Berkebun di desa itu menyehatkan.-Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata perkotaan? Tentunya, pemandangan gedung pencakar langit, pembangunan infrastruktur dimana-mana, dan lampu-lampu kota berkelip di setiap sudut jalanan.
Namun di balik gemerlapnya perkotaan, ternyata sudah menjadi rahasia umum bahwa kota menyimpan kerasnya hidup dalam pekerjaan, tempat tinggal, dan perjalanan. Kesibukan kota yang seharusnya melapangkan kesempatan justru meninggalkan kesesakan dan kelelahan bagi sebagian besar orang di dalamnya.
Hal ini diperparah dengan hilir mudik masyarakat kota yang tinggi, dimana tingkat perpindahan masyarakat ke daerah perkotaan yang meningkat menjadi salah satu faktor padatnya perkotaan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 melaporkan sebanyak 56,7% penduduk Indonesia memutuskan untuk tinggal di perkotaan, yang mana diprediksikan untuk terus meningkat menjadi 66,6% pada tahun 2035.
Ketersediaan lapangan pekerjaan, upah kerja yang lebih tinggi, dan motivasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik menjadi pendorong masyarakat menghabiskan waktunya di perkotaan, suka ataupun tidak suka. Tak jarang, banyak orang mengabaikan kesehatan fisik dan mental mereka untuk terus bergulir dalam mobilitas perkotaan yang tinggi untuk bertahan hidup.
Slow Living diperlukan oleh pekerja Hustle Culture
Modernisasi melalui industrialisasi membawa sebagian masyarakat berpindah untuk menggantungkan hidupnya di perkotaan.
Pekerjaan yang serba-cepat dan kompetitif mengantarkan masyarakat kota lekat dengan hustle culture, yaitu sebuah fenomena di mana bekerja keras menjadi prioritas utama dalam hidup mengesampingkan hal-hal krusial termasuk kesehatan dan kehidupan sosial.
Mari kita pahami keadaan Hustle culture;
1. Tekanan Pekerjaan yang Ekstrem
Sudah sangat lumrah bagi masyarakat kota, khususnya kota-kota besar, untuk bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai tidak tidur berhari-hari. Belum lagi, tren hidup produktif membiasakan anak-anak muda untuk melakukan pekerjaan secara multi-tasking tanpa lelah dan bahkan bekerja di hari libur.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan tersendiri bagi masyarakat kota mengingat kompetisi SDM yang tinggi mengharuskan orang-orang untuk bisa menonjolkan diri dalam kerangka personal branding demi mengangkat derajat dan kredibilitas diri.
2. Kehidupan Sosial yang Minim Dilakukan
Terkadang, saking lelahnya bekerja, penduduk kota sudah jarang untuk berkomunikasi santai dengan orang lain. Mereka memperkecil lingkaran pertemanan dan hanya berbicara seadanya karena tidak ingin membuang-buang waktu.
Hal ini bahkan berdampak bagi kurangnya konsentrasi seseorang pada keluarga dan teman-temannya sehingga perasaan kesepian tak jarang menjalar pada penduduk kota.
3. Gaya Hidup yang Tidak Sehat
Hustle culture juga mengurangi perhatian penduduk kota pada kesehatannya yang dimulai dari makanan. Kopi berlebihan, fast food, makanan tinggi gula atau tinggi lemak, dan kurangnya olahraga menjadi teman akrab masyarakat kota.
Sehingga penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang kebanyakan disebabkan oleh gaya hidup kurang sehat seperti diabetes dan jantung koroner menjadi ancaman nyata yang jarang dihiraukan masyarakat perkotaan.
4. Kehilangan Koneksi Spiritual
Sibuknya bekerja dapat melalaikan dalam melakukan ibadah ataupun menjalankan kegiatan yang membantu meregenerasikan sisi spiritual penduduk kota, seperti bermeditasi, merefleksikan diri, dan mengikuti komunitas sukarelawan atau pengembangan diri.
