Beragama Secara Ekologis
Oleh Faiz Manshur
Ketua Odesa Indonesia
“Bagaimana agama mengambil peran ekologi?” Pertanyaan ini muncul dari salahsatu aktivis mahasiswa yang berkegiatan di Odesa Indonesia.
Sebelum menjawabnya, saya mengklarifikasi terlebih dahulu; apakah kata agama itu bersifat tekstual, yaitu ajaran agama dari teks-teks kitabiah, atau ditujukan pada para pemeluknya agar mengambil peran ekologi?
Ketika saya tanyakan itu, mahasiswa itu menjawab kedua-duanya. Kalau demikian, maka kita butuh pembahasan lebih luas karena jumlah agama sendiri sangat banyak, dan harus menyertakan teks-teks kitabiah dari setiap ajaran agama masing-masing.
Beragama Secara Ekologis: Pahami Perbedaan Agama dan Sains
Terminologi ekologi itu sendiri muncul jauh dari adanya agama-agama dunia. Pencetusnya adalah ahli biologi dari Jerman, Ernst Haeckel (1866). Terminologi ekologi berbicara tentang oikos (rumah/ruang lingkup), dan logos (ilmu pengetahuan).
Gabungan dua suku kata ini secara normatif berbicara tentang hubungan timbal-balik antar organisme dengan lingkungan sekitarnya. Spirit ekologi adalah merawat isi ekologi, yakni ekosistem agar semua makhluk hidup bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Dengan mendudukkan ekologi sebagai sains, kita pun harus memahami bahwa agama dan sains pada dasarnya sesuatu yang berbeda, kadang berdiri secara diametral, tetapi sering menemukan titik-temu.
Bisakah agama dan ilmu ekologi itu bertemu? Jawabnya bisa. Asalkan dasar usaha untuk menafsir agama memang tujuannya untuk kepentingan ekologis. Tetapi lain urusan jika seseorang niatnya memang ingin mempertentangkan agama dengan ekologi. Bisa jadi sesuatu yang berbeda akan dipertentangkan lebih tajam, bahkan yang sama pun akan dicarikan celah untuk dibedakan.
Guru Ngaji Menjadi Penggerak Perbaikan Ekologi
Berpikir ekologis dari sudut pandang agama tidak sulit. Ada banyak teks-teks kitabiah yang mendukungnya. Tentu berekologi dalam ruang keagamaan tidak bisa secara saklek tekstual -karena sekali lagi ajaran agama itu temanya luas dan tidak secara khusus merupakan konun/ rumus-rumus baku. Ayat-ayat keagamaan harus dilihat sebagai nilai dan kita dituntut untuk menafsirkannya secara kontekstual.
Harus diakui dalam menjalankan keagamaan, kebanyakan orang lebih dominan urusan ritual. Kalau pun beragama dalam urusan muamalah (interaksi sosial) biasanya kita hanya untuk urusan politik, itu pun bukan politik kebijakan, melainkan sebatas dukung-mendukung pasangan pemilu.
Sisi sosial dalam keagamaan kita masih lemah, bahkan dalam urusan yang masih sebatas homosentris (kemanusiaan). Apalagi jika dikaitkan dengan urusan ekologi yang mesti harus konsisten menegakkan praktik ekosentris. Masih jauh panggang dari api.
Banyak pengkhotbah ajaran agama sebatas bicara kebaikan untuk manusia, belum berbicara tentang pentingnya berbuat baik kepada tanaman dan satwa. Padahal syarat untuk menegakkan praktik ekologi ialah berempati atau membawa rahmat pada sekalian alam (ekosentris). Sementara apa yang dilakukan oleh pemeluk agama, terutama praktik politik, masih sebatas urusan kepentingan manusia (homo sentris/antroposentris).
Jalan Baru Beragama Secara Ekologis
Beragama yang ekologis bisa diwujudkan dengan cara mengubah cara pandang dari urusan sekadar merahmati manusia ke arah merahmati ekosistem. Selanjutnya kita bisa mengkaji ayat-ayat kitabiah yang berbicara tentang hubungan manusia dengan pepohonan, hewan, air, udara, bebatuan, isi perut bumi dan tata galaksi.
Pada agama Islam, hal ini akan lebih menarik lagi kalau kita kaitkan dengan pemikiran sufisme. Misalnya kalau kita mengkaji kitab Al-Hikam Karya Ibnu Atha’ilah atau mengkaji pemikiran Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Di sana banyak sekali muatan-muatan pemikiran yang bisa dikontekstualisasikan agar manusia tidak merusak lingkungan, menjaga keseimbangan hidup, lebih banyak bersyukur dan tentu lebih mudah meraih bahagia. []
Melibatkan Petani Memperkuat Pangan Bergizi dan Memperbaiki Ekologi
Ekologi Politik; Sebuah Esai dari Faiz Manshur
4 Landasan Strategi Kebudayaan Odesa Indonesia dengan Tanaman Pangan Pertanian