Aktivis vs Orang Pergerakan
Suatu hari di tahun 2011 saya bertemu dengan (alm) Rizal Ramli di Bandung. Setelah usai acara keluarga, ia menyempatkan tawaran saya untuk bertemu.
Lalu kami ngopi yang rencananya hanya sebentar tetapi kemudian ngobrolnya memanjang hingga dua jam.
Kami berdua ngobrol ngalor-ngidul soal keindonesiaan, radikalisme, dan pentingnya desain politik Indonesia yang lebih beradab.
Selain itu kami juga membicarakan tentang aktivis. Ragam peran aktivis dari masa ke masa kami bicarakan.
Tak lupa kami juga bicara tentang aktivis masa kini yang hubungannya dengan struktur politik yang belum sehat. Ada pula pembicaraan tentang aktivis yang lemah dalam konsistensi pemberdayaan masyarakat dan hanya cenderung mengambil peran politik struktural.
Berbicara tentang aktivis, Pak Rizal Ramli selalu semangat karena alasan bahwa Indonesia membutuhkan banyak orang yang unik yang berbeda dengan jenis manusia yang orientasinya konvensional.
Dalam pandangan Pak Rizal, “spesies” jenis “aktivis” ini harus terus diproduksi harus diarahkan pada level sebagai “Orang Pergerakan”. Sebab menurutnya, kalau sekadar menjadi aktivis setiap anak muda yang bergerombol dan melakukan demontrasi bisa dianggap aktivis.
Pak Rizal bilang, “Saya lebih suka disebut Orang Pergerakan”. Sebab menurutnya, “Orang Pergerakan” memiliki kualitas yang jauh berbeda dengan aktivis.
Orang Pergerakan punya ideologi yang dijadikan sandaran mengambil jalan perjuangan. Orang ideologis itu artinya punya prinsip dalam mengambil peran di masyarakat dan memiliki keberanian atas resiko yang diambil.
Berkuasa atau tidak tetap berjuang untuk membela kebenaran, keadilan dan memihak rakyat miskin dan sengsara.
Selain itu, “Orang Pergerakan” juga memiliki nalar kritis (intelektual pegiat literasi yang kaya bacaan dan memiliki kemampuan menulis).
Pak Rizal juga bilang, “Orang Pergerakan” itu berbeda dengan politisi karena yang diburu bukan sekadar kekuasan, melainkan nilai. Berada di dalam kekuasaan atau tidak, ia tetap menjalankan misi perjuangan.
Setelah pertemuan itu, saya pun memberikan catatan ringkas dalam bentuk deskripsi dan masih tersimpan di laptop saya sebagai berikut:
Jika seseorang hanya ingin berhenti menjadi aktivis, maka bisa sekadar mengambil jalan asal-asalan, yakni asal berkiprah, asal terlibat, asal bergerak, asal ikut-ikutan, asal demontrasi, asal berderma, asal diskusi, asal membaca, asal menulis, dan sejumlah asal-asalan lainnya.
Jika ingin menjadi aktivis bernilai sedang, maka seorang itu cukup mengambil peran sosial di masyarakat.
Tetapi jika ingin mengambil peran dengan hasil maksimal, maka ia harus memiliki kemampuan dalam mengusung gagasan, berpegang pada “ideologi” memiliki organisasi untuk aktualisasi kemanusiaan dan dampak dari gerakannya dirasakan oleh masyarakat sekaligus sebagai alat kontribusi pemikiran atau kontrol bagi pemerintah.
Ada lima hal yang bisa menjadi parameter seseorang itu dapat disebut sebagai “Orang Pergerakan” dan melampaui “aktivis”:
1) Memiliki bukti sebagai leadership. Artinya menjadi pemimpin visioner yang bisa menjelaskan apa yang dilakukan di organisasinya sebagai aktivitas yang mengarahkan perbaikan untuk urusan publik.
2) Memiliki bukti sebagai penggerak pemikiran melalui komunitasnya dengan memunculkan lahirnya perkembangan produktif perbaikan tatanan hidup di masyarakat.
3) Memiliki bukti sebagai aktor pemberdayaan masyarakat dengan menciptakan perubahan sosial di masyarakat sehingga masyarakat merasa membutuhkan kehadirannya.
4) Memiliki bukti bahwa organisasi yang dijalankannya itu menjadi sumber inspirasi yang terus menyakinkan orang bahwa peran kepemimpinan dan keorganisasiannya bisa memberikan solusi atas problem di masyarakat.
5) Memiliki bukti apa yang digerakkan tersebut berdampak “politis” sebagai alat kontrol, termasuk lahan produksi kebijakan publik bagi pemerintah.[Koran Gala, Senin 19 Pebruari 2024]
Mengenal Pengurus Odesa Indonesia
Kiprah relawan sosial Odesa Indonesia melalui kerja kebudayaan di perdesaan Kawasan Bandung Utara