Istri Dibawa Lari, Tanaman Dirampas

Kisah-kisah kehidupan petani seringkali menyedihkan. Persoalan ekonomi menjalar ke urusan rumah tangga sampai istri dibawa lari dan tanaman dirampas.

Ada peribahasa Sunda yang berbunyi, “katurug katutuh”. Padanannya dalam bahasa Indonesia kira-kira “sudah jatuh tertimpa tangga”. Mungkin peribahasa itu cocok untuk menggambarkan kejadian yang menimpa Yunan (55), sebut saja namanya begitu, pada beberapa waktu lampau.

Dua kemalangan menimpanya secara berturut-turut. Saya dan Faiz Manshur  berbincang dengan petani tersebut, di sela kegiatannya memilah biji kopi di Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, belum lama ini.  Siang itu Yunan menjamu kami dengan ”cikopi” hasil kebunnya.

Setelah mengalami kegagalan dalam membangun rumah tangga sebelumnya, Yunan menikah dengan seorang perempuan -sebut saja Isah- warga Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan. Isah adalah janda beranak dua yang sudah lima kali menikah. Usia rumahtangganya terbilang pendek. Sering bertengkar yang berujung perceraian.

Keluarga Isah memperlakukan Yunan begitu baik dan istimewa. Dia tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk keperluan pernikahan. Semua ditanggung pihak perempuan. “Tidak perlu repot-repot, yang penting bersedia nikah,” kata Yunan mengenang saat menjadi suami keenam Isah.

Perlakuan seperti itu tidak lepas dari kiprah Yunan. Berbekal pengetahuan agama yang dimilikinya, dia mengajari warga  tentang ibadah sehari-hari. Mengajari anak-anak mengaji. Masyarakat mendukung aktivitasnya dan sebuah masjid pun berdiri.

Keluarga wanita berharap, Yunan menjadi suami terakhir bagi Isah. Rumah untuk mereka pun sudah disiapkan. Lahan pertanian leluasa untuk digarap. Pada hari-hari berikutnya, Yunan menjalani kehidupannya dengan nyaman sebagai serang petani. Usahanya berkembang, sehingga mampu membeli kendaraan roda empat. Dia juga mendirikan rumah sendiri di lahan milik mertuanya.

Hilang dua bulan

Memasuki tahun kesembilan, ketenteraman rumahtangga Yunan terganggu. Pada suatu ketika istrinya tidak ada di rumah. Sehari, sepekan,  hingga dua bulan lamanya Isah tidak juga pulang. Dari informasi yang dikumpulkannya, Isah kemungkinan dibawa lari kekasih lamanya, seorang preman. Tapi belum jelas keberadaannya.

Hingga suatu hari ada kabar yang menyebutkan, Isah berada di sebuah tempat di Garut. Hidup serumah dengan sang preman. Dengan alamat yang didapatnya, Yunan bergegas ke lokasi yang dituju. Ditemuinya ketua RT dan RW setempat, untuk menjelaskan tujuan dan duduk persoalannya.

Waktu dia menunjukkan buku nikah sebagai bukti suami dari Isah, aparat lingkungan itu kaget bukan kepalang. Karena kepada mereka, pasangan itu mengaku baru menikah di Bandung dan dokumen pernikahannya sedang dalam proses.

Di rumah yang dituju hanya ada Isah, yang gugup dengan kedatangan Yunan. Disaksikan ketua RT dan RW setempat, keduanya terlibat cekcok dan Yunan meminta Isah segera kembali ke Bandung. Sepanjang perjalanan pulang dengan angkutan umum, mereka tidak saling bicara.

Begitu tiba di Cimenyan, Yunan pulang ke rumahnya, sementara Isah di ke tempat orangtuanya. Beberapa hari kemudian, si preman dalam keadaan mabuk mendatangi Yunan. Matanya merah, tangan kanannya memegang kelewang mengkilat.

Pria itu berteriak-teriak mengancam akan membunuh Yunan, sambil mengacung-acungkan senjata tajamnya. Karena berbahaya, warga meminta Yunan tidak melayaninya. Akhirnya si preman meninggalkan tempat itu. Tidak berselang lama, Isah pun pergi menyusulnya.

“Beberapa hari setelah itu, saya baru tahu ternyata hasil kebun sudah dijual istri saya kepada seorang bandar. Uangnya sudah dibayar lunas. Saya tidak kebagian sedikit pun. Dia pergi dengan lelaki itu. Saya tidak mau lagi mencarinya,” tuturnya.

Yunan tidak mau berlama-lama. Dia segera menceraikan Isah. Lalu pergi dari kampung itu dan menetap di Desa Mekarmanik. Kini, seorang istri yang setia telah memberinya dua orang anak. Selain bertani, mereka juga membuka warung kebutuhan sehari-hari. (Enton Supriyatna Sind)***

KISAH-KISAH LAIN TENTANG KEHIDUPAN PETANI

“Maklum, saya ini kan hanya sekolah sampai kelas 2 SD. Saya ini termasuk bandel, tidak mendengar nasihat orangtua. Saya keluar begitu saja dari sekolah. Mengaji juga tidak bener. Ayah sering memarahi saya. Tapi lama-lama saya dibiarkan. Kerja serabutan, apa saja,” kata anak kedua dari tujuh bersaudara itu.

“hidup di perantauan itu tidak cukup baik. Penghasilan dari kopi hanya sekali dalam setahun. Sedangkan tanaman lain tidak bisa dibudidayakan karena seringkali dimakan babi hutan. Akhirnya untuk makan membeli beras dengan cara “ngijon”. Misalnya, beras satu kuintal dibayar kopi satu kuintal. Padahal harga keduanya jauh berbeda.”

Kisah Petani dengan Masa Lalu Sekolahnya

Keranjang Belanja