Oleh FAIZ MANSHUR Ketua Odesa Indonesia IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Kemiskinan budaya itu berbeda dengan budaya kemiskinan. Kalau pengetahuan tentang Budaya Kemiskinan sudah sering dibicarakan. Namun kemiskinan budaya belumlah mendapat apresiasi yang luas. Tulisan ini merupakan awal kajian kami tentang Kemiskinan Budaya.
Kemiskinan Budaya dari Realita
Pergaulan saya bersama masyarakat di Cimenyan membuat saya mengetahui banyak hal tentang sisi kehidupan mereka, orang-orang miskin secara ekonomi. Kategori miskin ini karena saya memiliki dua kelompok penghasilan. Pertama kelompok buruh tani (murni) berpenghasilan antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000 per bulan. Kedua, kelompok petani atau semi tani, penghasilannya antara Rp 800.000 hingga 1,2 juta perbulan. Pada kelompok pertama tersebut bahkan bisa disebut sangat miskin karena dari penghasilan tersebut dikonsumsi oleh 2-3 orang anggota keluarga.
Selain minim dalam penghasilan ekonomi, sebagian besar dari mereka juga sangat rendah dalam hal kesejahteraan hidup dalam rumah tangga dan lingkungannya. Tinggal di rumah kayu (non permanen) dengan ukuran rumah rata-rata hanya antara 4 x8 meter persegi atau 6 x 8 meter persegi. Terkadang rumah kecil itu juga ditempati oleh dua keluarga. Sarana mandi, cuci dan kakus mereka sangat jauh dari kelayakan untuk mendapatkan akses kesehatan harian yang layak. Sebagian dari WC mereka hanya tertutup oleh kain bekas, sebagian lagi dengan seng atau asbes. Saluran airnya tidak lancar. Jika acuan standarnya 70 liter per hari untuk setiap orang, maka pada masyarakat miskin di cimenyan itu sangat jauh dari standar dasar. Mereka hanya mampu menampung air dalam skala kecil per ember memuat 50 liter atau beberapa ember berisi 10 liter yang dipakai untuk 2-3 anggota keluarga.
Kenyataan itu menarik perhatian kami untuk bertanya lebih jauh terkait urusan mandi. Sebagian besar petani hanya mandi sekali sehari dengan air yang minim. Dan mandi sekali itu sudah merupakan hal biasa. Bahkan 2 atau 3 hari sekali mandi juga bukan persoalan. Ini bisa kita buktikan di beberapa kampung yang rutin dikunjungi oleh relawan Odesa Indonesia, antara lain Cikawari, Tareptep, Waas, Cadas Gantung, Cikored, Cirompek, Merak Dampit, Cicayur, Cipahet, Cisanggarung dan puluhan kampung lainnya di Kecamatan Cimenyan.
Orang-orang itu hidup dalam situasi yang serba kurang. Saya berani menyimpulkan orang-orang yang kekurangan air bersih adalah mereka yang pasti mengalami kekurangan ilmu, kurang sehat dan kurang bisa berpikir secara logis. Tubuh mereka tidak terurus dan itu artinya jalan pikirannya tidak mampu berbuat banyak untuk mengurus di luar urusan tubuh. Pemikiran pun tidak berkembang sehingga mereka juga tidak punya orientasi spiritual. Hidup serba asal-asalan. Makan minum asal ada yang dimakan, tak peduli kotor atau bersih. Mandi atau cuci tangan bukan kegiatan yang penting diperhatikan. Mengurus tubuh mereka sendiri tak mampu terang tidak ada pikiran untuk mengurus ternaknya untuk lebih bersih. Akibatnya ternak di samping rumah mereka juga buruk. Kambing mereka kurus karena tidak mendapatkan ruang yang baik karena kandang yang kumuh dan tidak mendapatkan cahaya matahari secara cukup.
Orang-orang miskin yang tidak mendapatkan sentuhan perubahan itu mengalami kemiskinan budaya. Kebiasaan hidup (tradisi) mereka tidak beranjak ke arah nilai budaya karena nyaris tidak ada elemen-elemen dasar dari bangunan kebudayaan terkait dengan tiga pilar budaya yaitu kualitas pola pikir, kualitas mental dan kualitas moral. Mereka hidup dalam kebiasaan yang dihayati sebagai sesuatu yang normal. Itulah kenapa odesa Indonesia melihat hal itu sebagai problem karena sesungguhnya tidak ada kebudayaan tanpa tiga nilai tersebut. Dengan kata lain kehidupan mereka jauh dari keadaban.
