Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia
Apa yang harus diajarkan kepada petani miskin?
Ini pertanyaan paling sulit dijawab. Letak kesulitan itu biasanya bermula dari ketidakpahaman kita yang hendak mengatasi problem petani atau buruh tani miskin.
Tulisan ini tidak berlaku bagi semua keadaan petani sebab tidak semua petani terpuruk dalam kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Namun ada jutaan kasus di Indonesia di zaman sekarang yang masih hidup dalam situasi buruk itu. Bahkan Odesa Indonesia pun menemukan fakta atas keadaan itu bukan di daerah terpencil, melainkan di Cimenyan, Cilengkrang dan Cileunyi yang dekat dengan Kota Bandung.
Petani-petani yang hidupnya sengsara itu adalah mereka yang tidak punya lahan luas, bekerja hanya dalam porsi 8-12 hari kerja. Selebihnya tidak jelas. Mereka tidak sekolah sampai SMP. Mereka tidak pernah membaca. Tidak berinteraksi dengan dunia luar yang memungkinkan informasi atau pengalaman membantu mereka lepas dari situasi jumud yang mengungkung. Ingatan mereka sangat pendek tentang sesuatu karena tidak pernah mendapatkan pelajaran pendataan, apalagi kreatif mencatat. Bahkan untuk dirinya berusia berapa saja terkadang lupa. Karena itu mereka tidak mengenal istilah ulangtahun kelahiran mereka.
Terhadap hari dan kalender pun mereka tidak penting karena mencari makan dengan bertanam atau memberi makan ternak adalah kewajiban saban hari yang harus dikerjakan. Kerja itulah yang menjadikan mereka percaya hidup, bukan otak.
Mereka tidak mengenal tentang pentingnya perubahan karena hanya melakoni hidup sehingga mereka tidak mengenal cara bagaimana mengubah keadaan. Ketika mereka dianggap miskin tentu mereka menolak atau setidaknya bingung karena mereka hanya mengerti arti miskin ialah sebagai seseorang yang hina. Mereka tidak mengenal bahwa ada hitungan miskin jika pendapatan atau konsumsinya dalam setiap hari terbatas pada angka tertentu.
Tapi mereka tahu bahwa diri mereka tidak berpunya dan kekurangan banyak hal dalam keseharian. Tersinggung kalau disebut miskin, tetapi mau menerima bantuan untuk jatah orang miskin. Mereka ingin hidup nyaman; tidur nyenyak, makan cukup, rumah tidak bocor, air tercukupi, mandi dan buang hajat dekat dan seterusnya. Tapi mereka tidak tahu bagaimana harus mengubahnya.
Mereka tahu terhadap pejabat RT/RW atau Kades seharusnya membantu mereka. Tetapi mereka tidak bisa bisa mengenal bentuk bantuan yang paling tepat untuk dilakukan. Itulah kenapa ketika mereka dibantu pasang beton atau dibantu beras atau uang saat musim kampanye mereka sadar orang lain telah berbuat baik. Dari situlah mereka mengenal kebaikan itu kalau ada yang membantu secara tunai lalu membalas bantuan dengan sistem tunai dengan cara mencoblos mereka saat pilkada/pemilu.
Dari sekian fakta di atas, ada satu hal yang membuat petani terpuruk, yakni tidak memiliki kemampuan perencanaan untuk menghasilkan nilai lebih dari lahan. Di tengah jalan kegiatan pendampingan tersebut saya menemukan prinsip penting bahwa perencanaan adalah hal yang penting untuk mengubah keadaan, menetapkan tindakan agar tidak beresiko gagal, dan usaha meraih kesuksesan. Tanpa kemampuan perencanaan hidup kita tak ubahnya ternak. Sun yat Sen bilang “Yang membedakan manusia dengan binatang bukan sandang atau pangan melainkan buku.” Sementara ada ungkapan satir dari Gertrude Stein bahwa , “Yang membedakan manusia dari binatang adalah uang”. Tak ada yang salah dari ungkapan itu, namun menurut saya, Manusia dan Binatang juga bisa dibicarakan dalam konteks kemampuan berencana. Monyet tidak memiliki kemampuan berencana sementara manusia bisa melakukannya.
Kaidah Pendampingan
Mereka ingin berubah, terutama anak-anaknya. Misalnya ada imajinasi agar anak-anaknya bisa sekolah tinggi. Hanya saja mereka merasa tidak mungkin menyekolahkan anaknya kecuali sampai Sekolah Dasar.
Untuk menjawab pertanyaan pada pembuka tulisan ini, maka yang sesungguhnya dilakukan adalah:
1)Interaksi yang cukup sampai tahap dekat dan menjadi bagian dari mereka. Jangan ada jarak elitisme. Buatlah bergaul secara nyaman penuh kesetaraan.
