OLEH FAIZ MANSHUR. KETUA ODESA-INDONESIA.
Setiapkali mendengarkan cerita pemberdayaan rakyat kecil, kegagalan seringkali mendominasi perbincangan. Ada yang menyalahkan mental orang miskin, ada pula disebabkan karena program dilakukan secara serius, atau karena disebabkan oleh tindakan penyelewengan.
Ratusan juta, bahkan milyaran dana atas nama pemberdayaan menjadi perbincangan dengan ending kata mubazir. Odesa-Indonesia menyadari hal itu. Odesa-Indonesia semaksimal mungkin tidak akan sesekali memainkan kegiatan yang sifatnya mubazir. Gagal itu bukan kata akhir, tetapi yang terpenting kegagalannya bukan karena faktor kesengajaan dengan pura-pura memberdayakan namun endingnya justru memperdaya. Pada setiap kegagalan yang dilakukan harus segera dievaluasi, lalu dicarikan solusi.
Berikut ini barangkali sebuah catatan yang penting sebagai pengalaman. Kaidah-kaidah pokok harus dikuasi sebelum terjun ke lapangan.
Pertama, ganti kalimat pemberdayaan dengan pendampingan (coaching/assisting) ini memiliki spirit yang berbeda dengan pemberdayaan/memberdayakan (empowerment/empowering) yang substansinya top-down. Pendampingan adalah “mendampingi” artinya hanya bertugas sebagai fasilitator yang selalu sadar akan pentingnya kontekstualisasi kegiatan dengan semangat bottom-up. Menumbuhkan semangat pembaharuan dalam usaha mesti memegang pemahaman terhadap alam pikir petani. Apa yang ia harapkan? Apa yang ia kuasai dalam lapangan pekerjaannya? Apa yang mungkin dilakukan pada masa awal kegiatan agar berjalan? Apa yang harus dipersiapkan pada jangka menengah dan jangka panjang? Tidak semua bisa dipahami dalam waktu singkat. Kita tidak paham mereka juga. Itu tidak masalah asalkan terus berkomunikasi. Semakin banyak komunikasi dengan banyak perbincangan semakin banyak yang akan kita ketahui sehingga menimbulkan pemahaman bersama untuk kesadaran lebih maju dalam membangun kebersamaan. Dari situlah kita akan cepat memahami apa yang harus dibangkitkan dari aset manusia terpuruk itu untuk lebih menemukan jalan kebangkitannya.
Kedua,orang miskin selain mengalami kemiskinan ekonomi juga sering mengindak penyakit kemiskinan budaya. Kerja urusan ekonomi apalagi pemenuhan pangan adalah kerja budaya. Kita harus masuk pada tiga bidang sekaligus, yakni 1) Pembangunan pola-pikir, 2) pembangunan etos/mental, dan 3) pembangunan etika. Fokuslah pada usaha perbaikan Sumber Daya manusia baru kemudian melihat sisi potensi alam sekitar sebagai aset. Sejauh mana mereka melihat keadaan sekitarnya? Bagaimana pola pikir mereka melihat dan memperlakukan aset-aset yang ada disekitarnya? Lalu apakah mereka memiliki cara pandang lain manakala kita memasukkan cara pandang baru? Memaksimalkan potensi Sumber Daya Manusia untuk lebih menyadari bahwa selalu ada harga dalam materi, sekalipun itu sampah adanya. Ajak mereka melalui pembicaraan yang mendalam dan interaktif untuk melihat keadaan dengan cara lain, dan bawalah mereka ke dalam alam praktik bahwa apa yang kita katakan itu ada wujudnya. Misalnya kita yakin bahwa pupuk kandang adalah aset yang bagus untuk pendapatan, maka itu harus diwujudkan secara konkret. Orang miskin, apalagi yang mengalami kemiskinan budaya sering tidak tahu aset, terlebih-lebih berusaha menjadikan aset tersebut berkembang. Soal waktu juga tidak kalah pentingnya. Jangan sampai membuang waktu sekalipun hanya beberapa jam atau menit. Para petani sangat lemah dalam urusan waktu, seolah-olah setiap tindakan kerja adalah urusan harian, padahal bisa dilakukan dengan kerja jam, misalnya rutin melakukan sesuatu dalam hitungan jam memanfaatkan waktu pagi, tengah siang atau sore dan usaha kerja di malam hari dalam rumah. Itu penting karena kita sedang meningkatkan produktivitas.
