Ibu Surati, masyarakat samin klopoduwur

Perjalanan ke Jawa Tengah dan Keseharian Masyarakat Samin

Dari Bandung ke Rembang: Pengalaman saya menjelajahi daerah perbatasan Jawa Tengan dengan Jawa Timur dan Bertemu dengan Masyarakat Samin di Blora

Perjalanan ke Jawa Tengah

Pada tulisan kali ini, saya akan menceritakan pengalaman saya selama dua hari dua malam berkunjung ke Jawa Tengah. Saya bersama rombongan, Bapak Faiz Manshur, Bapak Enton Supriatna, Bapak Risdi, Mang Ujang Rusmana, dan Rafi (anak Pak Risdi) bertolak dari Bandung menuju Rembang, Jawa Tengah dengan menggunakan mobil pada hari Kamis malam tanggal 2 Mei 2024. 

Tujuan utama saya ke Jawa Tengah yaitu untuk bertemu dengan dua siswa penerima beasiswa Odesa asal Cimenyan di PP Al-Anwar Sarang, Kabupaten Rembang, yaitu Oman dan Agus. Atas dasar tugas dan tanggung jawab saya ke depan, saya berkewajiban untuk melayani para penerima beasiswa Odesa, dalam hal ini Agus dan Oman agar kebutuhan sehari-hari terutama yang menyangkut tentang uang dapat tercukupi.

Perjalanan dari Bandung menuju Rembang menghabiskan waktu sekitar 9 jam lamanya. Waktu yang terbilang cukup singkat mengingat jarak yang kami tempuh sekitar 480 kilometer, ditambah dengan mayoritas rutenya memang melalui jalan tol dan hanya dua kali istirahat di rest area.

Perberhentian Pertama di Rembang, Jawa Tengah

Masjid Jami’ Baiturrahman Lasem

Kami sampai di pemberhentian pertama, yaitu Masjid Jami’ Baiturrahman Lasem pada pukul lima pagi untuk sholat Subuh. Setelah itu, kami pun mencari sarapan. Terdapat warung makan sederhana bermodelkan angkringan di seberang masjid yang baru kami singgahi. Berbagai lauk pauk dan sayur mayur ada di sana. 

Saya memutuskan menu sarapan dengan kuah opor, sate usus, telur asin, dan kerupuk. Rasanya enak dan harganya cukup murah, setidaknya lebih murah dari warung makan pinggir jalan yang ada di Kota Bandung. Seingat saya satu orang hanya menghabiskan uang makan 15 ribu sampai 20 ribu, sudah termasuk dengan teh manis hangat. 

Mengunjungi Tempat Wisata Budaya di Rembang

Kami berencana untuk tiba di kawasan PP Al-Anwar Sarang setelah jumatan atau sekitar pukul setengah satu siang. Maka, kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan mengingat ada beberapa titik lokasi wisata alam dan budaya yang ingin kami kunjungi terlebih dahulu sebelum tiba di Sarang.

1. Menilik Aktivitas Nelayan di Pantai Binangun

Potret salah satu nelayan di Pantai Binangun saat pagi hari
Potret aktivitas salah satu nelayan di Pantai Binangun

Lokasi pertama adalah pesisir pantai di kawasan Lasem atau dikenal dengan Pantai Binangun. Di sana kami mengambil foto-foto perahu nelayan yang sedang nangkring di pesisir sembari mengamati kesibukan nelayan di pagi hari. Ombak di sana cukup tenang membuat siapapun bisa betah berlama-lama di sana.

2. Tiba di Pasujudan Sunan Bonang

Pasujudan Sunan Bonang

Sekitar 20 menit berlalu, kami melanjutkan perjalanan ke Pasujudan dan Petilasan Sunan Bonang. Di sana para wisatawan perlu menaiki 189 anak tangga untuk sampai di lokasi, karena tempatnya yang cukup tinggi. Di atas terdapat empat bangunan utama yakni tempat batu Pasujudan Sunan Bonang, makam Putri Campa, aula, dan musala.

