Harti Tsaeni Alwarokil Jannah. Belajar kepada Warga Pinggir Kota
DENGAN sepeda motor bebek, perempuan itu menyusuri jalan berkelok-kelok, naik turun perbukitan yang terjal di Bandung utara. Jika musim kemarau, medan yang dialuinya kering berdebu di bawah terik matahari. Sementara pada musim hujan menjadi licin dan banyak kubangan lumpur. Dia pernah terjatuh beberapa kali dan pakaianya kotor.
Namun kesulitan dan rasa lelah di perjalanan tersebut pupus seketika. Wajah polos anak-anak Kampung Merakdampit, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, menyambutnya dengan senyum dan teriakan manja. “Kak Harti…Kak Harti,” ujar mereka menyebut nama perempuan itu sambil melambaikan tangan.
Harti yang dipanggil anak-anak itu adalah Harti Tsaeni Alwarokil Jannah (22), salah seorang relawan literasi Sekolah Sabtu Minggu (Samin) Yayasan Odesa Indonesia. Tempatnya mengajar berjarak sekitar 28 kilometer dari rumahnya di Rancatungku, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung. Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai di tujuan.
Hampir tiga tahun terakhir dia keluar masuk kampung di Kecamatan Cimenyan untuk mengajar. Harti adalah satu dari dua relawan literasi pelopor di yayasan itu. Dia mulai terjun pada 2018 ketika masih jadi mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung. Kini Harti sudah menyandang gelar sarjana.
“Saya tidak membatasi diri menjalani peran sebagai relawan. Selama masih sehat dan tidak ada hambatan, saya ingin membantu anak-anak kampung. Sebab hakikatnya, saya belajar kepada mereka,” kata anak kedua dari dua bersaudara itu, saat ditemui di sekretariat Yayasan Odesa Indonesia, Kampung Cisanggarung, Desa Cikadut, Cimenyan, Minggu (20/9/2020).
Sekolah Samin bertujuan agar anak-anak kampung, khususnya yang berasal dari keluarga prasejahtera, bisa memiliki budaya literasi yang tinggi. Tidak hanya punya kebiasaan membaca buku, namun juga diharapkan memahami isinya, dan mengimplementasikan hal-hal baiknya dalam kehidupan. Pesertanya kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar.
Pada pada setiap pertemuan, para relawan selalu membawa buku-buku bacaan sumbangan para donatur. Kemudian anak-anak membaca dan mempresentasikannya, dilanjutkan dengan pembahasan bersama. Mobil perpustakaan yayasan juga secara berkala mengunjungi kampung-kampung untuk meminjamkan buku bagi anak-anak.
Materi lain yang disampaikan adalah kesehatan, aritmetika, ekologi dan bahasa Inggris. Semuanya dibungkus dengan contoh-contoh yang ada di sekitarnya. Tujuannya, agar mereka dapat dengan mudah mengerti dan berkaca pada lingkungannya. Tempat belajarnya pun bisa di mana saja, di musala, rumah warga, saung di tengah kebun atau tempat terbuka.
“Saat pembelajaran aritmetika tentang perkalian, misalnya, kami tidak hanya menggunakan angka. Tetapi juga memakai objek langsung yang ada di sekitar mereka, seperti daun, ranting, atau batu. Pembentukan karakter dan kepercayaan diri menjadi prioritas,” kata penyuka salad buah dan makanan pedas ini.
Harti prihatin ketika awal membuka basis sekolah tersebut, mendapati kenyataan anak-anak dari keluarga prasejahtera itu miskin imajinasi. Tidak berani untuk menyatakan cita-citanya. Sangat jarang bersentuhan dengan bacaan. Bahkan masih banyak yang belum lancar membaca pada usia SD dan SMP.
Semula ikut-ikutan
Harti bergabung sebagai relawan pada pertengahan tahun 2018. Semula hanya ikut-ikutan, ketika temannya memberi tahu Yayasan Odesa membutuhkan tenaga pengajar. Dia tidak mengira akhirnya terlibat lebih jauh, setelah mengetahui visi misi yayasan. Pertemuan dengan para penggiat sosial lainnya membuat Harti ingin mengikuti jejak mereka.
Selain menjadi relawan pengajar, dia kerap ikut aksi bakti sosial seperti pembagian sembako di kampung-kampung pinggir hutan dan juga pendampingan gizi mereka. Sering berdialog dengan kelurga petani, dan mencoba memahami permasalahn kaum perempuan pekerja di ladang.