Waktu yang sempit biasanya cenderung digunakan untuk istirahat dan kembali lagi bekerja di kemudian hari. Oleh karenanya, perasaan gusar dan cemas selalu mengiringi masyarakat kota di setiap harinya.
Mengunjungi Daerah Perdesaan Bantu Tingkatkan Serotonin
Mobilitas kehidupan nonstop menghasilkan SDM yang rentan akan gangguan mental. Global Health Data Exchange pada laman Kompas.id pada tahun 2017 menyatakan bahwa lebih dari 315 ribu penduduk jakarta mengalami gangguan mental berupa ansietas dan disusul dengan depresi sebesar 246 ribu orang.
Gangguan mental ini bukan hanya memiliki efek berkurangnya produktivitas diri namun juga dapat menurunkan efektivitas bekerja pada suatu perusahaan. Sudah saatnya, kesadaran akan kepentingan menjaga kesehatan mental diprioritaskan dalam menjalani hidup bagi setiap individu di perkotaan.
Saat ini, menyempatkan berlibur ke daerah perdesaan merupakan privilese yang tak bisa digantikan dengan uang karena berpotensi mengurangi stres yang sudah lama terakumulasi.
Berbeda dengan perkotaan, perdesaan menyuguhkan lanskap alam dan interaksi sosial yang menenangkan karena daerah perdesaan identik dengan daerah minim polusi disertai dengan lahan perkebunan dan tumbuhan yang masih melimpah ruah, gaya hidup yang santai dengan ruang bergerak yang luas, dan interaksi komunal dengan kebudayaan dan ritual keagamaan yang masih kental.
Kita pastinya banyak menemukan kehidupan desa yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan sehingga waktu luang lebih banyak digunakan untuk bercengkrama dengan orang-orang sekitar. Hal-hal kecil yang jarang dilakukan orang kota inilah yang sebenarnya dapat memberikan perasaan bahagia melalui modulasi hormon serotonin, yaitu salah satu hormon yang memberikan ketenangan dalam jangka panjang.
Dilansir dari situs resmi Pittsburgh Parks Conservancy, hormon ini juga berfungsi sebagai anti-inflamasi sehingga menekan radikal bebas yang dipicu oleh stres dan polusi berlebih. Sehingga, semakin sering kita mensekresikan hormon serotonin, semakin hidup terasa lebih ringan dan bugar.
Menikmati Kegiatan Desa bersama Odesa
Odesa merintis pemberdayaan desa untuk menjadikan desa sebagai sarana belajar dan berbagi. Odesa sudah banyak melakukan kegiatan sosial yang melibatkan anak muda dan warga lokal untuk menumbuhkan kesadaran akan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia desa demi menciptakan produktivitas dan kebermanfaatan untuk sesama. Beberapa kegiatan Odesa ini dapat menjadi alternatif baru liburan bagi masyarakat kota.
1. Kebun Odesa
Odesa sudah mempelopori kegiatan berkebun untuk membudidayakan tanaman bernilai jual tinggi yang kaya akan manfaat kesehatan. Di sini masyarakat umum dapat memahami seluk-beluk dan metode pertanian tanaman kelor, matoa, hanjeli, dan sorgum.
Tanaman ini terus dikembangkan menjadi produk diversifikasi pangan dan pangan fungsional yang bernilai jual tinggi dan mampu bersaing di pasaran, contohnya adalah penjualan benih kelor dan hanjeli serta produk teh daun kelor.
Tentunya, masyarakat juga dapat belajar pertanian secara mendalam bersama Odesa melalui Sekolah Tani Odesa. Di sini, edukasi mengenai pentingnya sektor pertanian desa dan kaitannya dengan pengolahan tani ramah lingkungan untuk menciptakan pertanian yang mengedepankan kerangka ekologis dengan hasil tani yang berkualitas.
Dari Sekolah Tani ini juga bergerak untuk menanamkan nilai-nilai solidaritas dan esensi dari kegiatan bercocok-tanam sehingga menumbuhkan semangat gotong-royong dan aktivitas pertanian yang solutif.
