Tanah gersang di Bandung Utara

Ayo Bandung, Saya Siap Masuk Bui!

(Catatan Kecil Demi Penghijauan KBU)

herry dim penghijauan di bandung utara

Catatan : Herry Dim

SEPERTI pada judulnya, catatan ini ingin mengajak semesta urang Bandung untuk ikut serta merawat lemburnya sendiri, khususnya KBU (Kawasan Bandung Utara) yang notabene sudah demikian kritis. Sebagai pembuka, mohon jangan pernah berpikir bahwa diri kita ini bukanlah urang KBU sehingga merasa tidak ada urusan dengan KBU. Jangan ya Dik ya, cara berpikir seperti itu termasuk pikiran yang bengkok. Demi tidak terlalu bicara teknis, ada baiknya ketika membicarakan masalah lingkungan hidup itu berdasarkan analogi tubuh kita sendiri. Misalnya, kita semua mungkin pernah kacugak (kaki tertusuk benda tajam), pusat sakitnya memang di kaki tapi nyatanya seluruh tubuh bahkan pikiran kita ikut menderita. Bahkan, jika misalnya kacugak tersebut menyebabkan infeksi, seluruh tubuh kita meradang mengalami demam. Logika semacam itu yang membuat orang-orang di dunia bisa berteriak jika terjadi deforestasi (penggundulan hutan) di Kalimantan misalnya. Padahal jarak Kalimantan atau Indonesia ke Antartika itu sekira 9.174 km. Meski jauh, orang-orang tahu bahwa deforestasi tersebut akan mengurangi daya serap bumi terhadap suhu panas global, berpengaruh terhadap suhu di Antartika, menyebabkan pencairan es, permukaan air laut naik, dan salasatu akibatnya yang terasa langsung adalah banjir berkala di setiap tepian kota Jakarta, suhu udara di tempat kita hidup pun kian panas, iklim berubah, siklus pertanian jadi kacau, gagal panen sering terjadi, petani kian susah dan harga hasil tani pun jadi kerap gonjang-ganjing.

Sekadar mengingatkan, jarak kita dengan KBU itu tidak sejauh Antartika. Dari titik Merak Dampit yang gundul menyerupai padang pasir ke Gedung Sate sebagai pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat itu hanya 12 km, atau sekira 14 km saja ke Balai Kota Bandung. Akibat pertama dari kegundulan tersebut sesungguhnya berdampak pada petaninya itu sendiri, kualitas permukaan tanah di sana kian menurun bahkan kian rusak. Secara teknis dan lazimnya justru tanah permukaan itulah penunjang utama pertanian, sebab di sana seharusnya tempat tanah yang memiliki unsur hara atau entitas yang mengandung unsur-unsur penting bagi pertanian. Tapi karena gundul, bahkan hanya dengan sekali saja datangnya hujan takayal unsur penting tersebut tergerus dan dengan mudahnya segera meluncur ke bawah. Bayangkan, tidak mungkin hujan itu hanya terjadi sekali. Ia akan berlangsung ratusan kali sepanjang musim, senantiasa datang tiap tahun. Singkatnya, kini, KBU itu sudah takpatut lagi untuk pertanian sebab sudah jauh dari kesuburannya yang alamiah. Maka takheran jika kemudian senantiasa dilakukan jalan pintas dengan menebar pupuk kimia. Tanaman, memang, kemudian masih bisa tumbuh. Tapi di sebalik itu sejatinya permukaan tanah kian rusak, kerontang, mengeras, sementara sayuran yang ditumbuhkan dengan ‘racun’ itu mengalir ke pasar lantas masuk ke dalam tubuh kita. Maka, kalau manusia-manusia zaman sekarang ini ‘bersumbu pendek,’ gampang marah, temperamental, jangkauan pikirannya hanya sejengkal alias takbisa lagi berpikir panjang, kehilangan toleransi, menderita kesulitan untuk beremfati; bukan tidak mungkin karena kualitas makanan yang masuk ke tubuhnya itu sudah demikian buruk.

