40 Tahun Menambang Batu
Di Kartu Tanda Penduduk (KTP) Republik Indonesia tertulis nama: Damim. Lahir 1 Maret 1960 di Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.
Hampir semua pengurus Odesa Indonesia mengenal sosok ini. Pasalnya ia punya kisah spesial sebelumnya terbentuknya Odesa Indonesia.
Tanggal 8 oktober 2016 silam, istri Mang Damim, Ibu Amah, meninggal dunia setelah selama tiga minggu sebelumnya terbaring sakit di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Saat istrinya sakit itu, para relawan membantu keluarga Mang Damin dan dari kegiatan inilah yang memicu para relawan untuk meneruskan kegiatan pendampingan sosialnya.
Sewaktu mengurus Ibu Amah, saya melihat tubuh Ibu Amah terbaring di rumah panggungnya yang reyot dengan keadaan tanpa perawatan. Badan kotor, tak ada obat dan tiada makanan penunjang gizi.
Karena sudah empat bulan tergeletak tanpa perawatan, para relawan membawa tubuh perempuan yang badannya renta teramat kurus it uke RSHS Hasan Sadikin Kota Bandung.
Naas, sakit kankernya teramat akut tiga minggu semenjak di RSHS tersebut ia meninggal dunia.
Mang Damim dan Bu Amah membuka pintu gerakan karena dari situlah para relawan semakin memahami tentang keadaan warga masyarakat di perbukitan Bandung Utara.
Keterbelakangan dalam ekonomi, pendidikan dan pergaulan menunjukkan persoalan yang serius, bahwa pemerintah tidak serius dalam mendesain pembagunan untuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
Mang Damin, sampai ini masih sehat dan tetap bekerja sebagai penambang batu. Ia menjadi teman yang baik bagi para pengurus Odesa. Hidup dijalaninya selama 40 tahun lebih menjadi penambang batu.
Pada tahun 2023 ini ia sering mendapatkan uang antara Rp 400.000 hingga 500.000.
Mang Damin punya tiga anak. Semuanya sudah menikah. Semuanya hanya sekolah tamat Sekolah Dasar.
Sepanjang hidupnya Mang Damim menghabiskan waktunya di kampung Cadas Gantung dan galian batu templek. Dalam satu tahun tak selalu berurusan dengan kota Bandung.
Pernah juga ia pergi dari kampung itu di tahun 1990an sebagai pekerja bangunan. Ia tak betah di luar kampung halamannya.
63 tahun usianya kini, waktunya hidupnya nyaris hanya berurusan dengan rumah, ayam, domba dan bebatuan yang ia gali dari hari ke hari kecuali hari senin atau saat dia sakit.
Terhubung dengan kegiatan Odesa Indonesia, Mang Damim ikut menanam pohon buah-buahan dan juga sering mencarikan media tanam dari bawah pohon bambu.
Dengan seringnya pengurus Odesa menemuinya, ia juga punya bekal obrolan kepada teman-temannya.
Dengan kemampuan komunikasinya yang terbatas, ia bisa menceritakan kegiatannya, seperti pentingnya menanam pohon dan pentingnya makan kelor.
Tahun ini Mang Damim akan menanam talas (kimpul) sebagai sumber makanan penting bagi cucu-cucunya.
Di masa awal perkenalan saya dan Mang Damin ia tergolong orang yang susah komunikasi. Wartawan Enton Supriyatna sering butuh khusus lebih lama dan berulang-ulang dalam mengajukan pertanyaan saat menggali kisah kehidupannya.
Selain tak bisa bercakap bahasa Indonesia, ia juga tak bisa membaca. Tetapi seiring waktu berjalan dan perkenalan yang intensif, Mang Damim bisa lebih banyak berbicara.
Perlahan-lahan ia bisa bercerita, tentang kehidupannya yang sebagai pekerja galian batu, sebagai bapak dari anak-anaknya.
Awal oktober lalu para relawan muda Odesa Indonesia mengunjungi Mang Damim dan 14 tetangga lainnya.
Di tengah-tengah kegiatan penyaluran bantuan untuk warga Cadas Gantung itu, Mang Damin bilang, “era ih, dipoto wae,” (malu ih difoto terus). -Naskah dan Foto Faiz Manshur-