Semula Sekolah Samin hanya ada di dua kampung yaitu di Sekebalimbing dan Cisanggarung, Desa Cikadut. Pada awal 2019 basis baru dibuka di Kampung Cikored. Saat itu hanya ada dua relawan, sehingga Harti dan temannya cukup kewalahan dalam membagi waktu. Jumlah anak yang hadir di satu lokasi bisa mencapai 15 orang.
Dibutuhkan relawan lebih banyak lagi, agar pendampingan literasi anak-anak keluarga prasejahtera bisa berjalan maksimal dan terlihat jelas progresnya. “Beberapa kali kami mengumumkan penerimaan penerimaan relawan. Namun hanya sedikit anak muda yang tertarik,” tutur anak pasangan Yusni Hudaya dan Epi Muplihah itu.
Pada beberapa bulan terakhir ini, kemudian bergabung 13 relawan dari kalangan mahasiswa. Mereka berhasil membuka basis baru Sekolah Samin di 8 kampung. Dengan demikian total lokasi belajar tersebar di 10 kampung. Para relawan bergiliran mengajar di lokasi dan waktu yang berbeda. Durasi mengar paling lama 2 jam, antara pukul 10.00 hingga 17.00.
Berbagai Kendala
Sebanyak 8 dari 10 kampung lokasi tempat relawan mengajar, jaraknya cukup jauh dari sekretariat Odesa. Kondisi medan yang tidak nyaman dilalui, merupakan ujian bagi keseriusan untuk megabdi dan berbagi ilmu di pelosok. “Hal lain yang menjadi tantangan, kurangnya dukungan orangtua agar anak-anaknya belajar di Sekolah Samin,” tutur Harti.
Ketika Harti mengetuk pintu rumah warga untuk mengajak anak-anak belajar bersama, sambutan para orangtua begitu hangat. Namun kebanyakan dari mereka tidak mendorong anak-anaknya ikut dalam kegiatan Sekolah Samin. Seolah menyerahkan sepenuhnya pada anak mereka. Padahal dukungan orangtua sangat penting.
Diakui Harti, dia menghadapi kendala lain berupa kurangnya bekal pedagogi sebab tidak berlatar belakang keilmuan pendidikan. Karenanya Harti harus memutar otak supaya anak-anak terbimbing secara baik. Mengajar membaca adalah ujian kesabaran, karena menyita banyak waktu. Sementara anak-anak lain juga memerlukan perhatian.
Dia berusaha keras agar materi yang disampaikan bisa dimengerti. Pada sisi lain, kemampuan pemahaman anak-anak berbeda-beda. Banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang belum dipahami. Mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa nasional dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab itu kerap kali harus dicari padanan kata lain agar mereka mengerti.
Dalam hal materi bahasa Inggris, banyak anak mendapatkan pelajaran tersebut di sekolahnya hanya sampai kel;as 3. Bahkan ada yang tidak mendapatkan pelajaran bahasa Inggris sama sekali. Harti juga mendapati anak yang sudah duduk di kelas 3 dan 4 SD serta siswa SMP yang belum bisa membaca.
“Dalam sebuah pertemuan, pernah terjadi hal yang mengejutkan. Seorang anak lelaki ngompol, dengan wajah tanpa beban. Tentu saja menimbulkan bau yang tidak sedap. Ketika ditanya, dia menjawab malas ke kamar mandi. Anak itu tidak menunjukkan rasa malu,” katanya.
Kehadiran anak-anak juga terkadang fluktuatif. Supaya menarik perhatian, para relawan memberi hadiah kepada yang hadir. Dengan demikian, mereka akan bercerita kepada teman-temannya yang tidak hadir. Benar saja, pada pertemuan berikutnya lebih banyak lagi yang datang.
Seiring waktu, beberapa kendala secara bertahap teratasi. Bertambahnya jumlah relawan, sangat membantu masing-masing pengajar untuk lebih fokus pada kualitas pembelajaran. Para relawan juga sudah lebih bisa memahami cara berkomunikasi yang baik dengan anak-anak dan orangtuanya di perkampungan.
Keterlibatan kaum muda
Dalam kurun waktu hampir tiga tahun menjadi relawan, Harti mencatat beberapa hal penting. Antara lain, anak-anak membutuhkan bimbingan dan contoh yang baik. Banyak dari mereka yang tidak mendapat kasih sayang orangtua dan teladan dari keluarga atau lingkungan sekitar. Kondisi ini melahirkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik.
