Ibadah Terbaik itu Tidak Mudik

Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia

Jika ada ibadah yang baik menjelang Idul Fitri tahun ini, maka ibadah itu adalah tidak mudik. Tentu juga ada ibadah lain yang tak kalah baiknya, antara lain, tidak berkerumun, tidak bersalam-salaman, tidak menginap bersama antar keluarga, tidak saling mengunjungi terlebih dahulu. Ringkasnya, ibadah terbaik adalah mengindari bahaya dari ancaman wabah Covid-19.

Sejatinya, ibadah dalam ajaran Islam itu tidak sekadar urusan ritual, melainkan setiap perbuatan baik. Menghindari wabah juga tidak mengganti ritual wajib, tak juga membatasi kewajiban pokok dalam agama. Ibadah artinya sikap kepatuhan, ketundukan, pengabdian, dan bagian dari usaha meraih ketakwaan ke jalan Tuhan. Jalan takwa kepada Tuhan harus menyertakan kebaikan hubungan antar manusia dan bahkan menyertakan kebaikan bagi alam semesta. Mudik adalah hubungan horisontal, yang saat ini sedang berstatus madarat karena memuat rangkaian interaksi manusia secara massif.

Dasar Agama

Apa landasan pikir keislaman dari ibadah model ini?

Umat Islam punya pedoman penting berupa Ushul Fikih dengan paradigma Maqasid Syariah dengan lima pilarnya (al-Kulliyyah al-Khamsah) sebagai pedoman keumuman menuju kemaslahatan. Maqasid artinya maksud, atau tujuan, atau niat. Jika dibingkai dalam pandangan visioner filosofis senilai dengan pemikiran Yunani mengembangkan prinsip telos (Yunani) dan pemikiran di Perancis mengembangkan prinsip Finalite.

Ada lima pokok kebaikan yang bisa kita rujuk dari Maqasid Syariah, yaitu hifz-al-nasl (pelestarian keturunan), hifz-al-‘aql (pelestarian akal), hifz-al’ird (pelestarian kehormatan), hifz al-din (pelestarian agama), hifz al-mal (pelestarian harta).

Mari kita maknai lima pilar tersebut secara substansial dengan keadaan wabah Covid-19 saat ini.

Pertama, Hifz al-nasl (pelestarian keluarga). Dalam pengertian harafiah pengertiannya berkawin-mawin dengan mengembangkan keturunan sebanyak mungkin. Tetapi sesungguhnya, dimensi lestari keluarga jelas tidak sebatas urusan biologis, melainkan pada nilai-nilai melestarikan keluarga dengan usaha menegakkan kebaikan seperti kepedulian sosial antar saudara, saling tolong menolong, memuliakan orangtua, membantu keluarga lain yang kekurangan. Dengan begitu, tidak berkerumun dalam pesta lebaran juga merupakan usaha menjaga keluarga kita dari bahaya wabah covid-19.

Kita bisa membayangkan betapa mengerikan jika mudik dibebaskan. Jika ada satu orang yang terkena virus, bisa jadi nanti keluarga itu akan mengalami kehancuran. Bersilaturahmi dengan cara substansial tanpa harus saling mengunjungi adalah ibadah. Maka, menghindari mudik merupakan bagian usaha melestarikan keluarga itu sendiri.

Kedua, hifz-al-‘aql (pelestarian akal), tentu maksudnya tidak sekadar menjaga otak dari bahaya gegar otak dengan memakai helm saat berkendaraan. Jika di dalam urusan normal kita bisa menafsirkan pengembangan keilmuan, penelitian dan lain sebagainya, dalam situasi pandemik Covid-19 ini kita bisa mengembangkan dalam penafsiran lebih luas, yaitu “kesediaan nalar kita menerima hal baru atas situasi yang tidak bisa diberlakukan secara normal dengan penuh tawakal, alias sumeleh”.

Misalnya akal kita harus lebih bijaksana untuk tidak boros urusan pengeluaran personal sekaligus lebih banyak berderma pada yang kesulitan. Kita harus bisa menerima bahwa apa yang kita rencanakan harus batal atau tertunda (bersabar).

Akal kita pun harus cepat memanfaatkan kesempatan dengan lebih kreatif dalam menyusun agenda kerja dalam bentuk lain. Bahkan dalam situasi di rumah, kita bisa melarutkan diri dalam pergulatan intelektual karena banyak kesempatan untuk membaca literatur dan menulis.