Akan lebih panjang lagi jika harus mengurai akibat lanjutan dari kegundulan KBU tersebut. Namun sekadar ringkasnya saja, sudah berulang banjir mendatangi kawasan bawah KBU di setiap musim hujan. Ini taklain karena air hujan takmemiliki lagi tempat berhenti di atas, taklagi terserap dan taklagi masuk menjadi ‘tabungan’ di dalam bumi, melainkan kala itu pula langsung meluncur menuju tempat-tempat yang lebih rendah. Sebaliknya jika kemarau tiba, sejatinya dirasakan oleh umumnya urang Bandung yaitu masa kesulitan mendapatkan air yang layak pakai, sumur-sumur galian mengering, dan air PDAM pun dari zaman ke zaman takpernah mencukupi dan takpernah terbagi secara adil. Kata kuncinya karena ‘air hadiah dari langit’ itu takterurus dan/atau takterserap di KBU. Jika terserap, itu samasekali bukan semata-mata untuk KBU. Ingat, hukum alam air itu senantiasa bergerak dari ketinggian ke arah yang lebih rendah. Ingat pula di dalam bumi ini sejatinya ada pembentukan alam lainnya, misal alur air atau bahkan (katakanlah) sungai-sungai bawah tanah. Itu untuk sekadar gambaran bahwa KBU itu alamiahnya berbagi ke mana-mana, sekaligus demi penggambaran bahwa KBU itu urusan kita semua, urusan semesta urang Bandung.

Itulah alasan catatan ini ingin mengajak seluruh urang Bandung untuk berderma bibit tanaman tegak yang pada waktunya ditanam di KBU. Odesa Indonesia (OI) yang telah berjalan delapan tahun bersama sejumlah relawan dari berbagai kampus dan para petani di lingkup kerja OI, beritikad untuk melanjutkan upaya-upaya penanaman pohon tegak, penghijauan kembali KBU. Ajakan ini, di satu sisi agar gerak penghijauan itu menjadi milik semua urang Bandung. Di sisi lain harus diakui OI itu bukan perusahaaan, bukan lembaga penghasil uang, melainkan sebentuk lembaga sangat kecil yang salasatu ideologinya adalah perbaikan alam. Kalaupun hingga Maret 2024 OI telah menanam sekira 894.000 (delapan ratus sembilan puluh empat ribu) pohon tegak, terutama pohon buah-buahan yang bermanfaat bagi petani dan masyarakat umum, meliputi Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang, dan Cileunyi; itu sebagian besar bibit-bibitnya berasal dari para dermawan atau donatur yang kebanyakan dari luar Bandung, sisanya adalah dari hasil pembibitan yang dilakukan oleh OI sendiri.

Catatan tambahan tapi penting/harus pula diketahui, bahwa lahan atau tanah di KBU itu umumnya bukanlah milik petani setempat. Para petani setempat umumnya hanyalah buruh tani. Harus pula dijelaskan bahwa kita hanya memiliki satu kata “petani,” secara teknis ataupun praxis tidak begitu mengenal (apalagi membedakan) antara farmer dan peasant. Ringkasnya saja, farmer itu memang petani juga, tapi kategorinya adalah mereka yang memiliki lahan, dan/atau pemilik lahan yang menggantungkan hidup dari hasil tani di atas lahan tersebut. Sementara peasant adalah petani kecil, penyewa, penyakap, dan/atau buruh tani.

