SENTAK DULANG CIMENYAN. KETIKA kukurusukan di perkampungan Sentakdulang, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung, kami berjumpa dengan Mak Sopiah. Dia tengah duduk di gelodok rumah salah satu cucunya (Rabu, 18 Oktober 2017). Di kampung perbukitan berketinggian 1.200 Mdpl yang udaranya sejuk itu, kami berbincang tentang persoalan kesulitan air dan menyempatkan obrolan ringan tentang sosok perempuan yang akrab dipanggil Mak Sopiah.
“Ini mah rumah cucu saya,” katanya. Namun dia lupa cucu keberapa dari anak yang keberapa. Maklum, Mak Sopiah yang beranak delapan itu, kini dikaruniai sekitar 20 orang cucu dan 15 buyut.
Berapa usia Mak Sopiah? “Pokoknya saya lahir tahun empat puluh lima. Hitung saja berapa tuh usia Emak,” jawabnya. Berarti dia sudah mencapai usia 72 tahun, sama dengan usia republik ini.
Suganda, pasangan hidupnya, lebih tua darinya. “Suami saya sudah 84 tahun. Sudah renta tapi tak mau diam di rumah. Sekarang juga lagi jalan ke kebun,” tuturnya.
Pasangan lansia ini, memang pasangan yang sehat. Tidak pernah sakit serius atau berobat ke doker. Mata Mak Sopiah hingga kini masih normal. Tidak membutuhkan kacamata. Giginya putih bersih dan masih utuh. Kakinya masih kuat berjalan jauh.
Apa rahasia kesehatannya, Mak? “Ah Ema mah tidak banyak pikiran. Hidup apa adanya. Makan apa adanya. Apa yang ada di sekitar kita, ya itu saja yang dimakan. Suami saya juga begitu,” tuturnya.
Hingga kini tidak ada makanan yang dipantang Mak Sopiah. Apa saja, bisa disantap dengan nikmat. Tak ada cerita tekanan darah tinggi atau asam urat. “Tapi makanan sekarang mah banyak yang tidak sehat. Makanya banyak yang gampang sakit,” ujarnya.
Beberapa kali Mak Sopiah tertawa renyah. Tertawa yang lepas. Seperti ketika ditanya nama salah satu buyutnya yang berusia sekitar dua tahun, sedang bermain di pekarangan rumah.
“Nyaeta, saha nya ngarana. Atuda loba teuing buyut teh. Gampang hilap. Ah pokona Si Eneng we hehehe,” kata Mak Sopiah sambil mengingat-ingat nama si buyut. –Enton Supriyatna Sind.