat sebagai cara menghindari “kekafiran” pada orang fakir. Berbakti sosial karena rutinitas sosial atau politik. Kemiskinan, apalagi keadaan sangat miskin adalah bagian dari bencana karena alasan yang sama dengan gempa bumi karena inti dari persoalannya adalah “kejadian yang menimbulkan kerugian, kesusahan, penderitaan, dan seterusnya.”
Sangat langka dari kita berpikir dua hal yang mendasar, 1) berempati karena fakta kemiskinan akibat korban struktural, 2) berbagi dengan model strategis untuk mengeluarkan saudara kita dari jeratan struktural.
Kita sulit berempati pada korban bencana sosial seperti kemiskinan karena kurang jeli melihat akar penyebabnya. Untuk golongan miskin yang masuk kategori individual seperti malas, bolehlah kita mengabaikan karena solusinya memang bukan membantu material, melainkan pendampingan pada pikiran dan psikologi. Tapi pada orang miskin individual yang disebabkan sakit permanen sehingga tidak bisa mengakses pekerjaan misalnya, mestinya kita harus bersikap berbeda. Tunjangan sosial menjadi penting dan dimaklumi.
Terlebih pada kemiskinan akibat struktural, bukan malas, bukan karena sakit, melainkan akibat dampak dari struktural. Dampak struktural itu misalnya, karena lingkungannya jauh dari akses ekonomi. Sumber-sumber alam yang ada tidak bisa dikelola dan “tukar” dengan barang lain (terutama uang), atau bahkan orang-orang tersebut tidak mampu mengakses potensi sumber daya alam. Biasanya kemiskinan struktural ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Studi Kasus
Agar konkret contoh kemiskinan struktural itu termasuk kategori bencana, saya akan ambil salahsatu contoh yang ditemukan Yayasan Odesa Indonesia. Nengsih, seorang janda (25 tahun) yang ditinggal pergi suaminya, di Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Dia sangat miskin hidupnya. Rumahnya reyot, tidak memiliki sarana toilet yang memadai, keadaan dapurnya memprihatinkan, dan lingkungan sekitarnya kumuh. Kita dapatkan dengan teliti sumber penghasilannya sebagai tukang ngarit domba gaduhan dengan sistem bagi hasil sangat rendah. Dia harus menunggu sekitar 6-7 bulan dari hasil ngaritnya setelah pemilik domba menjualnya dan Nengsih mendapat bagi hasil.
Untuk konsumsi sehari-hari dengan dua anaknya, rata-rata kemampuannya hanya Rp 14.000. Uang itu untuk membeli beras, bumbu dapur, dan yang dibeli rata-rata adalah tempe, tahu, sedikit sayuran. Dua anaknya, Desi (11 tahun) dan Gunawan (6 tahun) tidak mendapat perhatian di pagi hari. Karena emaknya harus mencari makan dombanya, Desi dan Gunawan ditinggal pergi sejak pagi, dan keduanya berangkat sekolah tanpa persiapan bantuan orang tua.
Dari konsumsi pangan yang minim itu, Desi dan Gunawan tidak mendapatkan gizi yang baik. Keduanya sering absen sekolah karena tiga faktor yang kita temukan, 1) sering sakit, 2) merasa rendah diri terutama saat tidak membawa uang saku, 3) karena kehujanan atau saat salahsatunya sakit. Jika Gunawan sakit, Desi tidak bersekolah juga. Begitu juga sebaliknya. Memang dari samping rumah keluarga Nengsih ini masih ada kedua orangtuanya. Pak Dadang, buruh tani, dan Bu Imi, buruh ngarit, sama dengan Nengsih.
Pendapatan dan keadaan hidupnya sama. Kasus yang menyertai sebelumnya adalah, Pak Dadag dan Bu Imi ini memiliki cucu, berusia 4 tahun, namanya andri. Ia anak malang, lahir hanya 40hari bersama ibunya yang meningggal. Beberapa informasi dari para tetangganya, Ibunya Andri meninggal karena sering sakit-sakitan saat hamil, suaminya juga pergi entah kemana. Akibatnya andri ini kurang asupan gizi, terutama dari Air Susu Ibu. Bahkan sakit parahnya saat didampingi Odesa Indonesia memperlihatkan kekurangan gizi.