Baca juga: Sekolah Tani Odesa: Model Baru Meningkatkan Mutu Generasi
2. Memberdayakan Masyarakat dari Pekarangan
Odesa mewadahi pengetahuan mengenai ketahanan pangan yang dimulai dari pekarangan atau home garden melalui Tani Pekarangan Odesa.
Melalui kegiatan tersebut, masyarakat, khususnya ibu rumah tangga dibimbing untuk mengolah lahan sempit untuk menjadi lahan produktif yang ditanami tanaman pangan guna mengatasi kelangkaan pangan pada saat darurat.
Tani Pekarangan memberikan dampak yang signifikan dalam membangun kemandirian pangan yang tak tergoyahkan krisis iklim dan krisis ekonomi.
Baca juga: Gerakan Ibu Rumah Bandung Utara Berkebun di Pekarangan
3. Kegiatan Edukasi Tingkatkan Literasi Anak
Meningkatkan literasi anak menjadi tanggung jawab semua orang. Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia menyatakan kekhawatiran minat literasi Indonesia yang hanya dimiliki 1 dari 1000 orang. Menyoroti rendahnya kemampuan literasi bangsa, Odesa menggencarkan semangat literasi yang dimulai dari anak usia dini melalui Sekolah Samin.
Kegiatan literasi di Sekolah Samin menggaet anak-anak muda untuk melakukan kegiatan mengajar secara sukarela untuk menarik minat baca anak usia sekolah. Terdapat program pendukung literasi seperti fasilitas peminjaman buku dan program membaca 1 pekan 1 buku untuk mengoptimalkan sudut desa yang kosong menjadi sudut yang penuh ilmu.
Baca juga: 3 Langkah Utama Odesa untuk Meningkatkan Literasi Anak-anak Desa
Di samping itu, Odesa juga mewadahi pengetahuan mengenai pertanian melalui pengembangan literasi pertanian bagi masyarakat setempat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan petani, kesadaran akan inovasi produk olahan pertanian, dan juga penerapan teknologi pertanian.
4. Aktivitas Filantropis Mengangkat Harapan Warga Desa
Kegiatan yang dilakukan Odesa tentunya membutuhkan dukungan dari semua pihak. Oleh karenanya, Odesa menjembatani publik untuk melakukan donasi daring untuk disalurkan secara tepat sasaran.
Donasi ini diberikan untuk membahanbakari kegiatan pengembangan produk dan dukungan teknologi pertanian di lahan dan pekarangan serta peningkatan pendidikan masyarakat desa binaan Odesa.
Tak hanya itu, Odesa juga menyelenggarakan aksi kepedulian bagi masyarakat desa lainnya seperti pembagian bibit, pemberian bantuan bagi masyarakat pra-sejahtera, pembangunan sanitasi, dan pembangunan tempat ibadah.
Baca juga: Sumbang Para Petani Agar Muncul Kebun Hijau Mengganti Lahan Gersang
Kegiatan di desa membuka kesempatan bagi penduduk kota untuk meninggalkan kehidupan perkotaan yang penuh tekanan. Melalui berkebun, berinteraksi dengan alam, bercengkrama dengan masyarakat, dan membantu sesama, kegiatan ini mampu mengeliminasi faktor pemicu stres yang menghantui masyarakat perkotaan.
Tentunya, kegiatan yang identik dengan perdesaan inilah yang dapat diolah untuk melahirkan kembali tujuan hidup dan nilai kemanusiaan yang sebelumnya hampir nihil dirasakan masyarakat kota.
Dengan Yayasan Odesa Indonesia, perdesaan dibina secara bertahap untuk menjadi ruang rekreasi dan inovasi yang jauh dari kebobrokan dan ketidakberdayaan sehingga menarik minat masyarakat kota untuk berkontribusi di dalamnya.[]
Admin: Alma Maulida