Ini dikemukakan mengingat umumnya pemilik tanah di KBU itu bahkan kategori farmer pun bukan. Mereka umumnya hanya pemilik uang/modal yang menginvestasikan modalnya atas lahan tersebut. Seburuk-buruknya farmer –contoh ketika perkebunan-perkebunan di Indonesia di bawah kuasa pemerintahan kolonial– watak farmer sebagai petani itu niscaya memperhatikan ‘kesehatan’ tanahnya, mengatur pola tanam hingga panennya, termasuk upaya-upaya peremajaan tanah dan tanamannya. Betul bahwa di balik itu ada tanam paksa dan penindasan lain, tapi yang perlu digaris-bawahi untuk kepentingan catatan ini bahwa ada landasan ‘perawatan’ atas tanah. Sementara pemilik-pemilik tanah KBU yang bukan petani (farmer) itu umumnya cul-leos alias takpeduli dengan kondisi tanah, sebab yang penting bagi mereka itu adalah batas-batas ‘kepemilikan’ sebagai simpanan modalnya. Mereka akan tetap senyam-senyum meski kondisi tanah di sana itu meradang, yang penting batas-batasan kepemilikkannya tidak hilang.

Petani sejatinya memiliki archetype (bawah sadar kolektif) tentang perawatan tanah/alam, misalnya terasering relatif berlaku umum bagi petani-petani di bebukitan. Tapi karena mengalami pembiaran oleh para pemilik yang bukan farmer itu serta bisa dipastikan tidak paham tentang alam, maka ‘ilmu’ atau literasi para petani pun lama-kelamaan luntur dan hilang.

Perkara lanjutannya berkenaan dengan ‘batas-batas kepemilikan.’ Andai para pemilik tanah itu memiliki kesadaran lingkungan, seyogianya merekalah yang melakukan penghijauan kembali KBU sebatas tanah miliknya, sebab (teoritik ataupun praxis-nya) mereka seharusnya ikut bertanggung-jawab atas keberadaan dan kondisi tanah tersebut. Tapi puluhan tahun, dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, taksetitik pun yang memperlihatan gerak kepedulian tersebut. Manakala OI bergerak untuk menanam, atas nama hukum sesungguhnya menjadi taksepele, sebab bukan tidak mungkin bibit tanaman tersebut ditanam di atas tanah milik mereka. Sekali lagi, atas nama hukum, OI meski berjalan bersama relawan dan petani setempat bisa saja “dituduh” sebagai “menyerobot” tanah mereka. Alasan bahwa penanaman tersebut tidak berkepentingan ekonomi karena OI takakan mengambil hasil apapun dari yang ditanam, di hadapan hukum serta de facto dan de jure-nya yang berlandas atas nama ‘batas-batas kepemilikan’ tetaplah melanggar.

Atas kenyataan tersebut taksekali penulis catatan ini gurau (tapi sungguh-sungguh) di hadapan relawan ataupun para petani: “Repot amat, sudah tanam saja di lahan-lahan itu. Jika kelak ada yang memperkarakan, tentu tidak akan dijawab dengan berbelit-belit melainkan langsung diakui bahwa telah menanam di atas tanah hak miliknya. Jika hakim ketuk palu atas perkara tersebut dengan menyatakan bersalah, pun takakan berkelit atau berbelit-belit, kecuali mengakui ya saya melanggar dan saya siap menjadi orang pertama yang masuk bui!”

Atau seperti manakala suatu ketika menanam bersama belasan komunitas lain di luar Odesa Indonesia. Waktu itu kawan-kawan dari berbagai komunitas, relawan OI, dan para petani dengan susah payah menanam bibit-bibit pohon di sempadan jalan desa, tubir, di kemiringan tanah, atau lahan-lahan lain yang dianggap takberpemilik. Sementara lahan terbuka yang membentang dan bahkan tanpa harus pakai teori apapun bisa langsung disimpulkan sebagai ‘tanah sakit,’ itu dibiarkan atau atas nama adab karena belum minta izin pemiliknya maka tidak ditanami. Saat itu pula gurau dengan kalimat agak lain muncul: “ayo tanam saja di sana, masa sih dikasih keuntungan tanaman malah marah!