Waktu menunjukan pukul 8 pagi dan kami pun mengakhiri kunjungan kami di sana. Tak lupa, kami membeli oleh-oleh khas pesisir Lasem, salah satunya ikan layur, yang dijajakan oleh warung-warung di area parkiran.

3. Menelusuri Jejak Klenteng Tertua di Pulau Jawa

Klenteng Cu An Kiong

Selepas dari Pasujudan Sunan Bonang, kami melanjutkan perjalanan ke Klenteng Cu An Kiong yang masih terletak di Kecamatan Lasem. Konon klenteng yang sudah ada sejak abad ke 13 Masehi itu merupakan klenteng tertua di Pulau Jawa.

Bangunan dengan warna dasar merah terang itu memiliki luas yang cukup besar. Di dalamnya ada berbagai macam ornamen, seperti patung naga dan beberapa lukisan yang didominasi dengan aksara Cina.

Setelah merasa cukup untuk mengambil beberapa foto menarik dan berdiskusi dengan penjaga klenteng di sana, kami pun bertolak menuju daerah pengrajin batik Lasem. Salah satunya ke toko Oemah Batik Lasem yang produk batiknya sudah melanglang buana ke berbagai negara di dunia. 

4. Oemah Batik Lasem

Toko Oemah Batik Lasem

Toko Oemah Batik Lasem terletak di Jalan Karangturi, jalan yang langit-langitnya dihiasi dengan lampion-lampion merah berukuran 30 centimeter. Di dalam toko, kami disuguhi dengan bentangan kain batik dengan beragam motif yang terpampang di dinding-dinding toko dan berbagai pakaian dan pernak-pernik batik.

Salah satu motif khas Lasem yang ada di sana adalah motif Gunung Ringgit, motif yang bermakna bahwa untuk meraih kekayaan kita harus mendapatkannya dengan cara yang benar dan tanpa merugikan orang lain.

Perjalanan ke Kawasan Ponpes Al Anwar Sarang

Waktu menunjukan pukul 11:30 WIB, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke Kecamatan Sarang. Di tengah perjalanan kami berhenti dahulu ke sebuah masjid di pinggir pantai untuk melaksanakan Sholat Jumat. Setelah itu, baru melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Rafi ke PP Al-Anwar 1 sekaligus bertemu dengan Agus dan Oman. 

Kunjungan ke Pusat Pengelolaan Sampah Anwar 3

Santri pengurus Pusat Pengelolaan Sampah Anwar 3
Dua santri pengurus Pusat Pengelolaan Sampah Anwar 3

Sebelum tiba di PP Al-Anwar 1, kami berkunjung ke PPS Al-Alwar 3 atau Pusat Pengelolaan Sampah Anwar 3 yang digerakkan oleh para alumni ponpes. Di sana kami mencari informasi tentang sejarah dari PPS yang sudah berdiri sejak sekitar 3 tahun lalu itu.

Dengan tujuan untuk menguraikan limbah makanan dan sampai organik maupun anorganik di PP Al-Anwar 3, kelompok santri yang berjumlah sekitar 10 orang ini membuat beberapa upaya dan teknologi. “Sejauh ini PPS berfokus pada pembudidayaan maggot, pembakaran sampah ramah lingkungan dengan asap yang minimum, sampai pengolahan abu hasil pembakaran menjadi paving blok.” jelas Nurul Huda (ketua PPS).

Bertemu Agus dan Oman di Ponpes Al Anwar 1

Singkat cerita, kami pun beranjak ke PP Al Anwar 1. Kami bertemu dengan Agus dan Oman sekitar pukul 4 sore di depan jalan masuk ke area kamar para santri. Di sana saya melihat ratusan bahkan ribuan santri berlalu-lalang dengan pakaian yang seragam, yaitu peci, kemeja, sarung, dan sendal jepit.

Sebagian santri tampak baru keluar dari masjid ponpes rintisan K.H. Maimoen Zubair itu dengan sebuah kitab di dalam genggaman. Di sudut lain, para santri sedang berkumpul di warung makan di area kompleks pesantren dan sebagian santri yang tidak mendapat tempat duduk memilih untuk melahap makanannya di gang-gang sekitar warung.

