Syekh Siti Jenar dan Kepribadian Masyarakat Ingsun

Oleh Faiz Manshur
Ketua Odesa Indonesia

Arti Kata Insun

Kata “insun” yang oleh orang dilafalkan “ingsun” itu berasal dari bahasa Sansekerta. Berakar dari kata “sun” (berbentuk pasif verba). Kamus Jawa Kuna menjadikan sebagai kata ganti orang pertama.

Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar

Kemudian muncul imbuhan menjadi “insun” atau  “ingsun” yang artinya adalah “diri seseorang yang punya martabat”. Kata “sun” juga berkembang menjadi “isun”, “ninsun”, “nisun”, yang penggunaannya berbeda-beda.

Sejarah Kata Insun

Di zaman Majapahit, Demak, hingga Mataram modern, penggunaan istilah “insun” atau “ingsun” penggunaannya terbatas saat raja (atau pejabat lain) memberi instruksi (titah) atau saat para ulama (brahmana) mengajarkan kitab.

Sampai sekarang praktik penggunaan kata “ingsun” masih berlaku di kalangan pesantren. Saat mengaji kitab kuning, para guru ngaji -misalnya- mengucapkan nawaitul wudlu’a (niat ingsun wudlu), bukan “niat kula” atau “niat saya,” atau “niat abdi”.

Kata “ingsun” ini penting dipelajari karena berurusan dengan jati diri manusia. Seorang guru di era Walisanga bergelar Syekh (guru besar) pernah mengajarkan pengunaan istilah ini.

Nama guru itu adalah Abdul Jalil, bernama kecil San Ali, anak dari seorang ulama dari Malaka, Syekh Datuk Saleh yang pindah ke Cirebon tahun 1425.

Sejarah Syekh Siti Jenar

Abdul Jalil ini dikenal dengan nama Lemah Abang dan lebih masyhur disebut Syekh Siti Jenar. Ia mendapat sebutan Syekh karena menjadi mentornya para brahmana.

Sunan Kalijaga, selain sebagai menantu, juga merupakan murid dari Syekh Siti Jenar. Ia mengajar setelah menimba ilmu selama 5 tahun di Cirebon, 1 tahun di Palembang, 2 tahun di Malaka, dan 17 tahun di Baghdad.

Sepulang dari Baghdad ia bergabung dengan Walisanga dan mengajar di Padepokan Giri Amparan Jati, juga membuka padepokan baru yang dikenal Lemah Abang.

Syekh Siti Jenar menganjurkan murid-muridnya menggunakan kata “ingsun” untuk menggantikan istilah k(aw)ula, sa(ha)ya, dan dalem.

Ia berlakukan itu untuk murid-muridnya lepas kasta. Sebab menurutnya, semua manusia setara terlepas dari mana asal golongannya.

Lemah Abang sendiri merupakan istilah untuk menganalogikan asal-usul manusia dari tanah dengan darah merah-nya.

Ia juga menggunakan istilah cacing untuk menunjukkan persamaan asal-usul makhluk.

Manusia itu hanyalah hamba yang melata seperti cacing; lahir dari tanah dan hidupnya berurusan dengan tanah dan jasadnya kalau mati menjadi tanah.

Yang membedakan manusia dengan cacing ialah kemampuan mengenal kesejatian hidup. Jika tidak, maka manusia tak ubahnya seperti cacing.

Anehnya, narasi-narasi  ini pada 300 tahun kemudian berubah menjadi mitos bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Syekh Siti Jenar mengajarkan persamaan hak dengan landasan konsep ummah (kewargaan) yang dibangun Nabi Muhammad Saw dengan tata hubungan kerjasama (musyarakah) yang melahirkan Peradaban Madinah. Kata “musyarakah” ini yang kemudian kita serap dengan istilah “masyarakat”.

Dengan “kekuatan ingsun” itu dampaknya kemudian memunculkan keberanian rakyat yang sebelumnya bermental jelata memiliki jati diri sebagai manusia yang setara di hadapan golongan ksatria (pemerintah).

Kebijakan pemerintah tak boleh asal perintah (top-down), melainkan harus dimusyawarahkan (bottom-up).

Lima belas tahun gerakan berjalan. Meluas ke Bekasi, Karawang, Kuningan, Brebes, Tegal, Pekalongan, Ungaran, Jepara, Boyolali, Kediri, Tuban, dll.

Penguasa pun gerah. Banyak kisah berdarah berkelanjutan. Tetapi di situlah gagasan-gagasan perbaikan muncul.

Gagasan pergerakan sipil model Syekh Siti Jenar ini memberi pelajaran penting; jika negara ingin baik, gerakan sipil harus selalu canggih memproduksi gagasan baru dan harus punya keberanian menabrak status-quo. [Sumber Naskah Koran Gala Bandung, Sabtu 29 Oktober 2022]

Artikel terkait:

Jaka Tingkir dan Pengembangan Masyarakat Sipil

Profile Odesa Indonesia di TV One

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja