Memahami Kemiskinan Petani dan Mengusahakan Solusi yang Tepat
ILMU DARI ORANG MISKIN
Oleh Faiz Manshur Ketua Odesa Indonesia
Di Kawasan Bandung Utara, saya dan puluhan teman-teman di Yayasan Odesa Indonesia berurusan rutin dengan orang-orang miskin. Dari sisi corak, orang miskin itu rupa-rupa jenisnya.
Dari sisi latarbelakang, orang miskin itu memiliki sebab-sebab yang berbeda -sekalipun banyak juga kesamaannya.
Ragam perilaku orang miskin dengan kekhususan-kehususan psikologis-nya juga merupakan fakta menarik.
Karena kita percaya sumber ilmu yang baik berasal dari realitas, maka menjadi bagian dari kehidupan orang miskin kita bisa mendapatkan banyak ilmu.
Salahsatu ialah bahwa sepetak tanah merupakan kunci untuk melepas jerat kemiskinan.
Ya, cukup sepetak, bukan sehektar. Dengan sepetak tanah itu orang miskin justru bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Bahwa selama ini sepetak tanah tidak berguna itu lebih disebabkan oleh cara pandang.
Jangankan sepetak, tanah seluas dua hektar pun bisa menjadi tidak berguna karena masalah cara pandang.
Sepetak tanah bisa menjadi aset berharga. Logikanya begini:
Orang-orang miskin (buruh tani tanpa memiliki ladang) kebanyakan bekerja di luar rumah mengandalkan sumber ekonominya dari tetangga sekitarnya yang membutuhkan tenaga kerjanya saat menggarap lahan pertanian.
Jika setiap hari selama 365 hari mereka mendapatkan pekerjaan secara rutin tentu tidak masalah.
Faktanya, para buruh tani di Kecamatan Cimenyan Kabupaten itu hanya mendapatkan pekerjaan rata-rata 9 hingga 12 hari dalam satu bulan, atau sekitar 108 hingga 144 hari dari total 365 hari dalam satu tahun .
Dengan upah rata-rata Rp 60.000, mereka hanya mendapatkan pemasukan rata-rata Rp 6.480.000 hingga 8.640.000 setiap tahun.
Bahkan banyak dari mereka yang hanya mendapat Rp 5.400.000 setiap tahun karena upah mereka dikendalikan oleh pasang-surutnya pekerjaan.
Saat musim kemarau panjang banyak buruh tani itu yang hanya bekerja mencangkul dan menanam, dan tidak bekerja saat musim panen karena gagalnya panen akibat hama atau bencana putting-beliung.
Dengan pendapatan itu, keadaan buruh tani masuk ke dalam situasi kemiskinan ekstrem.
Fakta di lapangan itu sama dengan temuan hasil survei dari Pertanian Terintegrasi (Sitasi) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana dikutip Antara, Selasa 7 Maret 2023.
Disebutkan, 72,19 persen petani di Indonesia merupakan petani skala kecil dengan rata-rata pendapatan bersih hanya sebesar Rp 5,23 juta dalam setahun. Angka ini jauh berada di bawah besaran garis kemiskian yang 6,4juta pertahun.
Bagaimana seandainya Anda hidup dalam pendapatan seperti itu?
Solusi ekonomi harus dicarikan. Peluang kerja yang pasang surut tak bisa menjadi andalan.
Sementara jika mereka berwirausaha yang bidangnya tidak terhubung dengan pertanian akan sulit berkembang.
Usaha tani pekarangan memiliki peluang penting untuk mengatasi persoalan dasar mereka.
Mereka juga memiliki potensi, yaitu berpengalaman menanam sayuran. Skill mereka bisa dijadikan modal untuk kegiatan pertanian di pekarangan.
Ada enam manfaat dalam pertanian pekarangan yang telah dijalankan oleh orang-orang miskin yang selama ini mengikuti praktik bersama Yayasan Odesa Indonesia. Orang-orang miskin itu mendapatkan manfaat berupa:
1) Mendapatkan sumber gizi yang baik dari hasil tanaman sendiri.
2) Kemampuan menekan pengeluaran dari belanja dapur.
3) Memiliki pengalaman baru, tumbuh kemampuan skill dan mental wirausaha.
4) Tumbuh kesadasaran sosial (kuatnya rukun tetangga), termasuk munculnya kesadaran berderma dari hasil panen.
5) Tumbuh mentalitas produktif karena menghargai setiap waktu menjadi kesempatan berharga di sekitar rumahnya.
6) Tumbuh kesadaran akan kebersihan dan tumbuh ketertiban lingkungan. (Sumber, Koran Gala, Senin 29 Mei 2023)
Video Memahami Kemiskinan Desa
Kemiskinan Warga Desa dan Kerusakan Lingkungan