Bertemu Agus dan Oman di PP Al Anwar Sarang Rembang
Bertemu Agus dan Oman di PP Al Anwar 1 Sarang

Selesai mengurus Agus dan Oman, kami melanjutkan perjalanan menyusuri kawasan hutan Blora, Jawa Tengah. Dengan penerangan yang minim di sepanjang jalan, mobil yang dikendarai oleh Mang Ujang melesat di tengah gelapnya Hutan Blora. Hanya satu dua kendaraan yang kami temui, wajar karena kawasan tersebut terkenal cukup mistis oleh orang-orang setempat, sehingga tidak banyak yang nekad untuk lalu lalang di sepanjang rute jalan tersebut.

Dua jam berselang, sekitar pukul 8 malam saya dan rombongan tiba di pemberhentian selanjutnya, yaitu Kampung Samin Klopoduwur. Lokasi yang punya nilai historis dan sekaligus merupakan topik yang akan saya ceritakan lebih banyak pada kesempatan kali ini.

Baca juga: Pesantren Sarang Rembang dan Masyarakat Samin Blora

Keseharian Masyarakat Samin di Blora

Gedung Samin Surosentiko di Blora
Gedung Samin Surosentiko di Blora

Mengenal Sosok Samin Surosentiko

Nama Samin berasal dari nama tokoh masyarakat itu, yakni Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora dengan nama asli Raden Kohar. Dia menjadi guru masyarakat dan namanya berubah lagi menjadi Samin Surosentiko. 

Samin Surosentiko mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan, di antaranya menolak membayar pajak, menolak segala bentuk aturan yang dibuat pemerintah kolonial. Wong Samin acap kali memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajah Jepang karena sikap dan tutur kata mereka yang menjengkelkan bahkan hingga sekarang sebutan itu masih tersemat pada masyarakat Samin.

Samin sendiri terkenal dengan sebutan Suku Samin yang membuatnya seolah-olah merupakan sebuah suku yang sejajar dengan suku-suku yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, masyarakat Samin sendiri tidak memperdebatkan penyebutan suku tersebut. Justru dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Samin memandang dirinya sebagai bagian dari suku atau masyarakat Jawa.

Adapun istilah suku pada mulanya ditujukan agar budaya Samin dapat diakui sebagai cagar budaya oleh negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga eksistensinya tetap terjaga sampai generasi berikutnya.

Kunjungan ke Kampung Samin Klopoduwur

Pada Jumat, 3 Mei 2024 saya bersama Bapak Faiz Manshur, Bapak Enton Supriatna, Bapak Risdi, dan Mang Ujang Rusmana berkesempatan mengunjungi tanah kelahiran dari salah satu tokoh Samin, yaitu Suro Samin atau yang sering disebut Eyang Engkrek di Kampung Klopoduwur, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Kami berangkat dari Rembang menuju Blora ketika cahaya senja masih menghiasi langit-langit Tuban di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebelum pada akhirnya cahaya tersebut hilang seiring dengan adzan Maghrib yang mulai berkumandang di masjid-masjid di sepanjang jalan.

Kami menempuh rute Rembang-Djatirogo-Blora yang berarti mobil yang kami tumpangi akan melalui kawasan Hutan Blora yang minim penerangan. Perjalanan selama kurang lebih satu jam lamanya kami habiskan untuk menyusuri jalanan beraspal di Hutan Blora. Kami keluar dari jalanan hutan Blora sekitar pukul setengah 8 malam dan sempat berbelok ke salah satu masjid di Kecamatan Jepon untuk sholat Maghrib dan Isya.

Pertemuan dengan Mbah Lasiyo di Kampung Samin Klopoduwur
Pertemuan dengan Mbah Lasiyo di Kampung Samin Klopoduwur

Kami sampai di lokasi sekitar pukul 8 malam. Sesampainya di sana, saya bertemu dengan Mbah Lasiyo yang merupakan sesepuh Samin Klopoduwur. Dengan penuh keterbukaan, beliau bersama dengan sedulur sikep menyambut kami dengan hangatnya. Lima menit berselang, kami disuguhi teh hangat dan tak terasa kami pun kian larut dalam percakapan yang didominasi dalam bahasa Jawa itu. Kami mengobrol panjang lebar mengenai sejarah Sedulur Sikep Samin dari masa ke masa, utamanya di masa modern saat ini.

Waktu menunjukan pukul 9 malam, kami pun berpamitan dengan Mbah Lasiyo dan sedulur sikep yang kami temui. Kami pulang menuju penginapan terdekat, membawa pelajaran-pelajaran berharga dari apa yang Mbah Lasiyo ceritakan, terutama mengenai ajaran Sedulur Sikep Klopoduwur atau ajaran Samin yang mengedepankan prinsip paseduluran atau hidup bersaudara sebagai sesama makhluk yang hidup di alam semesta. Selain itu, ajaran Samin juga menekankan pada prinsip melestarikan lingkungan. 

Tonton juga: Orang Samin Pernah Menolak Bayar Pajak

Mengenal Keseharian Masyarakat Samin

Bagi masyarakat Samin, hubungan antara penduduk dan alam sekitar terjalin sangat akrab dan dekat. Hal ini disebabkan kehidupan mereka sebagai petani sangat dekat dengan alam bahkan tidak dapat dipisahkan. Alam memberikan apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan. Masyarakat Samin memanfaatkan alam sekitar dengan pertimbangan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan. Hal itu mereka jalani melalui aktivitas sehari-hari yang mayoritas dihabiskan di alam, terutama berkebun dan beternak.

Ketika kami kunjungi pada esok paginya, sebagian besar masyarakat Samin sedang berkeliaran di alam. Ada yang sedang bertani, beternak hingga mengarit rerumputan untuk dijadikan pakan ternak. Hal itu menunjukan bahwa prinsip yang leluhur mereka wariskan sudah tertanam pada generasi-generasi berikutnya. Selain berpegang teguh pada ajaran untuk melestarikan lingkungan, Sedulur Sikep Samin juga hidup di atas prinsip-prinsip atau ajaran-ajaran yang kaya akan nilai persaudaraan dan moral atau perilaku yang kuat. Semua itu terangkum dalam Ajaran Samin Surosentiko atau dikenal dengan saminisme.

Mengenal Ajaran Samin

Ajaran Samin (saminisme) Surosentiko dikenal dalam tiga macam ajaran, yaitu hukum tindak-tanduk’,‘hukum berbicara’, dan ‘hukum terhadap kewajiban dan larangan. Ajaran-ajaran dasar tersebut dijabarkan menjadi beberapa ajaran.

  1. Ajaran tentang Larangan Mengumbar Hawa Nafsu
  2. Ajaran agar Tidak Berbuat Jahat
  3. Ajaran tentang Larangan Menyakiti Orang Lain
  4. Ajaran tentang Panutan Hidup
  5. Ajaran tentang Memegang Teguh Ucapan
  6. Ajaran tentang Kejujuran
  7. Ajaran tentang Agama
  8. Ajaran tentang Hal yang Mustahil
  9. Ajaran tentang Hak Milik dan Istri
  10. Ajaran tentang Berbakti kepada Orang Tua
  11. Ajaran tentang Hukum Karma
  12. Ajaran tentang Melestarikan Lingkungan
  13. Ajaran tentang Etika Kerja

Saya juga telah menemukan beberapa website yang kaya akan khasanah kebudayaan nasional bahkan sebentar lagi samin surosentiko dipastikan akan menjadi pahlawan nasional, dengan catatan bukti-bukti atau persyaratan yang diajukan dapat dilengkapi dengan baik.

Penulis: Fadhil Azzam Ismail

Artikel terkait:

Mengapa Kita Perlu Mempelajari Ajaran Saminisme? ( Bagian 1)

Mengapa Kita Perlu Mempelajari Ajaran Saminisme? (Bagian 2)

Keranjang Belanja