Kembali ke jumlah 894.000 pohon yang telah ditanam OI, itu kecil, masih sangat kecil jika dibanding dengan tingkat kerusakan dan/atau kebutuhan untuk penghijauan kembali KBU. Atas alasan itu pula maka catatan ini ingin mengajak urang Bandung untuk berderma bibit pohon tegakan (terutama buah-buahan), karena kebutuhannya masih sangat jauh dari mencukupi. Demi melihat hitung-hitungan kebutuhannya, izinkan penulis catatan ini mendaur-ulang tulisan lama yang pernah dimuat H.U. Pikiran Rakyat dengan judul “KBU, Pernyataan untuk Gubernur Jabar,” 16 Desember 2021, halaman 11.

KBU, Pernyataan untuk Gubernur Jabar

ADA beberapa pertanyaan yang, mau takmau, teralamatkan kepada gubernur provinsi Jawa Barat, Ridwan Kamil, sehubungan dengan niatan penanaman pohon tegakan di lahan-lahan kritis KBU (Kawasan Bandung Utara). Seperti yang kita ketahui, dua tahun yang lalu (Senin, 9/12/19), gubernur beserta jajarannya melakukan simbolis penanaman pohon di wilayah Caringin Tilu. “Berita” Website Resmi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menyebutkan seremonial itu sebagai penanda akan ditanamnya 17.150 pohon di kawasan tersebut (lihat, https://jabarprov.go.id/index.php/news/35583/Pemdaprov_Jabar_Tanam_17_150_Pohon_di_Caringin_Tilu). Pertanyaannya: Apakah jumlah 17.150 pohon itu sudah terpenuhi? Setelah dua tahun ini, apakah pohon-pohon tersebut tumbuh dengan baik? Apakah penanaman 17.150 pohon itu sudah dianggap cukup dan/atau akan dilanjutkan dengan penanaman berikutnya?

Baiklah, catatan ini melandaskan diri pada prasangka baik bahwa jumlah pohon itu sudah terpenuhi serta tumbuh dengan baik. Tapi, ihwal 17.150 pohon yang ditanam di Caringin Tilu serta KBU yang sudah demikian kritis, kiranya bisa disimpulkan masih jauh dari memadai. Seperti yang kita maklumi, sebagian besar KBU itu telah berubah menjadi lahan perkebunan, ground cover (tumbuhan bawah yang menutupi tanah) terdiri dari tanaman sayuran, selebihnya adalah kawasan hunian sejak perkampungan rakyat yang alakadarnya hingga satuan ataupun kompleks rumah mewah. Ini yang mengakibatkan kawasan menjadi rawan erosi, longsor, dan langganan banjir lumpur di kawasan bawahnya.

Berdasar hasil survei Odesa Indonesia, kawasan Caringin Tilu yang mengalami kritis berat itu mencapai 167 hektare atau setara 1.670.000 m2. Andai berhitung ideal, Caringin Tilu serta seluruh KBU seyogianya mengalami reforestasi dengan kerapatan pohon-pohon tegakan sebagaimana lazimnya hutan, mengingat alamiah serta ideal kebutuhan daya dukung ekologis KBU terhadap keseluruhan kota Bandung bahkan sampai ke titik-titik banjir di Bojongsoang dan sejajarannya. Namun, mengingat pula di sana telah terlanjur bertumbuh perkebunan yang berkait dengan hajat hidup petani serta kawasan hunian, maka mesti ditempuh jalan tengah dalam prinsip saling menjaga dan saling menghidupi. Jalan tengah minimal yang mungkin ditanami dengan prinsip agroforestri itu sekira 13 pohon per 16 m2, (10.000/16 x 13) = 8.125 pohon per hektare, atau untuk 167 hektare di Caringin Tilu (167 x 8.125) = 1.356.875 pohon. Jumlah 17.150 pohon yang ditanam Pak Gubernur untuk Caringin Tilu baru mencapai 1,27% saja.