Untuk mencapai derajat hidup berkeadaban membutuhkan syarat budaya yang matang. Jika pola-pikir, mental dan moral sangat rendah, otomatis kebudayaan tidak akan terbentuk secara baik, dan itu artinya usaha meraih keadaban diperlukan dengan cara mengubah ketiga elemen dasar budaya tersebut.
Beberapa catatan ini merupakan ciri-ciri kemiskinan budaya.
“Kemiskinan Budaya” merujuk pada pengertian suatu keadaan masyarakat yang hidup dalam keadaan kekurangan nilai-nilai mendasar kehidupan yang diukur dalam empat nilai keadaban yaitu 1) nilai moral, 2) nilai ekonomi, 3) nilai seni, dan 4) nilai sains.
Berikut ini beberapa catatan lapangan terkait dengan rendahnya Kemiskinan Budaya di Kawasan Cimenyan yang kami catat:
1. Kemiskinan budaya karena mereka hidup tanpa tujuan. Menjalankan hidup tanpa mengenal asal-usul, perbedaan jenis makhluk dan tanpa mengerti tujuannya untuk apa dan hendak kemana. Pola pikir dalam hidup mereka semata menuruti sisi-sisi naluriah seperti makan, berbusana,seks, dan berhibur. Makan asal kenyang, berbusana asal terlindungi dari dingin dan panas, seksualitas asal mendapatkan pasangan dan tidak dilakukan pada tempat terbuka, dan hiburan asal menyenangkan dengan kemampuan yang ada.
2. Kemiskinan budaya karena miskin dari model pengalaman hidup yang lain. Pengetahuan yang dibentuk dari keluarga miskin membuat anak-anaknya terbiasa berpikir terbatas. Hidup melakoni rutinitas harian tanpa keinginan mengubah keadaan. Mereka tidak punya keinginan berubah karena tidak pernah merasakan nikmatnya hidup dengan model lain yang lebih bersih misalnya. Kalau pun mereka merasa ingin, keinginan itu lebih bersifat utopian, tidak tahu proses pelaksanaan sehingga keinginan tidak diproses melalui perencanaan yang menghasilkan tahapan. Keadaan tidak bersih mereka tidak dianggap masalah karena mereka tidak mengetahui bahwa kebersihan merupakan sebuah kenikmatan. Hampir semua keluarga miskin yang hidup serba kumuh karena tidak memiliki pengalaman tinggal di tempat lain yang lebih bersih. Hidup mereka sejak kecil hingga tua berada di kampungnya sendiri. Kalaupun merantau ternyata juga sebagai buruh tani di Sumatera, atau pernah menjadi kuli rendahan atau jualan buah di kota yang tidak memberi pengalaman hidup lebih berbudaya.
3. Kemiskinan budaya pada pola pikir terjadi karena tidak mendapatkan akses pengetahuan baru yang bisa memandu perubahan. Terbiasa berpikir pendek membuat mereka mencari pendapatan ekonomi dengan cara yang singkat dan semampu dengan keahlian mereka. Mereka tidak pernah punya pengalaman berpikir menghasilkan ekononi dalam bentuk skala. Mereka tidak pernah bisa menghitung berapa kebutuhan saban hari untuk sebuah kecukupan makanan, tidak bisa menghitung kebutuhan pakaian saban tahun dengan berganti-ganti jenis pakaian, dan tidak bisa membuat rencana jangka panjang memiliki rumah yang lebih membuat hidup mereka nyaman. Kebiasaan hidup mendapat dan mengonsumsi menjadi persoalan yang paling problematis.
Sebagai contoh misalnya, untuk membangun rumah mereka hanya berpikir manakala ada uang besar. Misalnya ada uang Rp 50 juta. Karena penghasilan mereka tidak memungkinkan menghasilkan uang sebanyak itu, mereka hanya bisa berpikir kalau uang ada sebanyak itu maka barulah dilakukan pembangunan. Tidak ada cara berpikir model lain, misalnya mereka menabung setiap pekan atau setiap bulan sehingga memungkinkan terkumpulnya uang. Mereka juga tidak mengetahui cara membangun rumah sehingga tidak berpikir menabung dan memainkan pemikiran membangun rumah tumbuh, misalnya dimulai dari membangun pondasi permanen, berlanjut membangun tembok utama, dan seterusnya. Akibat kemampuan berpikir satu model inilah yang membuat banyak keluarga petani kemudian menjadi buruh tani karena menjual tanah warisan membangun rumahnya.
