JAKA TINGKIR DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT SIPILOleh FAIZ MANSHUR
Ketua Odesa Indonesia
Jaka Tingkir itu nama kecilnya Mas Karebet, anak dari Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging), Kakeknya Jayaningrat, Bupati di Pengging (kawasan Surakarta di masa kerajaan Majapahit) yang leluhurnya terhubung dengan trah Prabu Brawijaya V.
Ia lahir saat ayahnya mengadakan pertunjukan wayang yang dimainkan oleh Ki Ageng Tingkir, teman Ki Ageng Pengging yang bersama-sama berguru kepada Syekh Siti Jenar.
Pada saat pertunjukan itu hujan turun disertai angin kencang. Pertunjukan terpaksa dihentikan pada pertengahan malam. Esok paginya sang dalang sakit dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian Ayah Mas Karebet meninggal dunia karena dihukum mati oleh Kerajaan Demak dengan tuduhan hendak memberontak. Yang melaksanakan hukuman adalah Sunan Kudus.
Setelah kematian suaminya, istri Ki Ageng Pengging wafat karena sakit-sakitan. Dari kematian akibat tuduhan hukuman memberontak inilah kemudian orang-orang Pengging semakin tidak menyukai kerajaan Demak.
Mas Karebet (selanjutnya kita sebut Jaka Tingkir) itu menjadi yatim-piatu. Ia diasuh oleh saudara-saudaranya di Pengging. Dua tahun kemudian, Jaka Tingkir diasuh oleh janda dari dalang Ki Ageng Tingkir.
Beranjak remaja, tepat pada umur 15 tahun, Nyai Ageng Tingkir menitipkan pendidikan agama kepada Sunan Kalijaga yang merupakan menantu sekaligus murid dari guru bernama Syekh Siti Jenar.
Selain belajar kepada Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir juga belajar pada Ki Ageng Sela, murid Senior Sunan Kalijaga.
Usia 19 tahun Jaka Tingkir mulai dikenal sebagai seorang santri yang berkarakter; pekerja keras, gemar tirakat, taat ajaran agama, dan jiwa ksatrianya sangat tinggi.
Sunan Kalijaga (yang saat itu menjadi penghulu Kerajaan Demak) sering mengabarkan kepada murid-murid lainnya, termasuk pada keluarga kerajaan Demak soal kelebihan muridnya itu.
Oleh Sunan Kalijaga Jaka Tingkir disarankan mulai terlibat pada urusan negara. Ia pun mengikuti seleksi menjadi tamtama di kerajaan Demak dan menjadi bagian penting dalam kemiliteran karena kemampuan beladirinya sangat baik.
Selain itu Jaka Tingkir juga memiliki jiwa kepemimpinan.
Tak sampai satu tahun menjadi Tamtama, ia mendapatkan perhatian dari Sultan Trengono, bahkan dijadikan seorang penyeleksi Tamtama untuk para Yuniornya.
Tetapi pada suatu hari ada situasi yang mengecewakan bagi Jaka Tingkir dan Sultan Trenggono. Saat ada penyeleksian calon Tamtama, Jaka Tingkir menghadapi peserta yang sangat angkuh bernama Dadung Awuk.
Karena ia minta diuji kesaktiannya, Jaka Tingkir pun beradu fisik langsung dengan senjata sadak kinang (keris bulat lurus). Tanpa bermaksud membunuh, sadak kinang itu mengenai dada Dadung Awuk lalu mati.
Sultan Trenggono marah. Selain dipecat dari Tamtama, Sultan Trenggono mengusir Jaka Tingkir. Keluar dari Kraton Demak, Jaka Tingkir menuju ke arah selatan bermaksud menemui saudara-saudaranya untuk mencari kehidupan yang baru di masyarakat.
Dari sekian saudara tuanya yang ditemui, ia kemudian mengikuti saudara tuanya, Ki Kebo Kanigoro (Ki Buyut Banyubiru).
Di lereng Gunung Merapi sebelah utara (Desa Turgo, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali) itu ia memperdalam ilmu spiritual.
Tetapi tidak sampai satu tahun kemudian Jaka Tingkir kembali menjadi Tamtama Demak karena jasanya menghentikan kerusuhan amukan kerbau di area kesultanan Demak.
Kembalinya Jaka Tingkir ke Demak ini juga didorong oleh Ki Kebo Kanigoro yang sebelumnya telah melobi pihak Demak, karena melihat Jaka Tingkir masih muda sehingga penting untuk menjadi ksatria ketimbang menjadi brahmana atau guru spiritual.
Sekitar empat tahun menjadi Tamtama Kerajaan Demak, Jaka Tingkir banyak mengukir prestasi gemilang karena bisa mengatasi banyak persoalan keamanan.
Sultan Trenggono menaruh kepercayaan yang tinggi sehingga ia mendapat kepercayaan untuk memimpin daerah Pajang dengan berstatus sebagai Adipati Pajang. Ia mendapatkan gelar Adiwijaya.
