Hakikat Literasi Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia
Literasi tidak sekadar urusan membaca buku. Tetapi jika dalam kegiatan literasi tidak ada pembiasaan praktik membaca, kita patut mempertanyakan kesungguhannya.
Kemalasan dalam pelayanan peminjaman buku selalu memiliki alasan. Dan itu sebagai bukti para fasilitator/guru kurang punya empati.
Saya bilang ini soal empati karena masalah memasok bacaan juga menjadi bagian penting dari proses pemberadaban hidup manusia.
Orang yang tidak tahu manfaat bacaan adalah orang bodoh (golongan jahiliyyah), dan yang tidak peduli bacaan, sekalipun dia sarjana, tetaplah masuk golongan tuna literasi.
Terdapat banyak penelitian, terjadinya kemiskinan yang menurun ke anak-anak juga disebabkan oleh rendahnya literasi (pendidikan).
Dan banyak kisah tentang keberhasilan orang meraih hidup yang lebih sejahtera karena seringnya membaca bacaan yang tepat untuk memperbaiki pola pikir orang.
Kemiskinan dan kebodohan bukanlah dikotomi sehingga kita harus sibuk menjawab apakah orang bodoh lalu miskin, atau sebaliknya.
Yang sungguh terjadi bahwa keduanya adalah masalah spektrum yang garis batas sebab dan akibatnya tidak jelas.
Oleh karena itu, memberantas kebodohan adalah langkah penting karena hanya dengan ilmu yang relevan dengan kehidupan seseorang itulah kehidupan akan bisa menjadi lebih baik.
Di sinilah literasi kemudian dianggap cara yang paling mujarab untuk memperbaiki keadaan hidup seseorang.
Dan yang paling mendasar dari sengkarut kebodohan adalah disebabkan oleh faktor yang jelas, yakni ketiadaan buku bacaan bagi anak-anak.
Banyak anak yang jika diajak membaca mereka mau melakukan, bahkan di luar dugaan.
Jika kegiatan literasi hanya dibatasi beberapa jam (tanpa peminjaman buku) jelas itu sangat membatasi potensi anak untuk berkembang.
Sementara jika disertai peminjaman buku, anak-anak akan bisa terus berliterasi di luar pertemuan dengan fasilitator.
Benar bahwa berliterasi tidak sekadar meminjamkan buku karena harus menyertakan pendampingan. Tetapi sungguh lucu jika ada pendampingan, sang pendamping itu tidak melakukan pendampingan dalam urusan membaca.
Jadi perlu diperjelas, bahwa jika ada seorang pegiat literasi mengabaikan peminjaman buku, dan tidak mengusahakan agar anak-anak gemar membaca, jelas itu perilaku tidak berempati, kurang bertanggungjawab pada kemanusiaan dan karena itu juga setara untuk disebut orang yang kurang beradab.
Jika kegiatan belajar hanya direduksi sebagai kegiatan menulis, menggambar dan menyanyi, lalu apa bedanya dengan praktik pembelajaran di sekolah biasa?
Bukankah anak-anak desa di Indonesia itu terpuruk dalam pendidikan karena model pembelajaran di sekolah jauh dari spirit berliterasi secara tepat?
Ingat. Orang Indonesia termasuk rendah literasi di dunia karena tidak punya kesempatan membaca.
Masa anak-anak saat masih sekolah yang semestinya digunakan untuk berliterasi secara komprehensif tidak dijalankan. Akibatnya banyak generasi di Indonesia rendah mutu hidupnya.
Selama tujuh Odesa Indonesia bergiat dalam literasi telah memiliki berhasil membuktikan bahwa terdapat banyak anak yang suka membaca.
Bahkan yang tidak suka membaca pun sekarang berubah gemar membaca karena terus dikondisikan untuk dekat dengan buku.
Jika tradisi yang baik ini tidak diteruskan, malah dilemahkan dengan kemalasan-kemalasan para fasilitator, bisa jadi gerakan literasi yang esensial pudar dan kegiatan literasi Sekolah Samin tak ubahnya seperti praktik keliru di banyak lembaga pendidikan konvensional. Jauh dari mutu, tak punya tujuan hakiki dan tak berhasil menunjukkan panen kepada masyarakat.