2) Memahami arah hidup mereka beserta kepentingan-kepentinganya sehingga tahu letak sisi positif dan negatif dari pola pikir mereka.
3) Mendorong potensi sekecil apapun yang hendak mereka lakukan untuk coba-coba dalam pendampingan rutin.
4) Memberikan gambaran-gambaran baru yang terhubung dengan dunia mereka seperti tanah, pohon, ternak, manfaat tanaman, gizi tanaman, dan lain sebagainya.
5) Tidak menyalahkan cara mereka dengan diskursus apalagi debat lisan karena itu hanya akan membuat mereka pusing. Pengubahan pola kerja atau pola hidup harus melalui pendidikan amal-praktis dan mereka merasakan manfaat dari pola baru tersebut.
6) Memberikan dorongan-dorongan atas prestasi mereka sekecil apapun agar mereka merasa mendapatkan harga diri dan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka adalah manusia yang berguna.
7) Diajak “piknik” secara positif dengan menghubungkan petani dengan orang-orang di luar kampung halamannya, termasuk rutin interaksi dengan orang-orang berilmu yang menyayangi mereka, yaitu mereka orang yang tidak sombong dan mau dekat dengan petani rendahan.
Ajaran Praksis
Kemudian setelah menerapkan kaidah tersebut, ada baiknya kita masuk praksis emansipatif dengan jalan pendampingan. Pendampingan juga tidak sembarangan asal mendampingi, tetapi juga bukan berarti sulit dilakukan. Asalkan konsisten, kontinyu dan menjadi bagian para petani, mereka juga akan minat untuk berubah. Soal ilmu yang kita miliki tinggal cepat-cepat belajar; belajar bareng mereka. Kita bisa mendapatkan segudang pengetahuan yang relevan dengan kehidupan para petani dari internet, ada jutaan bacaan, ada ribuan film dan ada segudang solusi yang mudah kita pelajari dan kita praktikkan dengan cara mudah dan murah.
Saya punya satu contoh di antara sekian pendampingan yang sudah dilakukan Odesa Indonesia. Pertama-tama mengubah keadaan dengan “menafsir kepemilikian”. Pernah saya bertanya kepada seorang petani. Kenapa tidak bertani ini dan itu?
Petani itu menjawab, “tidak punya lahan”. Setelah saya cek ke lapangan, ternyata mereka punya lahan, walaupun hanya 260 meter persegi. Bagi petani lahan itu tidak dianggap modal apalagi konturnya lereng sehingga yang tumbuh hanya semak rerumputan. Dalam pandangan dirinya, keadaan tanahnya itu tidak bisa digunakan untuk sarana produksi.
Setelah proses beberapa bulan kemudian, saya dorong petani itu mengolah lahannya dengan beberapa jenis tanaman obat. Sebelumnya mereka tidak mengenal tentang pertanian untuk herbal. Yang mereka ketahui bertani itu sesuai arus kebiasaan tetangganya. Ketika banyak orang bercocok tanam sayuran, mereka pun tahunya hanya sayuran. Pisang tidak ia ditanam karena dianggap lama (8-9 panen). Namun anehnya ia membiarkan tanah mereka, artinya menyukai ketidakjelasan hasil. Padahal kalau ditanami pisang apalagi tanaman obat dalam waktu 6-9 bulan sudah pasti kelihatan hasilnya.
Ketika orang tersebut saya ajak menanam tanaman obat, dia bertanya untuk apa dan bagaimana menjualnya. Saya menjawab manfaatnya melalui penjelasan menonton video tentang manfaat Moringa/kelor, Daun Afrika, Kumis Kucing dan sejumlah manfaat tanaman herbal lainnya. Mereka senang karena mendapatkan hal yang baru.
Sementara untuk urusan pasar saya jelaskan bahwa ada kebutuhan besar di luar; ya di luar yang mereka tidak ketahui. Supaya tidak mempersulit proses pendampingan maka saya jawab singkat, kalau nanti panen, saya borong semuanya. Petani itu pun senang dan sekarang lahan sudah tumbuh; padahal sebelumnya dia dikenal sangat malas dalam kerja tani.
Sekarang, sejengkal tanahnya itu berdaya walaupun belum bisa mengatasi masalah hidupnya seratus persen. Ada 8 orang lain yang serupa kasusnya dan sekarang sedang melakukan produksi pertanian model baru. Nanti akan ada langkah lebih lanjut terkait usaha dari proses menuju progress (kemajuan) melalui teknologi dan kecerdasan otak. Prinsipnya, lahan yang sempit tidak masalah, asalkan otak kita luas niscaya akan menjadi lahan tempat kita memanen kebaikan. []
Komentar ditutup.