Pada masa ini juga ia mengasuh seorang anak dari saudaranya bernama Sutawijaya (yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Senopati, pendiri Mataram).
Pada tahun 1546 Sultan Trengono Wafat. Kerajaan Demak mengalami kemerosotan dalam urusan birokrasi dan banyak bermunculan pembangkangan di berbagai wilayah serta terjadinya tragedi pembunuhan.
Beberapa tragedi itu adalah kematian Pangeran Sedo Lepen, ayah Aria Penangsang, Bupati Jipang, kematian Sunan Prawoto, pewaris Sultan Trenggono dan kematian Pangeran Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat.
Tahun 1554, kekacauan Demak berhenti. Atas dukungan dari beberapa adipati, Jaka Tingkir berkenan mengambil inisiatif menahkodai kerajaan Demak.
Tetapi ia tak mau memimpin dari kota Demak dan memilih memindahkan pusat kerajaan Demak ke kadipatennya di Pajang dan dari situlah kemudian muncul kerajaan pasca Demak bernama Kerajaan Pajang dengan Raja Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya.
Sampai tahun 1586 Jaka Tingkir memimpin kerajaan Pajang. Selama 40 tahun menjadi raja itu berhasil menunjukkan kerajaan Pajang sebagai negara yang berdaulat kepada raja-raja lain di Jawa Timur dan Jawa Barat, bahkan juga diketahui oleh raja-raja di kawasan Sumatera.
Warisan Jaka Tingkir
Bahwa pada masa kerajaan Demak, perkembangan pendidikan masih banyak berputar di kawasan Pesisir. Kalaupun ada gerakan pendidikan kepesantrenan (lanjutan dari tradisi padepokan) yang masuk ke pedalaman itu bisa dihitung dengan jari.
Sebut saja misalnya gerakan Siti Jenar dengan “Lemah Abang”-nya di Pengging atau Gerakan “masyarakat santri-”nya Sunan Tembayat di Klaten.
Sejak Jaka Tingkir menjadi Raja Pajang, banyak bermunculan gerakan pendidikan spiritual, terutama ajaran moralitas dan kemanusiaan di kawasan pedalaman.
Berbeda dengan kerajaan Demak yang ketat mengontrol gerakan pendidikan pesantren, Sultan Hadiwijaya justru mendorong gerakan pendidikan tumbuh berkembang di masyarakat selaras dengan semangat Siti Jenar dalam menguatkan masyarakat sipil melalui pendidikan.
Kesusastraan yang tadinya hanya banyak beredar di kawasan Pesisir Utara pulau Jawa menyebar ke pedalaman-pedalaman Pulau Jawa meliputi beberapa area penting seperti Ngawi, Nganjuk, Bojonegoro, Kediri, Jombang, Ponogoro, Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, Magelang, Temanggung, Purworejo, Ambarawa, hingga beberapa kabupaten di kawasan Banyumasan.
Prestasi gemilang dari Kesultanan Pajang yang tak bisa diabaikan adalah munculnya serat Niti Sruti, sebuah karya ajaran kebijaksanaan untuk para pemimpin agar mengedepankan moralitas dan kemanusiaan.
Serat Niti Sruti ini ditulis oleh Pangeran Karanggayam yang kemudian oleh Jaka Tingkir dinobatkan sebagai pujangga Keraton Pajang.
Sejalan dengan munculnya serat-serat yang beredar, gerakan kesenian tua sejak sudah ada sejak zaman Daha(napura) seperti Kuda Lumping dan Reog juga semakin bebas menjadi hiburan rakyat.
Pernah suatu ketika KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut Jaka Tingkir sebagai bapak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau lebih tepatnya Bapak Pergerakan Masyarakat Sipil.
Gus Dur punya alasan karena dalam perjuangannya Jaka Tingkir tidak bersandar pada urusan kekuasaan semata sehingga saat ia merasa sudah kehilangan daya untuk melanjutkan kerajaan, Jaka Tingkir memilih mengajar masyarakat di pedesaan.
Pendapat Gus Dur ini tidak salah. Tetapi menurut saya, Jaka Tingkir lebih pada usaha pembaharuan daripada gerakan masyarakat sipil yang jauh sebelumnya telah diambil oleh Siti Jenar di kawasan Pesisir dan Sunan Tembayat di pedalaman.
Sebagai contoh dari pembaharuan itu adalah munculnya banyak perayaan religus dengan kesenian rakyat di masa Jaka Tingkir menjadi Raja Pajang.
Salahsatu perayaan yang terkenal dari masa Pajang adalah peringatan tahunan kaum santri Jatinom Klaten dengan istilah Yaa Qawiyyu, yang kemudian dilanjutkan di masa Mataram dengan beragam jenis acara untuk ragam peringatan hari-hari penting kaum santri lainnya. [Faiz Manshur]
Program Odesa, Kajian Pemikiran dan Praktik Sosial