Ilustrasi tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong

Pentingnya Mempelajari Sejarah Danghyang Semar (3)

Sejarah Danghyang Semar (Bagian III)

Mitologi, Sejarah dan Kebijaksanannya

Sejarah Danghyan Semar oleh Faiz Manshur
Oleh Faiz Manshur
(Ketua Odesa Indonesia)

Danghyang Semar Bersama Sunan Kalijaga

Di era hidup Raden Mas Sahid, alias Sunan Kalijaga (1450-1582M), sosok semar menjadi ikon penting dalam syiar Islam.

Sunan Kalijaga mengenal sosok Semar dari kegiatan keagamaan dan kesusastraannya saat masa kecil di lingkungan Kabupaten Tuban karena ia anak seorang Bupati Tuban, Tumenggung (Aria) Wilatikta dengan ibunya, Putri Nawangarum.

Ilustrasi tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong
Danghyang Semar Bersama Ketiga Anaknya. Sumber buku Atlas Walisongo Agus Sunyoto.

Sedikit kisah sebelum Sunan Kalijaga melakukan inovasi wayang perlu disertakan juga kisah ringkas perjalanan belajarnya yang kemudian relevan dengan kisah semar beserta punakawannya dan syiar keislamannya.

Di dalam catatan Serat Babad Tjirebon dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga ini pernah belajar keagamaan atas petunjuk gurunya,  Sunan Bonang.
Di Cirebon ia belajar agama di lingkungan masjid keraton dan juga berkegiatan pertanian, termasuk tirakat di sekitar kali yang sekarang terkenal disebut Kalijaga.

Di Cirebon ia pun menikah dengan adik sunan Gunung Jati Bernama Siti Zaenab. Siti Zaenab itu adalah putri dari ulama terkenal Abdul Jalil, alias Syekh Siti Jenar, atau Syekh Lemah Abang.

Sekitar 3 tahun menetap di Cirebon Sunan kalijaga belajar tentang agama. Setelah itu ia juga sering belajar sebagai santri kelana yang ke sana kemari menemui para seniornya di Demak, Pekalongan, Tuban dan Kediri. Ia juga masih sering ke Cirebon. Lama kelamaan Sunan Kalijaga ini kemudian berani menetapkan pilihan jalan hidup unktuk menjadi Brahmana ketimbang menjadi Ksatria. Ia tidak tertarik lagi menjadi Ksatria sekalipun ada kesempatan untuk kembali ke Tuban dan menjadi bupati di sana.

Keadaan keraton Majapahit yang saat itu sedang mengalami kemerosotan kepemimpinan membuat dirinya lebih suka berkegiatan keagamaan dan ia melihat lebih penting untuk memperkuat pengaruh di jalur masyarakat sipil.

Ia mendapat banyak motivasi dari Sunan Gunungjati dan Syekh Siti Jenar untuk terus mengajar. Bahkan dari Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga seringkali mendapatkan sanjungan atas kecakapan bertutur dan bergaul. Di mata Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga adalah pemuda yang baik dan selalu bersemangat dalam ragam kegiatan. Siti Jenar juga sering menjadikan contoh sosok Sunan Kalijaga sebagai pribadi yang menyala. Ia sering katakan, contoh pemuda yang baik itu selalu urup (menyala). Paham “urip iku kudu urup” (hidup itu harus menyala) inlah yang kemudian sering disampaikan Sunan Kalijaga kepada masyarakat.

Siti Jenar yang kala itu juga sedang getol belajar tentang kemasyarakatan juga menaruh apresiasi atas kemampuan kesusastraan Sunan Kalijaga. Di beberapa acara kegiatan dakwahnya Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga sering diminta tolong untuk mendalang.

Proses Kreatif Sunan Kalijaga Membuahkan Hasil

Merasa mendapatkan kesempatan dari para seniornya, Sunan Kalijaga juga terus mempelajari kesusastraan dari Sunan Bonang dan Sunan Ampel. Ia fasih menceritakan kisah Ramayana dan Mahabarata saat kegiatan pengajian.

Salahsatu kisah yang digemarinya ialah lakon Dewa Ruci. Karena niatnya bukan menjadi dalang, melainkan menjadi guru agama, ia pun berpikir pentingnya memodifikasi kisah-kisah pewayangan dengan menyisipkan pesan-pesan keagamaan.

Karena tidak mungkin mengubah-ubah alur kisah wayang dari India, ia pun kemudian memasukkan dua unsur, yakni unsur lokal berupa kisah keagamaan Jawa yakni Ajaran Kapitayan sekaligus memasukkan muatan-muatan keislaman, terutama Tauhid.

 Dari situ Sunan Kalijaga menggulirkan sebuah cerita tersendiri dalam setiap kegiatan mendalangnya dengan tema punakawan yang berisi beberapa tokoh kuno seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, termasuk Togog dan Bilung. Sosok-sosok ini sebelumnya sudah luas dikenal masyarakat sebagai bagian dari cerita rakyat. 

Oleh Sunan Kalijaga didudukkan sebagai anak-anak Semar yang merupakan titisan dari dewa yang turun di bumi sebagai pengasuh keluarga ksatria.

Bersamaan dengan usaha modifikasi itu, gurunya, Sunan Bonang juga melakukan modifikasi alat-alat kesenian sekaligus modifikasi irama gamelan.

Kisah lain yang tak kalah menarik diceritakan, ialah munculnya wayang kulit. Karena banyak kritik dalam ulama Islam terkait dengan keharaman membuat patung, maka Sunan Kalijaga membuat wayang dalam bentuk gepeng yang kita kenal sebagai wayang kulit. Dengan cara itu ia bisa lepas dari gerundelan kalangan agamawan yang konservatif karena alasan fikih.

Suatu hari di bulan Oktober 2014, saya duduk di samping Remy Sylado yang sedang mengetik makalah sejarah humor untuk seminarnya.

Di dalam makalah itu, Remy Sylado mengapresiasi secara khusus tentang peran Sunan Kalijaga dengan segenap kehebatan dalam kerja budaya. Ia tuliskan, “seandainya Sunan Kalijaga tidak berpikir untuk mencipta sosok-sosok Punakawan – Semar, Petruk, Gareng, Bagong – sebagai penyaji ketawa di atas pakeliran dalam usahanya melakukan syiar Islam di tanah Jawa, barangkali kita boleh menyimpulkan bahwa agama Islam belum lagi tersiar luas di antero Jawa dan menjadi penentu suatu peradaban Jawa yang paripurna.”

[Faiz Manshur. Ketua Yayasan Odesa Indonesia]

Baca tulisan sebelumnya BAGIAN II di sini : Pentingnya Mempelajari Sejarah Danghyang Semar (2) 

Baca tulisan sebelumnya BAGIAN I di sini : Pentingnya Mempelajari Sejarah Danghyang Semar (1)

Baca juga : Esai Faiz Manshur Tentang Semar di Koran Gala “MANFAAT SEMAR”

Komentar ditutup.

Keranjang Belanja