Zakat dan Mentalitas Miskin Orang Kota

Oleh Budhiana Kartawijaya. Ketua Pembina Odesa Indonesia

Di sebuah Rukun Warga (RW) di Kota Bandung, panitia zakat fitrah merumuskan kembali kriteria siapa yang berhak menerima zakat (mustahiq). Pemutakhiran data mustahiq ini penting sehubungan dengan pandemic Covid-19 telah menciptakan kelompok masyarakat miskin baru. Beberapa kriteria lama di lingkungan antara lain: para janda miskin, tukang becak, para penjaga keamanan lingkungan (hansip). Satu kriteria tambahan: mereka yang terdampak covid-19.

Ada seorang tua menjelang 70 tahun, sebut saja Pak Baba dipekerjakan sebagai tenaga keamanan lingkungan (hansip). Dulu dia adalah pengayuh becak. Tapi sejak maraknya sepeda motor, usaha becaknya mandeg. Hanya sesekali saja dia diminta bantuan warga. Selebihnya dia dan becaknya menganggur di depan pos hansip. Maka RW pun mempekerjakan dia sebagai hansip.

Berbagi Santunan Perlu Mengetahui Keadaan secara sesungguhnya. Antarkan bantuan sampai ke rumahnya. Santunan https://kitabisa.com/campaign/zakatodesa

Dus dia berhak menerima zakat fitrah.
Nah keruwetan terjadi ketika amil mau memberikan haknya. Pak Baba minta jatah tiga amplop.

“Saya kan hansip, merangkap tukang becak. Saya juga terdampak corona!” katanya.

Di lingkungan itu, ada juga pedagang gorengan. Saat Ramadan begini, gorengannya laku keras. Orang berkerumun sore menjelang buka. Gorengan memang makanan untuk tajil (membatalkan puasa). Sebut saja si Pumkit namanya. Dia sebetulnya tidak miskin-miskin amat. Tapi dari dulu dia tercatat sebagai mustahiq. Sama dengan Baba, dia minta jatah lebih.

Amal Sosial Disertai Pendampingan Akan Mengubah Keadaan

“Saya terdampak, dan saya suka ngebecak juga,” ujar Pumkit.

Panitia zakat tentu saja menyeringai. Semua orang tahu kok, dia bukan tukan becak, tapi ngotot sebagai pengayuh roda tiga.

“Lha kita kan hidup bertetangga, beraninya mengaku ngebecak,” ujar panitia kesal.

Selain Baba, ada juga Dudung yang dipekerjakan sebagai sekuriti lingkungan. Otomatis, dia masuk kriteria penerima zakat fitrah. Eh…ternyata istri Dudung juga minta jatah.

“Pan abdi gè warga terdampak (corona)!” katanya.

Ada lagi contoh keluarga lain, sebut saja teh Mawar. Hidupnya kekurangan juga, dia juga jual nasi kuning. Dan kalau puasa begini, jual gorengan juga. Suaminya pekerja dengan penghasilan kecil.

Keluarga ini punya pandangan beda dari tetangga-tetangganya sesama prasejahtera.

“Kita jangan menerima zakat. Karena zakat itu kotoran hartanya orang kaya. Mau kita makan kotoran orang kaya? Lebih bagus kita memberi!” kata suaminya, sebut saja Wawan.

**
Kalau sudah ruwet seperti ini, saya jadi ingat Oscar Lewis, seorang etnografer yang pertama kali memperkenalkan konsep budaya kemiskian (poverty culture) dalam bukunya Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959). Lewis mengatakan tekanan kemiskinan yang berat dan bertubi-tubi telah membentuk subkultur otonomi (yang kemudian jadi kultur) yang malah memperkuat ketidakmampuan dia untuk keluar dari kemiskinan.

Penelitian Lewis di daerah kumuh Mexico menunjukkan, kultur dependensi (tangan di bawah), merasa tidak terperhatikan, putus asa, dan lain-lain adalah indikator budaya kemiskinan. Dalam pembicaraan sehari-hari kita menyebutnya mental miskin. Dalam beberapa literatur ditambahkan juga bahwa orang miskin itu juga suka menipu, tidak jujur, dan serangkaian stigma lainnya.

Kemiskinan di negara berkembang juga diakibatkan soal struktural. Kebijakan pembangunan yang tidak tepat, atau yang berpihak kepada kelas atas, menyebabkan mereka seperti burung dalam sangkar besi. Sekuat apapun mengepakkan sayap, dia tak bisa terbang naik kelas karena struktur sarang yang sangat kuat. Kemiskinan struktural akahirnya melahirkan kultur kemiskinan. Struktur membentuk kultur. Kira-kira begitu.

Tapi tunggu…
Cerita tentang pembagian zakat di atas menunjukkan bahwa pada lingkungan yang sama, dan pada orang-orang yang satu lapis sosial ternyata ada budaya beda. Sosok Baba, Pumkit dan istri Dudung menunjukkan indikator Lewis. Tapi pada kasus Wawan, budaya itu tidak ada. Bahasa Indonesianya: jangan digeneralisasi (eh Bahasa Inggris itu mah ya). Bahasa Sunda-nya ulah disakompètdaunkeun, Bahasa Jawa-nya jangan digebyah uyah.

Di Odesa Indonesia, ada beberapa petani yang walaupun ekonominya morat-marit bahkan terjebak utang, tapi mereka tidak masuk dalam katagori Lewis. Orang-orang ini malah kemudian mudah diajak menjadi agen-agen pembangunan masyarakat lokal. Materi mungkin miskin, tapi mentalnya tidak miskin. Mereka bisa diajak untuk ikut mengubah kondisi lingkungan.

Dua tahun pertama kiprah Odesa, tarasa terseok-seok. Pengurus organisasi mengalami hambatan komunikasi akar rumput. Namun dengan kehadiran mereka, komunikasi pendampingan jadi lancar, dan banyak program bekelanjutan dengan torehan-torehan kemajuan.

Lewis tidak salah, karena studi dia di Mexico sana, dengan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya berbeda.

Tapi inti dari tulisan ini adalah, bila di sekitar kita ada kelompok yang bermental miskin, jangan kecil hati. Pasti ada satu dua orang dari mereka yang punya karakter kuat. Seperti yang Karl R. Popper katakan, dari seribu angsa yang sepertinya semuanya hitam, pasti ada satu atau dua yang putih. Mereka inilah yang harus kita tangkap, ajak diskusi, dan ajak untuk bersama-sama mengubah nasib ke arah lebih baik.***

Mengubah Keadaan Petani Miskin mesti dengan pedampingan. Amal sosial bersama tindakan perubahan sosial

Keranjang Belanja