Ilustrasi di atas mengambarkan, bahwa tidak ada faktor kemiskinan individual, karena ternyata Odesa Indonesia melihat kenyataan bahwa Nengsih, Pak Dadang dan Bu Imi ini bukan pemalas, melainkan pekerja keras, komunikatif, tidak banyak menuntut bantuan, tidak menunjukkan dirinya meminta-minta. Dan ketika ada tawaran program baru dari Odesa Indonesia mereka juga terbuka menerima.
Salahsatunya ketika dibantu soal sanitasi dengan pembangunan toilet. Sebagian tanahnya diperbolehlkan untuk sarana Toilet umum, supaya dirinya dan tetangganya juga mendapatkan sumber air yang bersih. Demikian juga dengan insentif tawaran program pendampingan dari Odesa Indonesia, lebih mudah terealisasi karena mereka memang ingin berubah. Bekerja semampu mereka dengan tekun dan perhatian pada instruksi.
Kasus ini berbeda dengan yang menimpa keluarga Don (bukan nama sebenarnya). Keluarga Don dengan tiga anaknya, adalah keluarga gelandangan yang ditemukan Bapak Enton Supriyatna di tempat pembuangan sampah di Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Waktu itu Pak Enton dan teman-teman Odesa Indonesia punya kewajiban untuk melepaskan mereka dari jerat kemiskinan yang akut. Panjang perjalanan pendampingain dengan pembiayaan sampai 1 tahun, mereka tidak mengalami perubahan, bahkan setelah banyak program dan pendampingan dari banyak orang. Don dan istrinya ini sudah lama hidup sebagai gelandangan. Dia selalu menunjukkan kesulitan hidupnya pada setiap orang, selalu mengharap bantuan. Saat diberikan pekerjaan untuk kecukupan hidupnya pun bekerja tidak pernah serius, asal-alasan, banyak absen dengan berbagai alasan, banyak ke puskesmas karena sakit sedikit saja minta perhatian dari orang supaya diberi uang dengan alasan sakit anaknya. Saat tinggal di gubuk pembuangan sampah keadaanya kumuh. Ketika dipindah ke rumah kontrakan dibiayai donatur Odesa Indonesia, perilaku joroknya tidak berubah, bahkan mengundang kejengkelan pemilik rumahnya.
Dua karakter di atas menjelaskan, bahwa tidak semua kemiskinan karena bencana struktural. Kasus Don dan Istrinya jelas bukan hal yang perlu diperhatikan dari sisi kemanusiaan secara serius karena yang diinginkan mereka adalah mendapat bantuan terus-menerus. Perhatian Odesa Indonesia akhirnya pada anak-anaknya agar bisa lepas dari mental miskin kedua orangtuanya. Satu anaknya berhasil dicabut dari orangtuanya, disekolahkan di Majalengka dengan biasiswa donatur bersama dua anak bernasib malang lain dari keluarga petani kecil.
Sementara pada kasus Nengsih, Bu Imi, dan Pak Dadang jelas perlu perhatian khusus. Sejak Juli 2018, ibu Nina Danny dkk dari Odesa Indonesia memasok kebutuhan pangan bergizi untuk anak-anak nengsih. Sementara pengurus Odesa Indonesia yang lain mengurus sanitasi, dan memberikan pendampingan ekonomi dengan program baru. Perubahan setahap demi setahap pun berlangsung.
Stategi mengatasi bencana kemiskinan
Kembali ke masalah kemiskinan struktural. Ini adalah bencana yang tidak banyak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dari tahun ke tahun pemerintah hanya berburu angka menurunkan kemiskinan. Strateginya biasanya top down dengan memperhatikan angka-angka kuantitatif, tanpa pernah merumuskan strategi lain terhadap mereka yang paling menderita. Problem dengan strategi top down ini ada dua. Pertama, strategi tidak berjalan karena apparatus dari pemerintahan lokal sering tidak mampu melaksanakan model yang dimaksud strategi atas.