Jika diperkecil lagi, misalnya dengan alasan bagian atas pohon-pohon itu kelak akan menjadi canopy sementara tanaman sayur membutuhkan sinar matahari yang cukup, katakanlah menjadi 5 pohon saja per 16 m2, (10.000/16 x 5) = 3.125 pohon per hektare, atau 521.875 pohon untuk 167 hektare di Caringin Tilu. Berbanding dengan 17.150 pohon yang telah ditanam gubernur, artinya baru mencapai 3.28% saja dari kebutuhan tanam.

skema penghijauan pohon

Gambar kiri menujukan isian 13 pohon untuk seluas 16 m2, dan (gambar kanan) isian 5 pohon untuk luas lahan yang sama.*

Negara Seharusnya Mampu

Data hasil survei Odesa Indonesia 2021 mencatat seluas 570 hektare lahan kritis di KBU dengan rincian Kampung Cikawari 133 hekatare, Kampung Pondok Buah Batu 9 hekatare, Caringin Tilu 167 hekatare, Kawasan Puncak Bintang 75 hekatare, Ciharegem sekitar Ciburial 103 hekatare, Gunung Putri/Cisanggarung 33 hekatare, Kampung Cikored 8 hekatare, Kampung Cisanggarung Desa Cikadut 21 hekatare, Sekitar hutan dan Pertanian Waas 21 hekatare. Jika menggunakan hitungan 5 pohon per 16 m2 maka perlu ditanam sebanyak 1.781.250 pohon. Sementara jika menggunakan hitungan mendekati ideal, yaitu 13 pohon per 16 m2 maka akan dibutuhkan 4.631.250 pohon.

Bagi sebuah pemerintahan provinsi dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Badan Nasional Penanggulangan dan Bencana, Perhutani, serta pemerintah kota dan kabupaten sekitar Bandung Raya; bahkan jika menggunakan hitungan mendekati ideal, pun seharusnya pengadaan hingga pelaksanaan penanaman 4.631.250 pohon itu mudah saja dan bisa bersegera, mengingat di sana terdapat seperangkat aparatur yang notabene digaji negara sehingga semua ini sejatinya menjadi tanggungjawabnya. Belum lagi dukungan sarana, prasarana, perangkat aturan, serta keleluasaan politik anggaran yang melengkapinya. Dengan semua kelengkapan itu, prestasi pemerintahan provinsi Jabar untuk KBU dalam dua tahun “berhasil” (dalam tanda petik) menanam 17.150 pohon = 0.37% saja!

Sekadar sebagai perbandingan, Odesa Indonesia yang hanya berisi beberapa gelintir orang tanpa gaji, bersama belasan relawan, dan dukungan para petani telah melakukan pembibitan dan penyebaran pohon kelor (Moringa oleifera) sebanyak 1.500 (2016), 9.000 (2017), 42.000 (2018), 29.000 (2019), 7.000 (2020), 8.000 (2021) = 95.000 pohon. Melalui penggalangan solidaritas bibit tanaman agroforestry (alpukat, nangka, aneka jeruk, sukun, jambu air, jambu mete, petai, jengkol, kayu manis, kayu putih, cendana) telah menanam 850 (2017), 6.500 (2018), 24.000 (2019), 46.000 (2020), 9.000 (2021) = 86.350 pohon.

Pembandingan ini bukan hendak ‘agul ku payung butut’ melainkan pembuktian atas premis kelengkapan negara yang seyogianya jauh lebih mampu dan lebih perkasa. Tapi, entahlah, kecuali hanya menyimpan sebuah tanda tanya.***

(Herry Dim, seniman, pelukis, pemerhati kebudayaan, penulis, pekerja bidang lingkungan hidup di Odesa Indonesia)

Baca juga: Pembangunan Desa dengan Menumbuhkan Tanaman Pangan Bergizi

Keranjang Belanja