Kisah Petani dengan Masa Lalu Sekolahnya

 
Oleh Enton Supriyatna Sind. Pendamping Sosial Petani Odesa Indonesia
Oleh Enton Supriyatna Sind. Pendamping Sosial Petani
Odesa Indonesia
Ada yang Minggat, 
Ada yang Hidup di Hutan

“Sia mah lain anak aing!” Lelaki berusia 40-an tahun itu membentak, telunjuknya hampir menyentuh wajah Toha.  Bagi bocah kelas 2 Sekolah Dasar tersebut, hardikan itu seperti palu godam yang menghantam dadanya.  Tenggorokannya tercekat. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin kalimat itu terlontar dari ayahnya sendiri.

Kemarahan sang ayah bermula karena Toha meminta uang jajan. “Setiap hari saya berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jauhnya sekitar dua kilometer. Jarang sekali diberi uang untuk jajan di sekolah. Sekalinya minta, malah dibentak seperti itu. Padahal hewan ternaknya banyak.  Kalau saya bukan anaknya, lantas anak siapa?” kata pria warga Kampung Waas Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kab. Bandung itu, saat berbincang kepada test.odesa.id awal Oktober 2021 lalu.

Dengan hati kecewa, Toha pun bergegas pergi dari tempat tinggalnya di Kampung Waas. Anak keempat dari tujuh bersaudara itu memutuskan untuk berhenti sekolah. Dia berjalan tanpa tujuan. Hingga akhirnya sampai di Kampung Cilaja Desa Sindanglaya Kec. Cimenyan, sekitar 4 kilometer di sebelah selatan kampungnya.

Di tempat itulah dia bertemu dengan sepasang suami istri yang cukup berada tapi tidak punya anak. Toha diajaknya tinggal bersama mereka. Namun dia tidak meneruskan sekolahnya. Hari-harinya diisi dengan kegiatan belajar jual beli hasil bumi, termasuk cengkeh. Orangtua angkatnya sangat menyayangi Toha, seperti anak sendiri. Sementara itu, sang ayah tidak pernah mencari keberadaannya. Dia sempat pulang ke rumah saat ibunya meningggal dunia.

Tidak terasa, sudah tujuh tahun Toha hidup di Cilaja. Dia memutuskan kembali ke rumahnya, setelah ayah angkatnya meninggal dunia. Namun konflik dengan kandungnya kembali terjadi ketika dia meminta untuk diantar menikah. Sang ayah tidak menanggapinya secara layak.

“Dari pengalaman itu, saya banyak belajar bagaimana menjadi seorang ayah. Alhamdulillah dua anak perempuan saya bisa menuntaskan sekolah hingga SMP,” kata petani yang kini berusia 47 tahun itu.

Kisah Petani yang Baik Hati

Korban ejekan

Lain Toha lain pula Ence, warga Cisanggarung, Desa Cikadut, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung.  Lelaki kelahiran tahun 1970 itu juga memiliki kisah sedih yang berkaitan dengan sekolahnya. Anak keempat dari lima bersaudara tersebut menjadi yatim piatu ketika masih duduk di bangku kelas 2 SD.

“Ayah saya meninggal dunia karena menderita sesak napas. Seminggu kemudian ibu saya menyusul, setelah sebelumnya diserang penyakit muntaber. Keduanya tidak sempat ditangani dokter. Maklum lokasi rumah kami jauh ke kota, keadaan jalan juga masih susah dilalui,” tutur Ence menceritakan masa lalunya, belum lama ini.

Enton Supriyatna Menemui Keluarga Petani
Enton Supriyatna Menemui Keluarga Petani

Kesedihan yang dirasakannya semakin bertambah, ketika dia berada di sekolah. Teman-temannya mulai mengejek. “Kalau tidak punya orangtua, tidak boleh sekolah. Lihat teman-teman kamu di sini, semuanya punya orangtua,” begitu kata-kata yang sering didengarnya. Ence tidak bisa apa-apa, tidak bisa melawan ejekan itu.

Sekali dua kali, Ence masih bisa menahan perasaannya. Namun lama kelamaan dia menyerah juga. Ence malu jika bertemu teman-teman sekolahnya. Maka, dia memutuskan sendiri untuk berhenti sekolah ketika akan naik ke kelas 3. Menurut pikirannya, langkah itu juga sebagai cara untuk meringankan beban kakak tertuanya yang selama ini membiayai sekolah Ence.

“Setelah tidak lagi bersekolah, tugas saya mencari rumput untuk ternak milik kakak. Saya gembira sekali ketika tidak lagi bersekolah. Setiap hari mengurusi ternak saja. Yang penting mah saya bisa makan dan punya pakaian. Bertahun-tahun saya jadi tukang mencari rumput,” tutur ayah dua anak ini.

Dia juga pernah menjadi kernet truk pengangkut batu. Begitu menikah, secara serius Ence menekuni pekerjaan sebagai pemecah batu. Setelah puluhan tahun bergelut di dunia batu, ia terpaksa banting setir menjadi petani. Wabah corona membuat order pembelian batu mejadi sepi. Aktivitas galian batu pun berhenti.

“Namanya petani dadakan, baru belajar. Tidak punya modal, tidak punya kemampuan. Saya menggarap tanah milik orang lain. Luas tanahnya 300 tumbak (4.200 m), tapi yang mampu saya garap hanya sedikit. Saya tanami pisang, singkong dan ubi. Sebagian dijual, sebagian lagi dimakan sendiri. Hasilnya memang tidak tentu,” katanya.