Ketiga, pendampingan adalah usaha untuk menunjukkan jalan baru dengan cara bergerak bersama. Antara wacana dan praktik harus dijalankan. Kurangi wacana yang menyulitkan mereka berpikir. Bahasa, kosakata, hingga panjangnya materi pembicaraan mesti sering diulang-ulang karena hal yang baru bagi petani seringkali tidak bisa dipahami walaupun mengangguk-ngangguk. Ajak ke arah pemikiran yang fokus pada hal-hal kecil namun bernilai. Pembelajaran mencatat misalnya, bukan dengan cara menyuruh atau memberikan kursus melalui papan tulis. Akan lebih baik kalau dibuatkan kolom agar mereka bersedia menulis dengan memberi contoh pada masa awal dan mereka yang melanjutkan. Pentingnya menulis catatan kerja/usaha juga bukan dengan memberikan penjelasan, melainkan harus dibuktikan dengan tindakan mengapa mencatat itu berarti menyelamatkan diri kita dari lupa, keliru, bahkan menyelamatkan kita dari percecokan soal perhitungan/waktu.
Keempat, pembelajaran terpenting pada orang miskin adalah mengatur uang. Prinsip pengaturan pertama pada uang adalah memahami nilai uang sebagai alat, bukan semata alat tukar, tapi sarana untuk kesejahteraan. Mereka harus bisa menghitung berapa pendapatan yang selama ini didapatkan, dan berapa kecukupan untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari dalam hitungan bulan dan menghitung rekap hingga satu tahun. Apa tujuan mereka mendapatkan uang? Jika uang di luar keperluan konsumsi sehari-hari berapa kecukupannya untuk makan sehat dan bergizi? Kalau urusan makan sudah bisa dihitung apa saja kebutuhan di luar pangan? Sandang? Berapa kali dalam setahun? Apa saja yang dibutuhkan? Kendaraan, motor misalnya. Berapa nilai motor dan berapa kebutuhan perawatan? Ternak. Berapa nilai ternaknya? Dan berapa waktu kerja pemeliharaan dalam setiap hari? Jika dihitung dalam bentung uang ketemu angka berapa dari kerja merumput (setiap dua atau tiga jam)? Kalau hal-hal semacam itu sudah dipahami, kita bisa beranjak membicarakan target pendapatan. Jika misalnya selama ini pendapatan keluarganya mencapai Rp 600.000 satu bulan, berapa tambahan yang mereka inginkan? Kalau nanti tercapai untuk apa uang itu? Demikian seterusnya. Orang miskin identik dengan kekurangan pengetahuan finansial. Mereka bisa berlaku boros karena keadaan tidak bisa menilai uang. Terkadang mereka sangat sibuk berburu uang belepotan hingga harus berurusan dengan rentenir hanya untuk urusan makan atau kesehatan, padahal sebenarnya banyak makanan yang bisa dimanfaatkan untuk menekan konsumsi rumah tangga dari lingkungan sekitarnya.
Keenam, orang tidak miskin, bahkan orang kaya ada yang tetap memiliki sifat miskin budaya (pikir, etos, etik). Ini disebabkan karena pola pikir hidup yang minim, mentalitas yang tidak terbangun baik dan minimnya pendidikan mengakibatkan mereka mengalami rendah etika. Pendampingan sampai tahap sukses yang ideal adalah sampai mereka meraih nilai hidup sebagai makhluk sosial yang bisa membangun kualitas diri mereka, kualitas keluarga, kualitas masyarakat sekitarnya, minimal level RT/RW. Kebangkitan keluarga miskin harus diarahkan pada kebangkitan budaya dengan menuju tiga kualitas yakni, pemikiran, mentalitas dan etika. Ketiga bidang ini merupakan penentu kebudayaan. Hancur atau tumbuh kebudayaan manusia tergantung pada kualitas ketiganya. []
Komentar ditutup.