Sebagai contoh muncul kritik dari Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati: “dana desa untuk rakyat desa, bukan untuk kepala desa.” Kedua, pola topdown seringkali tidak berdampak efek domino terhadap masyarakat sekitarnya. Cina yang mahir dalam urusan menjawab kemiskinan keluarga petani perdesaan sekalipun dengan manajemen top down yang kuat (karena menganut asas sentralisme) saja sekarang mengubah model kebijakan dengan cara memperkuat partisipasi kewargaan untuk ekonomi dan penyelematan lingkungan. Strategi top down yang diterapkan sejak 2008 hingga 2014 diubah karena sekalipun bisa menyelesaikan masalah namun ongkosnya boros dengan dampak yang tidak massif.
Kita telah melakukan kesalahan dua hal secara bersamaan, yaitu melakukan kebijakan top down yang usang dan dilakukan pada sistem politik yang tidak sentralistik, alias tidak bisa mengontrol kinerja lapangan secara efektif. Bahkan hanya untuk urusan anggaran saja telah habis pada kegiatan aparat pemerintah, sementara jatah untuk orang miskin di lapisan bawah sangat sedikit.
Ini adalah kasus keburukan struktural yang pada masa rejim Orde Baru berlangsung di mana banyak dana negara kaya yang disalurkan ke Indonesia hanya menetes sedikit ke petani desa dan uang negara lebih banyak melayani kelompok kelas menengah dan parahnya lagi terkonsentrasi pada oligarkhi keluarga Soeharto. Berlanjut pada Reformasi, yang terjadi adalah bahwa mayoritas anggaran juga masih melayani birokrat dan kesempatan memperbaiki desa-desa tidak berlangsung baik karena justru memunculkan oligarkhi lokal di pemerintahan provinsi dan pemerintahan kota/kabupaten. Dana Desa yang muncul 4 tahun belakangan ini memungkinkan perbaikan. Tapi lagi-lagi, karena struktur birokrasi kita masih tradisional dan tidak bekerja layaknya birokrat modern yang berpatasitas memadai mengakibatkan kerja birokrasi lebih banyak melayani kepentingan politik birokrat dan kepentingan politik kepartaian.
Memang benar masalah struktural perlu dihadapi dengan struktural. Namun yang dimaksud struktural tentu berbeda dengan infrastruktur. Ketika Pemerintah giat dengan pembangunan berbasis Dana Desa, itu adalah penyelesaian struktural. Benar adanya. Tetapi tidak otomatis bangunan infrastruktur otomatis sedang menyelesaikan persoalan struktural, terutama menyangkut nasib satu persatu rumah tangga keluarga pra-sejahtera (sangat miskin).
Kebijakan strukturalnya model apa? Menyasar untuk siapa saja? Itu yang sering menjadi pertanyaan lanjutan. Kalaupun tepat sasaran hanya dengan bantuan sosial juga belum tentu membuat mereka lepas dari kemiskinan. Bahkan model kebijakan struktural seperti bebas biaya pengobatan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau bantuan pendidikan dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tidak selalu menyelesaikan masalah.
Orang miskin seperti Nengsih, Bu Imi dan Pak Dadang tinggal di balik perbukitan yang susah akses ke jalan raya. Hidupnya setiap hari hanya berurusan dengan ternak dan ladang milik orang di sekitarnya. Sepanjang usianya tidak pernah mengakses dunia luar, apalagi untuk urusan ekonomi. Pendidikan mereka rendah. Nengsih, dan juga banyak anak-anak perempuan di kampung itu menikah pada usia antara 14 hingga 16 tahun. Modal kerja mereka adalah arit dan cangkul. Punya tanah atau tidak punya terkadang tidak membuat sejahtera mereka karena memiliki tanah sekalipun hasil pertanian begitu lambat. Hasil panen baik harga hancur juga merugi. Harga bagus tapi gagal panen karena hama atau karena kemarau terlalu panjang juga hancur.