Satu buku dalam satu pekan adalah minimal. Tidak memberatkan. Jika dilaksanakan secara konsisten selama satu tahun, maka seorang anak akan membaca 48 judul buku.
Jika ini dilakukan secara konsisten, dipastikan anak-anak akan tumbuh berkembang lebih baik, maksudnya lebih bermutu dari yang tidak melakukan.
Bahkan kelak anak-anak desa ini akan memiliki pemikiran yang lebih bermutu dari para relawan yang sampai usia 25 tahun juga belum tentu tamat membaca 48 buku.
Kita harus yakin, bahwa terwujudnya kemanusiaan dan peradaban berlandaskan dari praktik literasi yang tepat.
Pilar peradaban itu sendiri ada empat dan literasi merupakan sumber kekuatan terpenting bagi syarat tercapainya peradaban. Baca lebih lanjut sains ilmiah sejarahnya di sini Empat Pilar Peradaban
Bagaimana literasi yang baik itu mesti dijalankan?
Karena literasi tidak sekadar praktik belajar, juga bukan sekadar membaca, tak juga cukup hanya sebatas urusan tulis-menulis, maka penting kita memiliki definisi yang memuat nilai esensial secara deskriptif.
Tahun 2014 silam saya berdiskusi dengan Penulis Remy Sylado (alm). Saat itu kami sedang mengedit buku sejarah kesusastraan. Dari situ ada momen penting di mana kami harus menemukan formulasi tentang hakikat literasi.
Remy menjelaskan inti dari literasi, sebagai kegiatan keilmuan yang semestinya “bukan sekadar untuk membebaskan manusia dari buta huruf.”
Ia katakan, “setelah bebas buta huruf harus bisa bebas menyatakan pendapat dan melaksanakan apa yang dibaca.”
Atas pemikiran itu saya bilang, kalau begitu maksudnya harus dibuat kalimat yang enak didengar karena di dalam pengertian Pak Remy itu ada tiga hal meliputi tindakan, tujuan dan target.
Ia pun bertanya kepada saya, “bagaimana susunannya?”. Saya pun membuat skema lebih sloganik dengan dengan kalimat, literasi adalah, “memahami yang dibaca”, “mengamalkan yang dipahami” dan “menuliskan yang diamalkan”.
Mendengar itu Remy setuju. Di dalam tiga unsur literasi itu terdapat argumentasi sebagai berikut:
1) Membaca bukan tujuan, melainkan sarana untuk memahami ilmu. Jika tidak paham, ia hanya akan berhenti menjadi pembaca tetapi tak akan kunjung tercerahkan.
2) Pembacaan yang dipahami juga jangan sebatas berhenti paham, melainkan harus mengarah pada usaha perubahan pola pikir (mindset) dan sekaligus perubahan perilaku.
Argumentasi ini didasarkan pada dua unsur, yaitu praktik dan wacana harus laras, alias seimbang. Kita harus yakin, bahwa ilmu yang sejati itu bukan sekadar tahu, melainkan juga teramalkan.
Ilmu tanpa amal bisa menjadikan seseorang pintar tapi sering tiada guna (karena tidak disertai keberanian eksperimen/praktik). Kita butuh generasi yang selain pintar juga punya keberanian.
Sedangkan amal tanpa ilmu akan mengondisikan aktivitas seseorang tak ubahnya hewan menjalankan aktivitasnya secara naluriah.
3) Literasi, selain harus menghasilkan paham dan mewujud dalam praktik, mesti juga menjadi bagian dari peningkatan mutu hidup seseorang dengan kemampuan menulis.
Dengan tiga rumus membaca, praktik dan menuliskan, maka di situlah usaha pencerahan (atau pendewasaan) akal budi seseorang bisa benar-benar mencapai kualitas.
Lebih dari itu, ketika kemampuan menulis terus dilakukan, produksi ilmu pun akan tumbuh berkembang. []
Sekolah Samin: Gerakan Mahasiswa Bandung Membangun Literasi Anak Miskin Desa
Ana Farida dan Literasi Mengatasi Problem Anak
Video di TVOne Tentang Literasi Sekolah Samin Odesa