Lukisan Semar

Mengenal Danghyang Semar yang Fenomenal

Mengenal Danghyang Semar yang Fenomenal

Manfaat Semar oleh Faiz Manshur
Oleh Faiz Manshur
(Ketua Odesa Indonesia)

Senin 26 Pebruari 2024 lalu saya datang di pameran lukisan berjudul “Semar Mendem dan Semar Mesem” di Galeri Pusat Kebudayaan Kota Bandung.

Tujuh pelukis yang memamerkan kreasi Semar-nya adalah Isa Perkasa, Chryshnanda Dwilaksana, Joko Kisworo, Taat Joeda, Pupung Prayitno, Acep Zamzam Noor dan Ahmad Faisal Imron.

Saya bertanya kepada beberapa pengunjung tentang sosok Semar. “Apa yang Anda ketahui tentang Semar?.” Semua menjawab dengan menyertakan kosakata yang lekat dengan dunia lawak seperti lucu, banyol, bodor dan kosakata sejenisnya. Seketika saya sampaikan kepada Pak Isa Perkasa, (komandan pelukis Bandung itu) agar pada lain waktu perlu menggelar “pameran pengetahuan” tentang Semar.

Sebab sesungguhnya asal-usul (imajinasi) Semar ini bukan sebagai pelawak dan juga bukan tokoh pewayangan. Semar hadir dalam imajinasi rakyat penghuni pulau Jawa di zaman lampau, zaman “agama angin muson” yang tinggal di pulau Jawa sebelum datangnya kebudayaan Hindus dan Cina di kepulauan Nusantara. Hikayatnya sangat fenomenal menyerupai kejadian Adam dan Hawa, dan juga tak kalah menarik dengan mitologi Yunani Kuno dengan dewa-dewanya.

Alkisah, dulu negeri jauh, Lumeria atau Swetadwipa terdapat keluarga titisan Tuhan “Sanghyang Taya”, yaitu Sanghyang Ismaya yang menurunkan anak Sanghyang Wungkuham dan memiliki tiga anak, Sang Hantaga, Danghyang Semar, dan Sanghyang Manikmaya. Pada suatu hari negeri itu dilanda banjir besar. Danghyang Semar memilih mengungusi ke pulau Jawa. Sang Hantaga (Togog) pindah ke pulau lain, dan Sanghyang Manikmaya bersama keluarga lainnya memilih hidup di alam gaib.

Di pulau Jawa, Semar menjalankan misi pencerahan, mengajarkan keyakinan agama Kapitayan yang menyembah Tuhan “Sanghyang Taya”. Semar menjalankan tugas sebagai guru bagi rakyat. Hidup berekonomi sederhana dan memuja kemuliaan hidup dengan menekankan ilmu pengetahuan dan laku bijaksana sehari-hari.

Dari sisi sejarah folklor, kisah Danghyang Semar memuat nilai sakral, bukan kisah banyolan. Ia bisa menjadi petunjuk tentang sejarah meliputi antropologi, teologi, dan humanisme di masa lampau. Sosok Semar yang luhur seperti ini kuat bercokol dalam imajinasi rakyat melewati perubahan-perubahan keagamaan, melewati masa Hindu, Buddha hingga zaman mayoritas Islam sekarang ini.

Khusus pada agama Islam kita punya kisah menarik. Pada masa awal syiar Islam -khususnya sepanjang 50 tahun (1450-1500)- terdapat catatan bahwa diterimanya ajaran Islam tak lepas dari kesamaan paham teologi Islam dan teologi Kapitayan yang sama-sama bercorak monoteis. Dalam Kapitayan, konsepsi teologinya adalah menyembah “Sanghyang Taya” yang doktrinnya “tan kena kinaya ngapa.” Sedangkan doktrin teologi Islam tentang “Allah” adalah “laisa kamislihi syai’un”. Arti keduanya serupa, bahwa “Tuhan tak bisa diserupakan dengan apapun.”

Ilustrasi tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong
Ilustrasi Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong

Islam di Indonesia punya kisah unik “bersama Semar” yang oleh Walisongo, terutama oleh Sunan Kalijaga dimanfaatkan sebagai tokoh pewayangan (sebagai unsur tambahan) untuk menyiarkan paham-paham keislaman. Klub Punakawan buatan Sunan Kalijaga yang berisi Semar, Gareng, Petruk, Bagong, termasuk Togog dan Bilung itulah yang bisa membuat Sunan Kalijaga leluasa bebas bercerita tentang keislaman tanpa merusak pakem cerita wayang Mahabarata dan Ramayana.

Dari kelakuan Sunan kalijaga itu pula yang menjelaskan mengapa Semar dan keluarganya kini dikenal sebagai keluarga lawak. Tentu bukan maksud Sunan Kalijaga mengajarkan agar kita sebatas bisa tertawa terpingkal-pingkal.

Sunan Kalijaga justru ingin mengajarkan tentang kebijaksanaan hidup dari setiap simbol yang ada pada lukisan wayang yang ia buat secara gepeng dalam bentuk kulit itu. [Sumber Koran Gala Senin, 4 Maret 2024]

Baca juga : Syekh Siti Jenar dan Kepribadian Masyarakat Ingsun

Keranjang Belanja