Ketiga, hifz-al’ird (pelestarian kehormatan), pengertian substansialnya ialah martabat manusia, bahkan bisa kita arahkan pada urusan “hak asasi manusia”. Dalam situasi Covid-19 ini, pengertian kehormatan manusia ini bisa diarahkan dalam kerangka usaha kita menjaga agar manusia tidak terpuruk ke jalan a-sosial, apalagi asusila.

Kita sama-sama harus menjaga martabat manusia dengan menyediakan kecukupan dasar hidup. Jangan sampai ketika kehilangan pekerjaan lantas ada yang kelaparan, atau kurang gizi. Jangan orang miskin dengan bantuan pangan instan, banyak bahan pengawet, serba impor dan buruk gizinya, sementara di lain pihak petani kecil kesulitan menjual hasil panennya. Penuhi kebutuhan dasar mereka dengan pangan sehat bergizi, dan berikan kesempatan segera dengan pekerjaan yang layak.

Keempat, hifz al-din (pelestarian agama). Biasanya sebatas dimengerti sebagai hak-hak individu dalam kebebasan memilih keyakinan. Menurut saya, nilai lestari dari agama itu juga terletak pada tindakan substansial dalam ibadah, bukan semata tindakan formalnya.

Mencegah kerumuman ibadah bukan berarti melarang orang beribadah. Tak ada satupun kebijakan negara di Indonesia ini yang melarang orang melakukan kewajiban beragama. Yang dilarang adalah kegiatan sosial/tradisinya terkait dengan kerumunan. Bahkan saat situasi Covid-19 sekarang ini, banyak orang memaksa untuk kepentingan sekedar memuaskan hawa nafsunya dengan tetap belanja, nongkrong, dan kegiatan sejenis yang tidak relevan dengan misi ramadan/agama.

Di tengah musim wabah ini, alangkah baiknya kalau kita manfaatkan untuk mendatangi sisi substansial kegiatan agama dengan pola pikir dan perilaku yang baik di dalam rumah masing-masing dan meninggalkan perilaku tidak bermanfaat apalagi perilaku yang membayakan nyawa banyak orang. Mengapa demikian, karena agama punya tujuan, bukan sekadar menggunakan alatnya. Harus ada goal-nya, yakni menjadi manusia berkualitas dengan setiap ibadah.

Kelima, hifz al-mal (pelestarian harta). Paham literal biasanya hanya mengarah pada pemahaman “sekadar menjaga harta tidak hilang”. Lahirlah hukum dilarang mencuri. Tetapi yang perlu kita usung dalam situasi sekarang adalah pengembangan nilai ekonomi yang efektif dan penuh tanggungjawab moral. Ekonomi harus sukses dalam pertumbuhan sekaligus sukses mengindari kerusakan alam dan tidak mengorbankan manusia lain ke jurang kemiskinan. Paradigma ekonomi yang memihak rakyat kecil sekaligus berorientasi ramah lingkungan untuk keberlanjutan harus dimiliki setiap orang.

Di masa Covid-19 ini, kita bisa memaknai hifz-al-mal sebagai tindakan kreatif berekonomi di atau dari rumah masing-masing. Misalnya secepatnya harus menggerakkan tani pekarangan untuk kemandirian pangan keluarga. Menanam sumber pangan secara kreatif dengan usaha keanekaragaman hayati dan fokus pada peningkatan gizi. Sadar pengembangan potensi pangan lokal mutlak diperlukan karena kita tidak tahu perkembangan ekonomi dalam masa 2-4 tahun mendatang itu sudah sehat atau belum.

Kita mesti berpikir ulang tentang model-model ekonomi produktif dengan memanfaatkan lahan dan sumberdaya manusia terdekat untuk sama-sama membangun dari awal berkaitan dengan produksi. Ada banyak pengangguran yang bisa kita jalin untuk membangun kapasitas dalam bidang ekonomi untuk menuju kesejahteraan.

Akhirul kalam, Covid-19 ini mestinya tidak hanya dipahami sebagai ancaman disertai banyak keluhan. Ada sejumlah inspirasi yang besar yang membuat kita memahami kehidupan dengan cara lain dan itu akan membuat kita lebih baik di masa mendatang.[]

Solidaritas Membantu Fakir Miskin Bandung Utara

Keranjang Belanja