Sejarah Danghyang Semar (Bagian I)
Mitologi, Sejarah dan Kebijaksanannya
Di Senin senja, 26 Pebruari 2024, Galeri Pusat Kebudayaan Bandung ramai oleh pengunjung.
Saya menjadi bagian dari kerumunan hadirin yang tertarik untuk melihat lukisan-lukisan Semar yang di pamerkan oleh 7 pelukis; Isa Perkasa, Chryshnanda Dwilaksana, Joko Kisworo, Taat Joeda, Pupung Prayitno, Acep Zamzam Noor, Ahmad Faisal Imron.
Pameran berjudul “Semar Mendem Mesem” yang digelar dari 26 Februari hingga 8 Maret 2024 tersebut menampilkan rupa-rupa Semar.
Satu hal yang menarik dari kegiatan para pelukis itu adalah keikutsertaan seorang pelukis berlatar Perwira Tinggi Polisi, yaitu Kasespim Lemdiklat Polri Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana. Ia juga seorang polisi pendidik yang menyukai kesenian dan sejarah wayang.
“Semar itu merupakan produk lokal jenius dan produk kearifan lokal karena dari kitab asli pewayangan Mahabarata dan Ramayana tidak ditemukan. Semar itu menurut saya tak bisa dibayangkan dalam bentuknya seperti apa. “Tan kena kinaya ngapa” (tak bisa disepertikan bentuknya),” katanya dalam sambutan pembukaan acara tersebut. Berlanjut kemudian, dalang Opick Sunandar Sunarya berkisah tentang sosok Semar dalam aksi pewayangan singkatnya.
Jangan Lupa Nanti Membaca Sejarah Syekh Siti Jenar: Masyarakat Ingsun
Sejarah dan Kisah Danghyang Semar
Kalau teman-teman seniman mengapresiasi Semar dalam bentuk lukis, melalui tulisan ini saya akan mengapresiasi Semar dalam bentuk tulis.
Selama ini sosok Semar dikenal luas dari mulai anak kecil hingga orangtua. Hanya saja, umumnya kita mengenal Semar-berikut dengan Gareng, Petruk dan Bagong-secara terbatas sebagai sosok pelawak, pembanyol yang kocak.
Padahal narasi tentang Semar, -baik pada masa sebelum menjadi tokoh pewayangan maupun menjadi tokoh wayang di zaman Sunan Kalijaga dan era selanjutnya-memiliki tujuan untuk menyampaikan gagasan.
Dari sosok Semar itulah orang-orang bijaksana memainkan pitutur luhur. Sosok Semar menjadi medium dari folklor atau cerita rakyat yang berguna untuk edukasi di masyarakat.
Peran Semar yang menyejarah selama lebih 1000 tahun menyediakan kekayaan pengetahuan meliputi teologi, antropologi, sejarah, kepemimpinan dan sikap hidup.
Posisi Semar sebagai sosok imajiner (mitos) ini tidak penting kita dudukkan sebagai sesuatu yang negatif hanya karena sekarang kita sudah kaya akan pengetahuan sainstifik.
Kita telah banyak belajar dari pengetahuan sejarah bahwa antara mitos dan logos tidak patut dipertentantangkan, apalagi sebagai sesuatu yang salah dan benar.
Kebijaksanaan paradigma kita dalam memandang kebudayaan mesti lebih bijak dengan meletakkan mitologi seperti pada sosok Semar dan Punakawan, termasuk pada rangkaian seni wayang tersebut lebih pada fungsi.
Dengan kata lain, mitos sekalipun tidak rasional dan tidak bisa dibuktikan, tetapi ia memiliki guna, memiliki manfaat dan itu saya rasa yang lebih penting untuk melihat posisi semar dalam ruang imajinatif alias kreatif yang terbukti menghasilkan kebaikan-kebaikan di masyarakat.
Danghyang Semar Mengajarkan Teologi Monoteis
Keberadaan sosok (imajinatif) Semar ini menarik. Sekalipun banyak orang tidak mengetahui sosok Semar secara utuh, tetapi tak menyurutkan orang untuk “berpenasaran” sekaligus menjadikannya sebagai pemandangan yang unik, menawan, bahkan sebagian menanggap mistis atau sakral.
Ia menjadi folklor yang paling menonjol dari ruang batin rakyat di Pulau Jawa. Kisahnya melegenda dan susah hilang dari batin rakyat karena sejak zaman Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Hindia Belanda hingga tahun 2024 sekarang ini masih terus ditulis dan dijadikan bahan pembicaraan.
Pentas-pentas seni pun tak lepas dari sosok Semar. Bahkan lebih tua dari itu, kisah Semar juga bisa menjadi petunjuk keyakinan agama penduduk pulau Jawa sebelum masehi sebelum datangnya kebudayaan Indus dan Kebudayaan Cina.
Di situ sosok Semar lekat dengan mitologi penduduk Jawa kuno yang memeluk “agama” Kapitayan.
Semar dalam floklor Jawa ialah sosok dari titisan Sangyang Taya (Tuhan/bukan dewa) dari kayangan (surga).
