Kisah Pilu Penggali Batu
Kisah Pilu Pekerja Galian Batu
LOKASI penambangan batu itu dikenal dengan sebutan Batutemplek, berada di Kampung Cikored, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan Kabupaten Bandung.
Jika tidak sedang kemarau, perbukitan batu tersebut menyuguhkan pemandangan yang indah. Terutama jika dilihat dari jalan antara Sentakdulang-Barukai ke arah timur.
Pada lanskap yang terbentuk akibat kegiatan penambangan, beberapa curug buatan mengalirkan air yang terlihat putih dari kejauhan.
Di bagian atas bukit dan di sekeliling lokasi penambangan, masih terdapat pepohonan hijau. Para wisatawan lokal dan pegiat gowes sering mampir untuk berfoto di tempat tersebut.
Namun di balik itu, ada kisah getir yang tersimpan di antara bongkahan batu dan bukit yang sunyi. Siang itu matahari mulai bergeser ke barat.
Belasan penambang batu berhimpun di sebuah saung, menyantap nasi bungkus masakan Padang yang dibagikan relawan Odesa Indonesia. Keringat membasahi pakaian mereka yang lusuh.
“Beginilah kegiatan kami sekarang ini. Terus menambang batu, tapi penghasilan kami boleh dibilang tidak ada. Karena hasil kerja kami tidak segera terjual, menumpuk untuk waktu yang lama.
Orderan sepi, tidak ada truk yang mengangkutnya,” kata Abah Eli (72), penambang paling senior di antara mereka, sambil menunjuk ke arah tumpukan batu.
Abah Eli bercerita kepada Odesa, 7 September 2023, dalam beberapa tahun terakhir ini, permintaan komsumen kian menurun. Apalagi kemudian datang wabah Covid-19 yang membatasi berbagai kegiatan sehari-hari.
“Meskipun wabah itu sudah berlalu, namun belum membuat usaha batu membaik.
Setiap hari memang kami bekerja, tapi entah kapan mendapatkan uangnya,” kata Anang (45), penambang lainnya.
Lokasi penambangan itu milik sejumlah pengusaha, yang dibagi beberapa blok. Setiap blok punya penambangnya masing-masing.
Ada dua jenis batu yang dihasilkan dari tempat tersebut, yaitu batu templek dan batu tampol.
Batu templek berbentuk pipih, biasanya ditempelkan pada dinding bangunan atau lantai. Sedangkan batu tampol untuk kirmir atau pondasi bangunan.
Pada masa “normal” dalam sepekan truk bisa mencapai 3-4 rit mengangkut batu, yang dikirim ke berbagai tempat.
Untuk satu truk berisi 4-5 kubik batu tampol dijual Rp400 ribu. Para pekerja kebagian Rp250 ribu, sisanya menjadi milik pengusaha.
Sementara untuk batu templek, dijual Rp25 ribu per meter persegi. Upah bagi penambang Rp7.000 per meter persegi.
“Sekarang mah satu truk saja tidak ada yang ngetem. Upah bagi pekerja dibayar jika batunya sudah terjual. Kalau belum terjual, ya tidak dibayar. Bertumpuk saja batunya.
Upah sebesar itu bukan untuk satu orang, melainkan untuk banyak pekerja. Upahnya dibagi-bagi,” kata Ujang Rusmana (44), yang pernah bekerja di tempat tersebut selama 10 tahun, sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Entah sampai kapan
Mereka mengakui, pernah merasakan pendapatan yang cukup lumayan, ketika sebuah perumahan mewah memulai pembangunannya di kawasan Gedebage, Kota Bandung.
Penjualan batu pondasi melonjak tajam. Truk pengangkut batu wara-wiri ke lokasi penambangan.
“Setelah itu, kami belum merasakan lagi pendapatan seperti itu,” ujar Anang lagi, yang orang tuanya juga pernah menambang di tempat itu.
Batu templek dan batu pondasi yang dihasilkan dari lokasi tersebut sudah terkenal sejak lama.
Seorang mantan penambang, Sulaeman (76), warga Cikored, mengaku pernah ikut dalam pengiriman batu untuk pembangunan Gelanggang Olah Raga (GOR) Senayan Jakarta, yang kini dikenal sebagai Gelanggang Olah Raga Bung Karno (GBK), pada tahun 1960-an.
Sulaeman sudah lama berhenti jadi penambang batu karena usia sudah tidak mengizinkan lagi.
Sementara itu, para penambang yang masih produktif terus mengayunkan palu besarnya, membelah batu-batu, meskipun pendapatan mereka tidak pasti.
“Mau bagaimana lagi. Hanya ini yang bisa kami lakukan. Kami tidak bisa menjadi petani atau menggarap pekerjaan lainnya,” ujar Anang.
Untuk memenuhi keperluan keluarga, para penambang biasanya mengajukan kasbon kepada majikannya.
Akan tetapi permintaan itu tidak selalu dipenuhi, jika kondisinya sedang tidak memungkinkan. Meskipun jumlah pinjaman tidaklah besar.
Kalau sedang tidak punya beras, seringkali mereka bekerja dengan perut kosong atau cukup diganjal roti sekepalan yang dibeli dari warung.
Dalam keadaan seperti itulah para penambang melakoni pekerjaannya selama 7-8 jam setiap hari, yang dimulai sekitar pukul 06.00.
“Yang penting mah, air minum jangan sampai tidak ada. Apalagi saat musim kemarau seperti sekarang,” tutur Ujang Rusmana.
Entah sampai kapan para penambang itu bisa bertahan. Bagi mereka, sepertinya tidak ada pilihan lain.
Bukit batu yang semakin terkikis itu, tetap menjadi harapan untuk melanjutan hidup.
Sambil menunggu datangnya semacam “keajaiban” agar mereka bisa keluar dari kesulitan. (Enton Supriyatna Sind).
Yayasan Odesa Indonesia mengajak saudara-saudara sekalian untuk berbagi kepada mereka. Baca info santunan yang dibutuhkan
Cerita Lain Tentang Mang Damin: Kisah Pilu Penggali Batu
Berita Lain Kisah Pilu Penambang Batu di Koran Gala
Video Odesa Tentang Kemiskinan, Empati dan Gerakan Sosial
Mari Membantu Fakir Miskin dengan Donasi melalui Kitabisa.com