Pesantren Kilat Berguna Daripada Tidak
Oleh Abdul Hamid. Fasilitator Sekolah Sabtu-Minggu (SAMIN) Odesa.
(Tulisan ini merupakan hasil dari praktik kursus jurnalistik Odesa Indonesia 2023)
Tak biasanya anak-anak SD tetangga saya ke sekolah memakai busana muslim. Keadaan itu baru saya pahami setelah ingat bahwa bulan ini adalah Ramadan.
Kegiatan pesantren kilat adalah musabab dari busana yang dikenakan anak-anak itu. Ingat istilah kilat, pikiran saya langsung terhubung pada arti dari kilat, alias petir yang memiliki gerakan cepat.
Pesantren kilat merupakan kegiatan pendidikan seputar agama Islam yang diselenggarakan secara singkat. Biasanya dilakukan di bulan Ramadan oleh lembaga sekolah-sekolah formal.
Konon keberadaannya sudah ada pada 1960-an. Bila diibaratkan aplikasi ponsel pintar, pesantren kilat ini semacam versi lite-nya dari pesantren yang sudah ada sejak Abad ke-16.
Pembelajarannya dikemas dalam bentuk yang ringan, setiap peserta tidak akan dibebankan untuk mengerti ilmu nahwu dan shorof.
Program pesantren kilat ini bukan bagian integral dari lembaga pesantren konvensional. Pesantren kilat yang saya ikuti saat duduk di sekolah dasar, tidak bekerja sama dengan pesantren konvensional. Tetapi yang terlibat di tenaga pengajar biasanya alumni pesantren versi asli.
Pesantren konvensional sebetulnya memiliki agenda ‘kilat’ sendiri. Di pesantren kawasan Serang, Banten ada program yang disebut ‘ngaji pasaran’. Pesertanya bisa umum dan kitabnya ditetapkan secara khusus. Mulai kitab fikih, tafsir, dan kumpulan hadits.
Pada program ini Kiai membacakan kitab secepat kilat. Para santri mestilah sigap dan cekatan memegang pena dan mengawasi kalimat yang sedang dibaca. Ulasan atas apa kalimat kitab yang dibunyikan barangkali hanya sepostingan instagram.
Berbeda dengan program pesantren konvensional, pesantren kilat diatur secara khusus oleh Kementerian Agama RI. Ada panduan teknisnya. Maksudnya untuk membangun mutu pesantren kilat yang mantap.
Isi pelajaran di pesantren kilat itu berkisar tutorial dan hapalan. Anak-anak SD biasanya diajarkan bagaimana gerakan wudhu dan solat. Hapalan rukun iman, rukun islam, dan sifat-sifat nabi adalah materi standar yang pasti disampaikan.
Pesantren merupakan gerakan pendidikan yang lahir dari rakyat, jauh sebelum pendidikan barat hadir di Hindia-Belanda. Model pendidikannya tergolong tradisional dan khas Indonesia.
Belakangan baru muncul pesantren modern yang mengadopsi pendidikan kontemporer.
Peserta didiknya disebut santri. Gurunya dipanggil ustadz dan kyai. Secara spesifik pesantren menawarkan pendidikan ilmu agama Islam yang meliputi Al-Qur’an, hadis, fiqh, aqidah, tafsir, dan ilmu tata bahasa Arab, ilmu adab, dan lain-lain.
Gus Dur menyebut pesantren ini seperti lakon yang ada di wayang. Santri diibaratkan Semar yang memiliki kearifan lokal dan bertanggung jawab membawa pesan-pesan kebaikan kepada masyarakat.
Sementara kyai dimisalkan tokoh dalang yang bertugas mengarahkan dan membimbing santri agar mampu menafsirkan pesan-pesan tersebut dengan baik dan tepat.
Kita bisa menemukan model pendidikan yang mirip pesantren di beberapa negara muslim. Di Pakistan dan Bangladesh ada madrasa. Orang Maroko punya Diniyah. Sedangkan orang-orang Eropa punya lembaga pendidikan agama yang disebut seminari.
Kelembagaan pendidikan agama ini dibentuk secara serius dan dalam jangka waktu yang tidak sebentar, demi lahirnya pemimpin masyarakat yang arif cum bijaksana. Pesantren kilat tidak punya misi demikian.
Untuk memahami satu informasi saja perlu waktu, apalagi memahami persoalan seputar agama. Pemahaman tidak bisa didapatkan secara kilat karena ada tahapan-tahapan yang mesti dilalui.
Informasi itu mulanya dicerap oleh penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan. Kemudian diolah melalui pikiran. Pemahaman yang didapat kemudian akan bergantung pada kemampuan berbahasa dan budaya kita.
Dengan pola pendidikan yang serba cepat, jangan-jangan apa yang dikira sudah dipahami sebetulnya hanya buru-buru diyakini.
Akibatnya bisa gampang menyalahkan orang alias intoleran. Kebiasaan serba cepat ini merupakan bagian dari apa yang disebut Vance Packard sebagai “instant culture”.
Bandingkan dengan cara para ulama belajar. Mereka sering membaca dan mengulang-ulang bacaan buku yang sama untuk mendapatkan pemahaman yang dalam. Targetnya adalah meraih pemahaman yang dalam dan kokoh.
Bila niat menempuh pendidikan itu untuk meraih pemahaman, keuletan adalah harga mati. Tidak bisa didapatkan dengan cara yang kilat.
Apa yang didapatkan secara kilat akan hilang secara kilat juga. Lagipula, tidak ada alumni dari santri yang mumpuni yang lahir dari pesantren kilat. Sejauh pesantren kilat dijalankan, ia hanya berguna daripada tidak sama sekali[]
Cara Menulis Berita yang Baik dan Benar
Cara Menulis Opini bersama Budhiana Kartawijaya
Belajar Jurnalistik Menulis Opini dan Fotografi di Odesa