Oleh ENTON SUPRIYATNA SIND. Pendamping Sosial Yayasan Odesa Indonesia. IG Enton Supriyatna IG Odesa Indonesia
HUTAN PINUS JALAN DAN LAHAN TAK LAGI MULUS
“Ngagron deui, Pak?” tanya Mang Dadang (55) petani Cikored, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung. Pertanyaan retoris itu dilontarkannya sembari masuk ke dalam Hardtop hijau muda yang dikemudikan pemiliknya, Mas Basuki Suhardiman. “Ngagron” adalah istilah yang diucapkan sejumlah petani, untuk aktivitas pemetaan udara menggunakan alat bernama drone. Mungkin maksudnya, “nge-dron” atau “nga-dron”. Tapi biarlah begitu, yang penting mereka senang.

Sudah beberapa kali Odesa Indonesia melakukan kegiatan pengambilan gambar dan video dengan menerbangkan pesawat drone di sejumlah tempat di wilayah Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Perekaman objek difokuskan pada kondisi lahan-lahan-lahan hutan dan Kawasan pertanian yang dulu merupakan daerah resapan air tetapi sekarang telah banyak mengalami kerusakan dan menjadi sumber bencana banjir.
Pada Minggu (31/10/2021) lalu, relawan Odesa bergerak menuju sebuah bukit di hutan pinus milik Perum Perhutani. “Lokasinya dekat, tuh kelihatan dari sini juga,” kata Mang Toha (42) meyakinkan, sambil menunjuk ke arah utara dari rumahnya, Kampung Waas, Desa Mekarmanik.
Lokasi yang dituju adalah perbukitan Barusingkur di Blok Kaparabonan. Katanya, dari lokasi tersebut drone akan mudah merekam sejumlah titik di hutan pinus. Maka rombongan berjumlah 8 orang (Mas Faiz, Mas Basuki, Mas Mathori, Mang Toha, Mang Dadang, Uwais, Faza dan saya), menyusuri jalan setapak dari Oraytapa tepat pada pukul 10.45 WIB. Kemudian masuk ke ladang-ladang di utara kampung Parabonan yang mulai menanjak. Terlihat di kiri kanan jalan petani mulai sibuk mencangkul ulang ladang yang sebelumnya telah dicangkul guna menyambut musim tanam awal November 2021.

Tangkai cabai dan tunas bawang merah, menyembul dari lubang plastik mulsa putih yang menyelimuti lahan. Para petani banyak yang menggarap lahan cukup luas, antara 1 hektare hingga 3 hektare dengan kontur tanah berbeda-beda. Namun lahan yang mereka olah bukanlah milik sendiri. Melainkan menyewanya dari pemilik yang sering diistilahkan sebagai “urang Bandung”. Ya, orang-orang kota itu banyak memiliki lahan di pinggir hutan dan perbukitan. Mereka sewakan Rp 5.000 per tumbak (14 m2) per tahun.
Rata-rata petani menyewa untuk satu tahun. Ada yang diperpanjang, ada pula yang putus. Tergantung kondisi keuangannya. Namun ada pula petani yang menyewa untuk lima tahun sekaligus. Jika dikoversikan, 1 hektare (10.000 m2) setara dengan 714 tumbak. Maka harga sewa per tahunnya mencapai Rp 3.570.00. Uang sebesar itu biasanya dialokasikan untuk pajak. Para pemilik lahan kebanyakan tidak peduli dengan kondisi lahannya, apakah sesuai dengan fungsinya untuk lingkungan atau tidak. Mereka tidak pernah terlibat dalam urusan pencegahan erosi dan sebagainya.
Selain menyewa pada lahan milik orang kota, sebagian dari petani juga mendapat hak Kelola dari pihak pengelola hutan Arcamanik.
Raungan knalpot
Memasuki hutan pinus, perjalanan ditingkahi raungan dari knalpot sepeda motor trail yang memecah keheningan hutan. Mereka adalah komunitas motocross yang gemar keluar masuk hutan dengan kendaraan roda dua yang tangguh. Satu dua rombongan crosser sempat berpapasan. Meninggalkan jejak ban yang mengular dan menggerus tanah. Jalan setapak terus menanjak. Kaki mulai terasa berat melangkah.