Kemiskinan dan Perkawinan Dini
Bertani bagi para petani kecil di Cimenyan adalah perjudian. Itulah mengapa banyak petani memilih menjual tanah, untuk membangun rumah atau menyelenggarakan perkawinan, habis itu mereka bekerja menjadi kuli galian batu atau buruh tani serabutan. Kemiskinan pun mewabah, turun temurun tanpa kendali.
Solusi Praktis
Ada jalan keluar dari situasi itu. Caranya adalah, sebagaimana dilakukan para relawan-relawan NGO di Afrika dengan program pendampingan. Banyak laporan FAO tentang model-model gerakan pendampingan petani kecil (peasant) yang berhasil dengan cara masing-masing, biasanya menyesaikan situasi dan keadaan hidup kultural di masing-masing lokasi.
Berpikir Makro Bertindak Mikro
Intinya, pertama, para petani harus mendapatkan ilmu baru tentang pengelolaan sumberdaya alam di sekitarnya, kedua, bersatu bersama menjalankan roda ekonomi secara terencana. Belajar mencatat, menghitung, memprediksi, dan juga memperbaiki keadaan kesehatan/sanitasi mereka. ketiga, para petani harus sadar manfaat setiap aset yang dimiliki. Apa saja manfaat tanah, manfaat batu, manfaat pupuk, manfaat daun, manfaat sampah, manfaat hasil panen, dan lain sebagainya. Semakin banyak wawasan, semakin terbuka peluang untuk menyayangi harta benda mereka, mencintai alam sekitarnya.
Untuk Apa Odesa Indonesia didirikan?
Odesa Indonesia melakukan hal itu. Membutuhkan kesabaran serta solidaritas banyak orang golongan kelas menengah tentunya. Berat tapi tidak sulit. Di tengah perjalanan kegiatan, ketika kita benar-benar memahami realitas kehidupan mereka, peluang untuk keluar dari bencana kemiskinan itu selalu ada, salahsatunya dengan menggerakkan tani pekarangan bagi yang masih ada lahan. Dan kebanyakan masih memiliki pekarangan walau hanya beberapa meter. Ekonomi meningkat, rumah menjadi bersih.
Mereka setidaknya punya modal, bekerja keras (mental), lalu juga punya modal pengalaman bertani. Maka kerja keras bertani itu kemudian ditambah dengan kerja cerdas dalam pertanian. Pendampingan semacam ini bisa dilakukan, asalkan kesediaan kelas menengah untuk terjun dan memahami keadaan masyarakat lapisan bawah. Bahkan satu harapan besar kelak mudah diwujudkan dalam jangka panjang, yakni ketika para fasilitator literasi seperti Rizki, Harti, Yuliani Liputo, Saban, dkk memberikan pendidikan setiap hari minggu. Banyak sekali potensi anak-anak desa untuk maju. Mereka sangat rakus dengan bacaan, dan sangat senang dengan kegiatan belajar model pembelajaran aktif.
Gerakan empati berbasis pendampingan seperti inilah yang dilakukan oleh Odesa Indonesia untuk mengatasi tragedi kemiskinan pada keluarga pra-sejahtera . Pada setiap keluarga miskin, terutama golongan sangat miskin (pra-sejahtera), mereka harus diusahakan menjadi tenaga kerja yang produktif dari rumah masing-masing.
Mengatasi kesenjangan sosial, usahanya adalah menegakkan keadilan sosial.Dan ini bisa dilakukan di luar kerja mesin birokrasi negara melalui gerakan sipil. Kita harus banyak menggerakkan kelas menengah berpendidikan untuk mendidik dan mendapat timbal-balik pendidikan dari rakyat jelata. Kita perlu mengembangkan di setiap kampung-kampung perdesaan, apalagi mereka adalah tulang punggung bangsa karena menyediakan pangan berkualitas yang juga dinikmati banyak orang termasuk kelas menengah perkotaan.
Kesempatan adalah kata kunci untuk perbaikan nasib pada setiap orang. Kita carikan kesempatan pada mereka, karena toh lebih banyak mereka yang bisa diajak bersama untuk berubah.[]
Jurnalisme untuk Menjawab Kesenjangan Sosial
Komentar ditutup.