Berbuat Baik dengan Cara Yang Baik
Oleh FAIZ MANSHUR Ketua Odesa Indonesia
Apa yang harus kita berikan kepada orang-orang miskin itu?
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita perlu membicarakan tujuan dan target dari setiap pemberian. Dalam bingkai tindakan kebaikan, semua pemberian itu memang tidak ada yang salah.
Namanya juga memberi, apalagi pada mereka yang membutuhkan dan sedang mengalami kekurangan. Tetapi kebaikan itu ada levelnya. Sekadar memberi atau membantu kita tempatkan pada level bawah.
Bagaimana supaya kita masuk dalam level yang berkualitas?
Di sinilah kita butuh tindakan filantropi. Berangkat dari akar falsafahnya cinta kepada manusia, maka unsur empati itulah yang kita jadikan esensi dalam tindakan.
Berangkat dari empati, kita akan disadarkan tentang pentingnya menghadapi manusia yang meliputi kebutuhan kompleks seperti pola pikir baru, ilmu baru, perilaku baru, dan mentalitas yang lebih tangguh.
Itulah mengapa tindakan filantropi yang sejati tidak akan berhenti sekadar “melempar koin”.
Sebab dengan sekadar memberi, bisa jadi kebaikan itu hanya baik bagi pemberi, tetapi punya dampak buruk bagi penerima.
Telah banyak kasus bahwa banyak orang mengidap mental pengemis akibat keseringan menerima bantuan.
Pemberian Berkualitas
Karena tidak setiap tindakan baik itu menghasilkan kebaikan, maka bisa kita simpulkan bahwa tindakan kebaikan itu mesti memakai bingkai tertentu, dan itu jika kita bisa membingkai kebaikan dalam model “gerakan sosial”, bukan “bakti sosial.”
Dalam “gerakan sosial” kita akan senantiasa bergerak untuk perubahan yang bersifat menyeluruh meliputi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sedangkan bakti sosial itu dilakukan tanpa melihat ketiga target sehingga biasanya hanya menghasilkan dampak jangka pendek.
Mengambil tindakan kebaikan pada orang miskin itu bagian dari tindakan filantropi, artinya kita sedang bekerja pada urusan kemanusiaan.
Karena kodrat manusia dengan problemnya itu selalu kompleks, maka kita butuh cara pandang yang komprehensif untuk melihat penyebabnya. Tak terkecuali solusinya, juga selalu butuh langkah yang menyeluruh, alias tidak boleh parsial.
Filantropi, selain membutuhkan empati atau welas asih, juga membutuhkan dua elemen lain, yakni keilmuwanan dan kepemimpinan.
Pemimpin yang punya welas-asih bertindak dengan ilmunya sekaligus mampu memberikan teladan-teladan konkret saat melakukan pendampingan.
Rumus filantropi yang seperti ini jelas jauh berbeda dengan sekadar tindakan berbuat baik dalam konteks “bakti sosial” yang tindakannya hanya melempar koin.
Sulit dan ribet? Itu relatif karena bergantung pada kualitas personal seseorang. Yang jelas tidak ada hasil yang berkualitas dilakukan dengan cara instan.
Pelajaran berharga dapat kita petik dari praktik bantuan sosial pemerintah Indonesia (atau kelompok derma swasta) yang hanya menghasilkan para penerima bantuan itu sebagai manusia yang terus “menyadangkan tangan” di bawah.
Siapa saja yang memiliki semangat untuk mengubah keadaan kemiskinan menjadi lepas miskin mestinya mengambil tindakan dalam bingkai “gerakan sosial”.
Dengan mengambil peran pendampingan, dampaknya bukan hanya keberhasilan memajukan orang miskin, melainkan juga memajukan para aktor pendamping tersebut mendapatkan pengalaman.
Dan satu lagi dampak baik dalam “gerakan sosial”, yakni semakin memperkuat seseorang menjadi pemimpin karena setiap tindakan selalu membutuhkan sahabat-sahabatnya untuk mengubah keadaan secara bersama.
Dari pengalaman itulah kebaikan tumbuh dari dua sisi, yakni orang yang mendapatkan pendampingan dan para pendampingnya.
Bahkan lebih daripada itu, orang-orang yang didampingi sering bisa menjadi model bagi lahirnya inspirasi orang-orang di sekitarnya untuk menapaki perubahan hidup yang lebih baik. [ Sumber: Opini Koran Gala]
Quotes dari AE Priyono tentang Gerakan Kebaikan dalam Gerakan Sosial:
Ada banyak jalan untuk berbakti kepada masyarakat, tapi hanya sedikit cara yang bisa dilakukan agar masyarakat memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri mereka sendiri. Ada banyak sumbangan diberikan dalam setiap peristiwa bencana alam, tapi banyak juga yang bocor dan mengalir ke para pejabat karena problem akut korupsi. Dan itu berulang terus dalam peristiwa bencana berikutnya, karena masyarakat tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengontrol perilaku korup kekuasaan. Bencana alam berlangsung lagi, dan korupsi terus terjadi.”
Baca Selengkapnya Uraian Gerakan Kebaikan dalam Gerakan Sosial di Gerakan Sosial adalah Tindakan Yang Membebaskan
Mari sumbang Kegiatan Pemberdayaan Petani Miskin
Filantropi, Cara Tepat Mahasiswa Berkegiatan Sosial
Prinsip-Prinsip Kesukarelawanan Odesa