“Di mana lokasinya Mang Toha?,” tanya saya ketika mengetahui ketinggian sudah mencapai sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut (M.dpl). “Eta caket, sakedap deui (itu sudah dekat, sebentar lagi),” jawabnya sambil nyengir. Ompong-ompong giginya tampak jelas. “Caket” (dekat) atau jauh, terkadang tidak bisa diukur secara matematika ketika berada di sebuah tempat dan keadaan tertentu. Boleh jadi, jawaban “caket” semacam cara untuk menghibur orang yang kelelahan seperti saya, sementara Mang Toha yang sepanjang hidupnya akrab dengan lingkungan ini jalan kaki merupakan keseharian yang dialaminya sejak masa kecil.
Raungan suara motor semakin ramai. Tidak lama kemudian, kami sampai di warung Bah Iyon. Warung sederhana beratap terpal hijau agak memanjang, Motor-motor trail berjejer diparkir. Ternyata inilah salah satu tempat favorif para crosser untuk mengaso. Di sini mereka bisa mengisi perut dan menyeruput teh atau kopi hangat. Warung itu berada di lintasan Palintang (Cipanjalu) dan Batuloceng di kaki Gunung Palasari. Terkadang mereka juga merambah kawasan Bukitunggul.
Sebetulnya kami ingin juga mampir. Tapi suara “guludug” bersahutan di angkasa, membuat perjalanan harus lebih cepat mencapai lokasi tujuan. Jika hujan turun, sudah pasti kami harus jatuh bangun menapaki jalur licin dan berlumpur. Selepas warung ke arah utara, kondisi jalan di hutan pinus itu banyak yang hancur. Bekas ban motor membentuk parit-parit yang cukup dalam. Tidak nyaman dilalui pejalan kaki. “Hitung-hitung latihan berjalan sebagai peragawan. Kaki melangkah lurus pada satu titik,” ujar Basuki Suhardiman, Pembina Odesa Indonesia itu.
Kami mendapati area budi daya kopi jenis arabica, yang memang mensyaratkan ditanam pada ketinggian di atas 1.000 mdpl. Berbeda dengan jenis robusta yang cukup pada ketinggian 800 mdpl. Para petani menanam kopi di antara pohon-pohon pinus. Seorang petani yang menggarap 2 ha, bisa menanam sekitar 3.000 pohon kopi. Rata-rata dalam satu kali panen mendapatkan hasil 3 ton dengan harga Rp 4.000/kilogram. Petani kopi tidak menyewa lahan, tapi bagi hasil dengan rumus 70% untuk mereka dan 30% untuk Perhutani.
Akhirnya bisa “ngagron”
Air sudah mulai menetes dari langit yang tidak cerah. Suara tonggeret, serangga penanda musim kemarau, meramaikan kerimbunan hutan. Aneh juga, katanya penanda kemarau, tapi malah menyambut datangnya musim hujan. Seperti suara orkestra yang tanpa henti. Setelah mencapai ketinggian 1.650 mdpl, sampailah kami pada lokasi yang dituju sekitar pukul 11.50. Orang-orang menyebutnya sebagai Patilasan, masih di perbukitan Barusingkur.

Uwais, sang pilot, segera mematut-matut “pesawat terbang”-nya. Beruntung hujan tidak jadi turun. Meski langit tidak cerah secara ideal, namun masih memungkinkan perekaman dapat dilakukan dengan baik. Segera saja drone melesat ke udara, desingan suaranya perlahan hilang ketika benda dengan empat baling-baling itu menjelajahi bukit dan lembah.
Dari layar monitor tampak jelas, sejumlah titik dalam kawasan hutan pinus itu berwarna cokelat. Artinya ada lahan yang terbuka tanpa pepohonan. Entah akibat pembalakan liar atau akibat lainnya. Dari sudut pandang biasa memang tidak akan tampak. Karena memang posisinya berada di tengah kerimbunan hutan pinus. Namun dengan mata si burung drone, kondisi lingkungan seperti itu akan mudah terlihat.

