Perubahan Iklim dan Rakyat Miskin
Oleh Faiz Manshur. Ketua Odesa Indonesia.
Banyak ilmuwan bilang, kenaikan suhu 1,5 hingga 2 derajat celsius berdampak pada 33 persen persoalan hidup manusia dan hewan. Bahkan pada kasus tertentu bisa mencapai keparahan hingga 100 persen.
Sebagian ilmuwan menganggap hal itu sebagai persoalan semua penghuni planet bumi.
Tetapi Sebagian mengatakan, di belahan kutub utara justru merasa hidup lebih nyaman karena semakin panas berarti semakin bisa beraktivitas dan meningkatkan produktivitas hariannya.
Bahkan “aktivitas alam” sering memberi dampak kebaikan bagi manusia dan satwa.
Tetapi pembicaraan kali kita batasi saja pada zona terdampak buruk, terutama di negara kita yang berkait dengan rakyat miskin. Dan kali ini saya ingin memaparkan temuan di zona lokal, di Kawasan Bandung Utara.
Pada beberapa tahun terakhir, setiap musim kemarau, para petani bekerja lebih awal untuk menghindari panas.
Jika pada musim hujan mereka berangkat jam 07.00 dan pulang pada 15.00, di musim kemarau mereka berangkat jam 06.00 dan pulang jam 12.00.
Selain lebih cepat berangkat, kepulangannya lebih cepat tiga jam dari biasanya. Dengan demikian, sepanjang bulan Juni hingga Oktober (tahun 2022 dan 2023), durasi pekerjaan mereka berkurang setidaknya 420 jam kerja.
Sedangkan para penggali batu, baik di musim kemarau maupun musim hujan, tetap berangkat jam 06.00.
Tetapi jika pada musim hujan pulangnya bisa jam 15.00, atau lebih cepat jika hujan turun, pada musim panas mereka pulang jam 14.00.
Susutnya durasi kerja itu tidak terkompensasikan pada pekerjaan lain akibat merasa kepanasan dan lebih memilih berdiam di rumah karena ragam alasan kultur.
Tidur, menonton televisi atau “nyantai” adalah aktivis yang paling menonjol.
Dampak perubahan iklim pada mereka jelas berbeda dengan karyawan/pegawai bergaji.
Panas yang menyerang kaum “pekerja modern” biasanya hanya menurunkan produktivitas kerja, tetapi urusan pendapatan tidak, kecuali absen kerja.
Lain pada pekerja harian seperti petani dan penggali batu. Selain terdampak secara ekonomi, di ladang dan rumah mereka juga dibebani persoalan air.
Ada yang terdampak minimnya air, ada pula yang sama sekali tak mendapatkan air hingga berbulan-bulan.
Akibatnya, urusan air minum, air untuk mencuci dan mandi harus didapatkan dengan mengambil air yang menyita waktu 2-3 jam setiap hari.
Rakyat lapisan bawah yang bekerja di sektor seperti itu tentu patut mendapat perhatian khusus karena secara sosiologi memang paling sengsara.
Orang-orang miskin berpendapatan antara Rp.900.000 hingga Rp.1.200.000 dan orang-orang miskin ekstrem berpendapatan antara Rp.400.000 hingga 800.000 bukan saja kehilangan nilai materi dari kerja hariannya, melainkan juga terdampak dari sisi air.
Kesulitan air menyengsarakan banyak orang. Absennya pemerintah membangun infrastruktur air secara massif pada warga miskin telah berkontribusi banyak dalam mengekalkan kemiskinan.
Jadi jika kita bertanya mengapa orang miskin susah berkurang, salahsatunya karena disebabkan kurangnya air bersih.
Kurang finansial ditambah kurang air merupakan penyebab dari tidak berkembangnya pemikiran.
Tak hanya itu, dampak lain dari perubahan iklim juga menimbulkan persoalan berupa penyakit, salahsatunya berkaitan dengan nyamuk.
Perubahan iklim adalah semua kisah tentang mata rantai problem.
Ia hadir bukan sebagai persoalan tunggal. Terkait dengan orang miskin yang terdampak, saya harap kita memberikan perhatian dengan minimal dua hal, yakni perbanyak pohon penghasil pangan bergizi dan penuhi air untuk ladang serta air bersih untuk rumah tangga. [Naskah ini dimuat di rubrik Esai Koran Gala, Senin, 30 Oktober 2023]
Siaran Video Perubahan Iklim Odesa Indonesia
Siaran Youtube Perubahan Iklim dan Kemiskinan Petani Bersama Basuki Suhardiman
Program Odesa dalam Mengatasi Perubahan Iklim dan Kemiskinan Desa