Pengalaman pahitnya tidak ingin terulang pada kedua anaknya. Anak pertama, seorang perempuan, berhasil menamatkan jenjang sekolah dasar. Namun tidak lama setelah itu menikah, dan sudah memberinya dua orang cucu. Sedangkan anak kedua, laki-laki, sempat duduk di kelas 1 SMK. Masalah biaya menjadi alasan anak-anak Ence tidak bisa meneruskan pendidikannya.

Hampir mati

“Saya hampir mati,” ujar Oo Sumpena (62), warga Cikored, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan, beberapa waktu lalu ketika berkisah tentang kehidupannya. Sebagai tukang batu, sudah terbiasa Oo berada di ketinggian bukit. Hingga suatu ketika pada 1982, salah satu kakinya menginjak batu yang rapuh. Tubuhnya yang tanpa alat pengaman itu melayang dan jatuh ke tanah dari ketingggian sekitar 25 meter.

Beberapa tulang di tubuhnya patah. Oo dibawa ke bengkel tulang di kawasan Riungbandung. Beberapa waktu lamanya dia harus beristirahat. Akan tetapi karena kebutuhan ekonomi, meskipun belum benar-benar pulih, dia memaksakan diri berjualan singkong keliling kampung. Tidak ada pilihan lain, untuk menghidupi keluarganya. Tidak ada keterampilan lain yang dimilikinya.

“Maklum, saya ini kan hanya sekolah sampai kelas 2 SD. Saya ini termasuk bandel, tidak mendengar nasihat orangtua. Saya keluar begitu saja dari sekolah. Mengaji juga tidak bener. Ayah sering memarahi saya. Tapi lama-lama saya dibiarkan. Kerja serabutan, apa saja,” kata anak kedua dari tujuh bersaudara itu.

Sebetulnya ayah Oo Sumpena tergolong orang terpandang di kampungnya. Selain termasuk pejuang 45, juga seorang lebe atau penghulu. Dahulu ayahnya punya tanah cukup luas. Namun karena desakan ekonomi, tanah itu perlahan habis dijual. Semua saudara kandung Oo berhasil menamatkan sekolah dasar.

Oo menikah pada usia 15 tahun dengan perempuan berumur sama. Dari pernikahan itu, Oo dikaruniai 4 anak, yang kini sudah memberinya 9 cucu dan 3 buyut. “Semua anak saya tamat SD. Segitu juga sudah alhamdulillah. Jangan seperti orangtuanya yang tidak berpendidikan,” tuturnya.

Hidup di hutan

Mungkin Oo lebih beruntung dibanding Suparman (68) warga Sentakdulang, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan. Anak pertama  dari tujuh bersaudara ini, malah tidak pernah bersekolah. Hingga kini mengaku buta huruf.  Pada usia 7 tahun dibawa orangtuanya merantau ke Lampung. Berdiam di hutan kopi yang jauh ke mana-mana. Tidak ada fasilitas pendidikan.

“Orangtua saya bekerja menggarap kebun kopi di Kotabumi, Lampung. Namanya juga di hutan, jauh ke tempat penduduk. Tidak ada sekolah, tidak ada masjid. Saya dibawa pulang lagi ke sini ketika berusia 15 tahun. Teman-teman saya sudah di SMP. Mau sekolah malu, masak saya masuk SD. Jadinya begini sekarang,” kata Suparman dengan nada sesal.

Padahal, katanya, hidup di perantauan itu tidak cukup baik. Penghasilan dari kopi hanya sekali dalam setahun. Sedangkan tanaman lain tidak bisa dibudidayakan karena seringkali dimakan babi hutan. Akhirnya untuk makan membeli beras dengan cara “ngijon”. Misalnya, beras satu kuintal dibayar kopi satu kuintal. Padahal harga keduanya jauh berbeda.

“Saat itu harga beras Rp 25 kg, sementara kopi Rp 400/kg. Perbedaannya sangat jauh. Tapi kita tidak bisa apa-apa meski hidup digencet. Kalau menolak aturan main itu, ya tidak bisa makan. Jadi, inginnya untung malah buntung,” kata Suparman.

Suparman menikah pada tahun 1975 dalam usia 20 tahun. Dari pernikahan itu lahir empat orang anak, yang semuanya tamat sekolah hingga jenjang SMP. Suparman memang bertekad membayar rasa kecewanya dengan menyekolahkan anak-anak, meskipun terasa begitu berat membiyainya.

Selama puluhan tahun, Suparman bekerja sebagai penambang batu di Cisanggarung. Jika musim hujan tiba, dia juga menggarap kebun milik orang. Dari situlah Suparman bisa menghidupi keluarganya.

Namun dalam empat tahun terakhir, dia menghadapi ujian yang cukup berat. Istri tercintanya menderita pembengkakan pada jantungnya.  Sempat dirawat sampai delapan kali di rumah sakit. Tiap bulan harus kontrol rutin, yang menghabiskan biaya sedikitnya Rp 500 ribu. Dia sempat memakai fasilitas BPJS.

“Tetapi dengan fasilitas itu, obatnya hanya cukup untuk seminggu. Untuk tiga minggu lagi harus bayar sendiri. Akhirnya supaya tidak bolak balik, dan prosesnya cepat, berobat tidak pakai fasiltas itu. Langsung beli obat untuk sebulan. Memang biaya sudah habis puluhan juta rupiah, tapi tidak apa-apa. Ini demi nyawa,” ujar Suparman.[]

Kemiskinan Budaya di Bandung Utara. Liputan Pikiran Rakyat

1 komentar untuk “Kisah Petani dengan Masa Lalu Sekolahnya”

  1. Pingback: Istri Dibawa Lari, Tanaman Dirampas - ODESA INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja