Jembatan Kali Progo Temanggung punya banyak kenangan di masa lalu. Pelita Desa mendapatkan salahsatu cerita dari seorang kakek bernama Toyib. Cerita singkat ini tentang terjadi menjelang agresi Militer Belanda akhir 1948.
Jembatan Kali Progo Temanggung
Minggu, (30/10/2016) lalu Temanggung terasa panas. Saat itu saya melintas desa Guntur hingga ujung jalan belakang desa.
Terlihat asap mengepul di pojok sebidang sawah yang berbatasan dengan sungai. Saya penasaran ingin tahu apa yang terbakar, ternyata semak dan rumput liar dari lahan pertanian milik seorang kakek, yang akan ditanami kol hijau (kobis). Lalu kami berkenalan, ia menyebutkan nama Toyib, tinggal di desa Guntur, usia 78 tahun (lahir 1938).
Wah masih ingat awal kemerdekaan dong mbah?
“ Iya, tahun 1945 saya sudah sekolah,” jawabnya singkat.
Peristiwa apa yang paling berkesan sampai sekarang Mbah?
Ia terdiam, sepertinya sedang mengingat-ingat sambil membuat rokok lintingan. Setelah memantik api dan mengepulkan asap tembakau, ia mulai cerita.
Menurutnya, sebelum Belanda masuk kembali ke Temanggung, para pemuda desa dari Guntur, Lungge, dan Madureso diperintah kerjabakti membuat lubang rintangan jalan di dekat jembatan kali Progo agar kendaraan Belanda tidak bisa masuk kota Temanggung.
Hari itu pemuda-pemuda itu berhasil membuat tiga lubang berjejer searah jalan, masing-masing lubang berukuran selebar mobil jeep. Jarak lubang pertama dengan ujung jembatan sekitar 10 meter.
Kelompok pemuda yang lain menyiapkan rintangan dari pohon-pohon besar di pinggir jalan. Batang pohon dipotong tapi tidak sampai rubuh, nanti akan ditumbangkan pada saat Belanda masuk wilayah Kranggan.
Tapi malam hari ada perintah dari pimpinan tentara di Temanggung untuk menutup kembali lubang yang sudah dibuat. Dikhawatirkan jika Belanda tidak bisa masuk Temanggung justru akan marah membabibuta membantai warga desa. Akhirnya Pak Bayan menyuruh warga kerjabakti lagi usai subuh.
“Waktu itu saya masih sangat muda wong baru kelas tiga, jadi mau bangun tidur ya berat sekali, tambahnya mengakhiri cerita,” tuturnya.
Itulah perjuangan, walaupun melelahkan apapun dikerjakan demi keselamatan semua orang. Kita tahu peristiwa keji pembantaian masal 1.200 orang tentara pejuang dan rakyat sipil di kali Progo dengan cara ditembak serta penggal kepala oleh Belanda pada saat agresi militer II tahun 1949, telah membuat luka.
Namun, Mbah Toyib secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa pemuda desa jaman sekarang bisa mengikuti langkahnya dengan cara berjuang memajukan desa. “Nggih mbah…” (Andy Yoes Nugroho)