Setelah melalui sekian banyak pertemuan, perubahan-perubahan terjadi. Mereka sudah bisa memperhatikan kebersihan diri, berkata dengan bahasa lebih sopan, dan berani mengemukakan pendapatnya. Imajinasi mereka juga berkembang, terutama terkait dengan cita-cita dan harapan hidupnya.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, anak-anak di pelosok nasibnya kurang beruntung dibanding anak di perkotaan. Proses pendidikan mereka sangat mengkawatirkan. Anak-anak itu tidak bisa melangsungkan pembelajaran sama sekali. Ekonomi keluarga mereka tidak memungkinkan memiliki gawai dan kuota internet, agar belajar sistem daring berlangsung.
“Betapa mirisnya melihat nasib mereka. Sekian bulan tidak menjalani proses belajar mengajar secara formal. Belajar lewat daring pun tidak. Kondisi seperti ini harus menjadi tanggung jawab negara. Samin dan kegiatan sejenis di tempatg lain, banyak yang tetap berjalan di tenghah kodisi seperti ini. Tapi kemampuan kami sangat terbatas,” katanya.
Diharapkan, kaum muda terpelajar lebih banyak lagi terlibat dalam mengatasi buta literasi, utamanya di kalangan anak-anak dari keluarga prasejahtera. Saat ini banyak program pengabdian dari berbagai pihak untuk menumbuhkan budaya literasi. “Sekecil apapun, semoga memberi andil pada upaya perbaikan,” tuturnya. (Enton Supriyatna Sind/”PR”)***
Inem, Perempuan dan Perubahan
SEJAK kanak-kanak, diajarkan orangtuanya untuk rajin menolong sesama sejauh yang mampu dilakukan. Bergiat dalam proses pbelajaran bagi anak-anak prasejahtera di kampung-kampung, adalah salah satu jalan bagi Harti untuk mengamalkan nasihat itu. Sembari tetap memelihara cita-citanya menjadi seorang diplomat. Cita-cita yang membuatnya berusaha keras untuk mahir berbahasa Inggris.
Harti senang membaca dan terus-menerus belajar. Buku bacaannya beragam, termasuk novel-novel asing. Ada dua novel berbahasa Inggris yang paling disukainya yakni “To Kill A Mockingbird” karya Harper Lee dan “The Wolf and The Dove” karya Kathleen E. Woodiwiss. Besar memang minatnya terhadap karya-karya sastra berbahasa Inggris.
Bersama relawan perempuan lainnya, dia membidani lahirnya Inem, singkatan dari Indonesia Empathize. Inem berbasis pada gagasan bahwa Indonesia membutuhkan orang-orang yang berempati terhadap situasi sosial di tengah masyarakat. Juga diikuti gerak nyata untuk ikut berupaya melakukan perubahan.
“Inem mengajak orang-orang, khusunya para perempuan, untuk berempati dan bergerak melakukan perubahan. Terutama pada isu-isu di kalangan keluarga prasejahtera. Inem ingin menghimpun perempuan-perempuan, untuk bekerja secara kolektif agar terjadi perubahan,” perempuan yang juga pernah bercita-cita jadi guru ini.
Selain membaca, setahun terakhir ini, Harti menekuni hobi barunya belajar melukis dengan acrylic, cat air, dan gouache. Dia memang senang mencoba hal-hal baru. “Saya selalu kagum dan merasa senang saat mendapatkan ilmu baru, hingga mindset saya terbangun dengan ilmu baru itu,” tuturnya.
Harti dan relawan perempuan lainnya, mungkin tergolong orang-orang yang “tidak biasa”. Seringkali berkerja sosial tidak mengenal waktu. Meski sudah gelap dan kondisi alam tidak mendukung, mereka masih saja kukurusukan mengetuk pintu-pintu rumah warga di pelosok untuk menyampaikan amanah dari para donatur.
Aktivitas tersebut dinikmatinya. Seperti memperkaya keragaman aktivitas yang dijalaninya selama di kampus. Dia tidak ingin setengah-setengah. Harti sudah membiasakan diri hidup di lingkungan warga yang didampinginya. Tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kampung Cisanggarung, Desa Cikadut. (Enton Supriyatna Sind/ “Pikiran Rakyat, Sabtu 26 September 2020)***
Tentang Gerakan Inem Bergiat melayani warga dengan empati