Sejatinya, keberadaan ekosistem hutan pinus begitu penting bagi keseimbangan lingkungan. Hutan yang berada di dataran tinggi itu akan mencegah terjadinya erosi maupun sedimentasi yang kerap kali terjadi di wilayah berlereng pada musim hujan. Pohon pinus memiliki akar tunggang cukup dalam kokoh. Dengan demikian, mampu menahan agregat-agregat tanah sehingga partikel-partikelnya tidak mudah terlepas. Tumbuh di dataran tinggi, pinus dapat memproduksi oksigen melalui fotosintesis. Karenanya, hutan ini memberi kontribusi besar dalam menunjang pasokan oksigen di bumi.
“Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian kami pada lingkungan. Hasil pemetaaan ini akan disampaikan sampaikan kepada pihak-pihak berkepentingan. Dari pemantauan ini terlihat ada sesuatu yang harus segera diperbaiki. Jika tidak, dikhawatirkan kerusakan akan makin meluas. Tentu akan menjadi masalah besar di kemudian hari bagi lingkungan,” kata Basuki Suhardiman.
Hutan dan Kisah Pohon Bisa Berbicara
Hanya sekitar 20 menit kami berada di lokasi tersebut. Kemudian buru-buru turun dengan dua alasan: rasa lapar dan takut terjebak hujan. Nasi pulen dan kopi hangat di warung Bah Iyon sudah terbayang-bayang. Dalam perjalanan seperti ini, saat pulang selalu lebih cepat ketimbang waktu berangkat. Meskipun beberapa kali perjalanan harus terhenti karena rombongan crosser melintas sambil meraung-raung.
Sampai di warung kami menyantap nasi dan lauknya dengan lahap di warung itu. Di antara jejeran motor trail yang penuh lumpur tanah. Dengan kaki berselonjor, menikmati segarnya aroma hutan pinus. “Warung ini hanya buka hari Sabtu dan Minggu. Ya saat rombongan trail melintas di jakur ini. Di luar itu mah tidak ada yang beli kalau kita buka warung,” kata Bah Iyon.
Sesampai di sekretariat Odesa di Pasir Impun Cikadut, kami membuka dokumen-dokumen hasil pemotretan dan tentu saja membuka hasil visual drone. Kami mendiskusikan masalah-masalah ini dengan cara pandang bahwa ekologi mestinya harus diselamatkan karena menyangkut urusan nyawa manusia dan juga kelangsungan kehidupan di masa mendatang.

Nyata telah terjadi kerusakan lingkungan baik di ladang-ladang pertanian Cimenyan, termasuk susutnya pepohonan di hutan itu menimbulkan bencana. Bahkan pada hari ini, Selasa 2 November 2021 berseliweran berita di media sosial dan media mainstream yang mengabarkan terjadinya longsor dan banjir dengan lumpur pekat di banyak tempat di Kota Bandung yang sumber airnya dari ladang-ladang perbukitan Cimenyan.
Kemudian pada urusan global, di mana Presiden Jokowi beserta dengan para menterinya hari ini mengikuti acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Ke-26 Perubahan Iklim) atau KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia juga membicarakan masalah deforestrasi yang salahsatu komitmennya adalah mengurangi deforestrasi.
Masalah Cimenyan atau Kawasan (konservasi) Bandung Utara adalah masalah kehidupan yang relevan dengan perubahan iklim dunia yang semakin panas. Pada pembicaraan level tingkat tinggi kita tahu seringkali banyak solusi yang cakap. Tetapi pada level praktik di lapangan yang berkaitan dengan pemerintahan Provinsi atau Kabupaten deforestrasi terus terjadi tanpa kendali. []
Komentar ditutup.