4. Kemiskinan budaya dalam skala keluarga di kalangan kehidupan orang-orang miskin terlihat pada sikap memandang “orang lain sebagai orang yang seharusnya mengikuti diri mereka”. Orang lain mesti memberikan kepada dirinya, dan dirinya merasa pantas mendapatkan pemberian. Sebagai contoh, orang tua wajib mewariskan harta, anak-anaknya hanya tahu mendapatkan haknya. Tidak ada cara pandang lain bahwa harta warisan bukan sesuatu yang mesti dipenuhi orang tua. Itulah mengapa manakala orangtuanya sudah meninggal harta warisan sering menjadi rebutan anak-anak mereka. Ketiadaan pengetahuan tentang etos mendapatkan harta dari perjuangan sendiri menjadikan anak-anak orang miskin ini mengikuti orangtuanya, yaitu wewarisi, bukan membeli dari hasil keringat sendiri.
Contoh lain, bekerja bagi orang yang hidup dalam kemiskinan budaya adalah upah. Selagi orang memperkerjakan maka dirinya punya hak atas upahnya, tak peduli dari apakah yang memberi kerjaan tersebut merasa puas atas hasil kerjanya atau tidak. Menjual tenaga dan waktu adalah prinsip mereka. Ini jauh dari laku budaya yang berkeadaban yang telah memberikan kesaksian bahwa bukan kerja keras yang menjadikan seseorang maju berekonomi, melainkan kerja cerdas (efektif, mengutamakan kualitas pelayanan, dan hasil karya memuaskan). Dengan kata lain, orang-orang yang hidup dalam kemiskinan budaya sangat lekat dengan sikap egois, mengutamakan kepentingan dirinya dan mengabaikan urusan orang lain.
5. Pada orang-orang yang mengalami kemiskinan budaya memiliki etika yang terbatas, yaitu semata agar mereka aman. Tidak mencuri milik tetangga misalnya, karena mereka tahu itu adalah resiko berat sebab kalau ketahuan bisa membuat mereka mati di lingkungannya sendiri. Itulah mengapa mereka yang ingin mendapatkan harta pragmatis (mencuri) mesti harus melakukan di kampung yang jauh. Selagi mereka mendapatkan kesempatan yang aman, misalnya harta orang kota tidak akan diungkit-ungkit, segera mereka melakukan pencurian.
Bagi orang yang mengindap kemiskinan budaya, etika kepemilikan bukan hal yang utama. Mereka lebih mengutamakan sisi hartanya. Adapun soal mendapatkan dari mana asalnya mereka tidak peduli. Selagi ada kesempatan saat mengambil dan dirasa mendapatkan sisi keamanan dari perangkat hukuman mereka akan segera lakukan. Itulah mengapa manakala ada harta yang sekiranya bisa dimiliki mereka tidak akan malu meminta. Atau, mereka bisa merasa malu meyampaikan permintaan, tetapi tidak malu untuk mencuri saat ada kesempatan dan keamanan yang menjamin.
6. Orang-orang yang hidup dalam Kemiskinan Budaya tidak memiliki penghargaan terhadap perbedaan pemikiran. Bagi mereka pikiran yang benar hanya yang ada pada diri mereka. Mereka hanya berpikir dirinya yang benar, atau setidaknya mereka hanya berpikir pikiranmu bukan pikiranku. Aku berpikir begini orang lain berbeda itu urusan biasa. Sementara orang-orang yang berkualitas dalam berpikiran selalu mencoba menyatukan pendapat dan mengurangi perbedaan guna menyatukan langkah.
Orang-orang yang miskin budaya selalu memaksakan diri sehingga sulit menemukan titik temu bersama untuk berbuat baik secara bersama. Itulah mengapa orang-orang yang hidup dalam kemiskinan budaya tidak ada gotong-royong, tidak ada usaha bersama sementara untuk bisa maju tidak mungkin maju sendirian. Mereka selalu bertengkar dalam setiap rembug karena hanya ingin pendapatnya yang dipakai dan orang lain mengikuti.
7. Orang-orang yang mengalami kemiskinan budaya juga rendah dalam hal humor. Mereka sulit tertawa kecuali pada tontonan dan tidak bisa tertawa bersama dengan menyajikan (produksi hiburan) sendiri dalam dialog karena mereka sangat miskin perbandingan tentang fenomena. Dengan kata lain, mereka hanya bisa tertawa kalau dihibur dan tidak bisa saling menghibur sesamanya.[]
Komentar ditutup.