Model Kaderisasi Aktivis Odesa Perlu dipelajari oleh Aktivis lain – Yayasan Odesa Indonesia memiliki spirit pendidikan yang kuat untuk masyarakat. Sekalipun mengambil beberapa bidang kerja sosial seperti penanaman pohon, produksi pangan, mengolah makanan, dan penyaluran donasi sosial, tetapi hakikat dari keseluruhan kegiatannya dilakukan dalam rangka pendidikan, alias kaderisasi.
Hal itu disampaikan oleh Faiz Manshur, Ketua Odesa Indonesia dalam acara diskusi praktik literasi anak desa bagi relawan Sekolah Sabtu-Minggu (Samin) Odesa di Pasir Impun Cikadut Kabupaten Bandung, Minggu 28 April 2024.
Dengan menekankan prinsip itu, usaha kaderisasi untuk para aktivis senantiasa mengarah pada usaha-usaha untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan. Supaya lebih maksimal dalam kaderisasi, Faiz menekankan kepada setiap anak muda, termasuk para pengurus senior, untuk selalu berusaha belajar tiada henti. Adapun media pembelajarannya bersumber dari dua sumur pengetahuan, yaitu bacaan dan praktik.
Tonton video: FALSAFAH RELAWAN DALAM GERAKAN SOSIAL ODESA
5 Hal Penting dalam Kaderisasi Aktivis
Terkait dengan kaderisasi aktivis, Faiz Manshur menjelaskan beberapa pemahaman tentang istilah dan pemaknaan kontenstualnya tentang kaderisasi, aktivisme, gerakan sosial, intelektualitas dan intelektual organik. Berikut penjelasannya.
- Kata kader sinomin dengan aspiran atau calon, atau benih. Nah menurut Faiz, kaderisasi ini analognya seperti benih dalam tanaman yang sudah tumbuh tetapi membutuhkan pengelolaan secara khusus supaya proses pertumbuhannya berlangsung secara baik dan menghasilkan manfaat dari setiap sendi. Akar berguna, batang, dahan dan daun bermanfaat, dan menghasilkan buah untuk kesejahteraan sosial. Anak-anak muda usia 19 hingga 28 tahun yang berada di Odesa Indonesia adalah kader yang sedang memproses diri alias belajar untuk menjadi pemimpin agar manfaatnya seperti pohon buah yang berguna secara komplet bagi masyarakat.
- Menjadi pemimpin menurut Faiz adalah menjadi diri sendiri. Untuk menjadi diri prosesnya harus dimulai dengan interaksi antar sesama dan lingkungan yang tujuannya adalah mengeruk ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. ilmu yang dikeruk setiap waktu itu juga harus dilandasi oleh tujuan untuk meraih empati dan skill. Di sinilah kaderisasi menjadi pemimpin sebenarnya tidak lepas dari usaha untuk memproses kemampuan berempati atau kemampuan berwelas-asih (berjiwa kemanusiaan dan berjiwa ekologis) dan sekaligus (dengan skill-nya) memiliki kecakapan praktis/teknis untuk mengatasi persoalan di masyarakat.
- Kosa-kata aktivis selalu lekat dengan aktivitas keorganisasian. Jika di banyak organisasi lain identitas aktivis dimaksudkan sebagai tujuan, di Odesa Indonesia hanyalah pintu awal untuk membentuk diri menjadi orang pergerakan. Sebab menurut Faiz, kalau sekadar jadi aktivis bisa cukup ikut demontrasi teriak-teriak. Tetapi untuk menjadi orang pergerakan anak-anak muda dituntut memenuhi empat syarat yaitu, 1) bisa mengurus organisasi sosial, 2) bisa mengatasi kebutuhan ekonomi melalui jalan kewiraswastaan, 3) bisa menulis ilmiah, dan 4) konsisten mengatasi persoalan masyarakat tanpa kenal usia sampai akhir hayat. Penjelasan lebih lanjut tentang aktivis dan orang pergerakan bisa dibaca di sini.
- Menjadi intelektual itu sangat penting karena terbukti sosok manusia yang berguna dan bernilai adalah mereka yang memprioritaskan ilmu pengetahuan. Karena itu seorang aktivis yang sejati adalah pasti bermental intelektual. Jika tidak intelek, dia hanya seorang pekerja biasa biasa. Seorang aktivis yang sejati selalu rajjin rajin membaca, berdiskusi, berkomitmen dalam organisasi dan juga memiliki kemampuan menulis. Tetapi itu saja tidak cukup karena apa yang disebut intelektual sejati adalah juga seorang praktisi di lapangan, alias sebagai intelektual organik. Sosok intelektual organik atau orang berilmu yang konsisten mengamalkan ilmunya ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di manapun. Apalagi di Indonesia yang mengalami kekurangan pemimpin yang cerdas sekalipun berani mengambil resiko dalam praktik perubahan sosial. Di Odesa Indonesia kaderisasi intelektual dijalankan dengan menjaga keseimbangan untuk meraih kemampuan sebagai pemikir sekaligus sebagai aktor praktis dalam gerakan sosial. Kemiskinan di Indonesia Membutuhkan Peran Intelektual Organik
- Praktik organisasi kaum muda yang ideal adalah menerapkan gerakan sosial, bukan bakti sosial. Di Odesa Indonesia semangat gerakan sosial ini diterapkan secara konsisten sebagai pembelajaran bagi anak-anak muda. Penjelasan tentang perbedaan gerakan sosial dengan bakti sosial bisa dibaca lebih lanjut di sini: Gerakan Sosial Vs Kebaktian Sosial
Tonton video: KAMI SEMUA ADLAH PEGIAT GERAKAN SOSIAL, BUKAN PEGIAT BAKTI SOSIAL
Kaderisasi Aktivis Mesti Seimbang dalam Membaca dan Praktik
Dalam proses kaderisasi di Odesa Indonesia, Faiz juga membicarakan lebih rinci tentang hubungan antara teori dan praktik. Pembicaraan ini menurutnya sangat penting karena dalam diri setiap orang selalu terjadi pergolakan pemikiran tentang kebenaran dan kesalahan dalam hidup. Untuk meraih jalan kebenaran dibutuhkan proses yang terus-menerus, yang itu sangat baik jika diproses melalui dua jalur, yakni membaca dan praktik.