Eksistensi Semar terekam dalam mitologi Jawa sangat menarik karena serupa dengan kisah turunnya Adam-Hawa ke bumi. Narasi singkatnya seperti yang saya tulis di Koran Gala, Senin 4 Maret 2024:
Alkisah, zaman dulu di negeri jauh yang disebut Lumeria atau Swetadwipa terdapat keluarga titisan Tuhan “Sangyang Taya”, yaitu Sanghyang Ismaya yang menurunkan anak Sangyang Wungkuham dan memiliki tiga anak, Sang Hantaga, Danghyang Semar, dan Sanghyang Manikmaya. Pada suatu hari negeri itu dilanda banjir besar. Danghyang Semar memilih mengungusi ke pulau Jawa. Sang Hantaga (Togog) pindah ke pulau lain, dan Sanghyang Manikmaya bersama keluarga lainnya memilih hidup di alam gaib.
Baca juga : Mengenal Danghyang Semar yang Fenomenal
Monoteisme Danghyang Semar dan Kisah Kapitayan
Di pulau Jawa, Semar menjalankan misi pencerahan, mengajarkan keyakinan agama Kapitayan yang menyembah Tuhan “Sangyang Taya”.
Semar menjalankan tugas sebagai guru bagi rakyat. Hidup berekonomi sederhana dan memuja kemuliaan hidup dengan menekankan ilmu pengetahuan dan laku bijaksana sehari-hari.
Sosok semar yang luhur seperti ini kuat bercokol dalam imajinasi rakyat pulau Jawa melintas zaman melewati perubahan-perubahan keagamaan.
Sosok Semar, baik di zaman Hindu, Buddha hingga Islam, tak lapuk oleh gerusan zaman dan bisa berkembang pada ajaran agama apopun sejauh pihak keagamaan tersebut memanfaatkannya.
Ia terus hidup sebagai inspirator kemuliaan dan kesejatian manusia karena para narator, terutama para dalang yang menjadikannya sebagai sosok manusia ideal. Semar yang samar dan imajinatif itu kemudian menjadi sosok yang terasa realis untuk sebuah teladan hidup manusia.
Hal yang menarik pada sosok semar berkait dengan ajaran Islam adalah karena Semar sering mengajak orang untuk menyembah hanya pada “Sangyang Taya”, selainnya tidak.
Hal ini laras dengan keyakinan panjang pemeluk Islam yang menaruh kepercayaan sentral pada Tuhan yang abstrak sekaligus absolut dengan istilah Allah.
Slogan “tan kena kinaya ngapa” yang lekat dengan “Sangyang Taya” artinya, tak bisa diserupakan dengan apapun. Ini laras dengan slogan “laisa kamislihi syaiun,” (tidak bisa diserupakan dengan apapun) yang menjadi konsepsi Tuhan dalam ajaran Islam.
Ketika zaman Islam mulai menyebar di abad 15, peran wayang dengan Semarnya menarik untuk dibicarakan lebih jauh.
Semar dalam ruang pemikiran Sunan Kalijaga tentunya, bekerja sebagai juru bicara keagamaan Islam.
Literatur sejarah memberikan kesaksian yang luas bahwa salahsatu unsur keberhasilan pendakwah Walisongo dalam menyebarkan Islam karena keberhasilan pembangunan kekuatan politik, terutama yang dimulai dari pendirian kerajaan Demak.
Namun, faktor politik pada masa pra-demak, terutama selama 30 tahun kerja Walisongo melalui jalur kultural juga tidak bisa diabaikan.
Peranan politik berjalan, peran dari kerja kesenian melalui Wayang, produksi tembang, dan pentas-pentas kesenian lain juga sangat menentukan.
Bahkan sosok seperti Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Drajat sangat kuat memainkan kegiatan kesenian sekalipun mereka juga merupakan seorang politisi.
Wayang menjadi bagian penting dalam kisah syiar ini. Di sinilah posisi Semar dengan keluarganya, dengan tiga anaknya, Gareng, Petruk Bagong serta keluarga Togog bersama Bilung yang dibuat dalam satu klup dialog memainkan peran menarik karena mampu mengambil peran lebih logis untuk menjelaskan Tuhan.
Tampilnya Punakawan yang berisi keluarga dari rakyat jelata -tetapi memiliki kemampuan menjelaskan mandat langit- (sebagai juru bicaranya Sunan Kalijaga) mampu berperan mendistribusikan kebijaksanaan moral dari Tuhan yang monoteis.
Keluarga Semar ini sering berbicara tentang persoalan ekonomi, rumah tangga, politik dan ketuhanan dari sudut pandang rakyat biasa.
Cara pandangnya bertumpu dari teologi keislaman sekaligus dari sisi Kapitayan yang kebetulan tidak bertentangan karena sama-sama bercorak monoteis.
Sebelumnya, cerita-cerita pewayangan yang orisinal dari India orientasi dari dewa-dewa. Masyarakat Jawa memang tidak menolak wayang India, tetapi dari sisi konsepsi ketuhanan mereka menolaknya.
Dominasi suara dewa dalam wayang India inilah yang kemudian diubah oleh Sunan Kalijaga dengan memasukkan unsur manusia biasa melalui keluarga Semar (Punawakan) yang berbicara atas pengetahuan ketuhanan.
Sandaran pengetahuan teologi dari Kapitayan berasal dari mitologi tetapi berbeda dengan mitologi para dewa.
Usaha penciptaan wayang dengan menambahkan “klub” Punakawan yang dilakukan Sunan Kalijaga ini lebih menarik karena sisi kebenaran dari kalangan rakyat tersuarakan.
Konsep Punakawan berpijak pada manusia yang realis dan lebih dari itu juga berangkat dari sisi kehidupan rakyat jelata yang memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai ketuhanan.
Bersambung….. [Faiz Manshur. Ketua Yayasan Odesa Indonesia).