“Rajin membaca teori dari buku-buku itu baik karena dari situlah seseorang akan banyak mendapatkan ilmu, nilai dan wisdom. Membaca berita yang sifatnya informatif juga diperlukan. Tetapi keduanya tidak akan mencapai kualitas kalau tidak diuji dalam bentuk praktik. Ilmu pengetahuan dan praktik itu setali tiga uang, konjungtif, saling membutuhkan satu sama lain. Karena itulah Odesa Indonesia didirikan supaya memberi manfaat melalui bacaan dan praktik,” papar Faiz berargumentasi.
Faiz Manshur menekankan agar relawan muda di Odesa Indonesia selalu menjalankan dua prinsip tersebut sebagai cara meraih kebijaksanaan. Sebab menurutnya, kalau seseorang hanya kuat dalam teori barangkali hanya akan menjadi pada pinter, tetapi sering tidak bijaksana karena ilmunya tak relevan dengan problem sosial. Padahal kalau ilmunya tidak bisa diterapkan yang terjadi adalah kemubaziran.
“Kalau kita sering praktik di lapangan kita akan menemukan bahwa cara berilmu itu tidak bisa sembarangan. Asal baca buku lalu merasa benar bisa jadi keblinger karena apa yang ada dari teori lebih banyak yang tidak pas dengan masalah-masalah hidup di masyarakat,” katanya.
Sebaliknya, menurut Faiz, jika seseorang hanya terus berpraktik tanpa teori juga tidak akan mudah dalam melakukan perubahan atau pengembangan. Banyak orang yang hanya menggantungkan pada pengalaman lapangan tanpa membuka wawasan lain menyebabkan seseorang hanya unggul sebagai pelaku dalam bidang tertentu.
Bisa jadi memang satu bidang yang dijalani puluhan tahun tersebut mengantarkan orang sebagai spesialis, tetapi bisa jadi ia kemudian menjadi seseorang yang gagap bahkan buta pada urusan-urusan lain yang sebenarnya relevan dengan spesialisasinya.
Faiz mengatakan, seseorang perlu memiliki kemampuan spesialis, tetapi tidak boleh terjebak dalam spesialisme. Seseorang juga perlu menjadi aktivis, tetapi jadi berhenti sekadar menjadi aktivisme. Karena itulah penting bagi kaum muda untuk mengembangkan dua kemampuan sekaligus yakni sebagai spesialis yang memiliki kemampuan tertentu, tetapi di saat bersamaan juga kompeten dengan beberapa bidang lain. Untuk menjadi spesialis sekaligus generalis ini Faiz pernah menulis tentang esai berjudul Berpikir Makro Bertindak Mikro.
“Manusia itu punya otak yang bisa dijadikan wahana untuk memikirkan sesuatu. Kalau kita tidak membaca atau mendengar cara pandang orang maka kita bisa terkungkung dengan satu atau dua sudut pandang saja. Padahal sudut pandang itu menentukan kualitas diri. Karena itu kepada aktivis jangan hanya bisa bergerak di lapangan. Selain praktik kita mesti terus melihat apa yang kita lakukan dari sudut pandang keilmuwan yang beragam,” terang Faiz.
Aktivis Kemanusiaan dan Ekologi
Dari penjelasan di atas, Yayasan Odesa Indonesia juga menekankan kepada kaum muda untuk belajar kemanusiaan dan ekologi. Sebab menurut Faiz Manshur, pembangunan kualitas manusia yang kuat empati juga harus disertai sikap ekologis. Itulah mengapa Odesa Indonesia menekankan kemanusiaan dan ekologi sebagai dua landasan pengembangan sumberdaya manusia.
Katanya, berkemanusiaan mesti juga berekologi karena hidup manusia tidak lepas dari lingkungan. Terjaganya kemanusiaan membutuhkan terjaganya ekologi karena terdapat fakta misalnya, kemiskinan berlangsung akibat ketidakmampuan manusia mengelola lingkungan. Kerusakan lingkungan juga berkorelasi pada terjadinya degradasi kemanusiaan.
Penulis: Ariane Venus
Admin: Fadhil Azzam
Artikel terkait: Sekolah Samin, Tempatnya Para Relawan Muda Bergiat Sosial