Ayo Menjadi Volunteer Pendidikan Literasi Sekolah Samin Odesa
Yayasan Odesa Indonesia kembali membuka lowongan untuk kegiatan Volunteer pendidikan informal di desa-desa perbukitan Kawasan Bandung Utara.
Kegiatan pendidikan informal di bawah klub Literasi Sekolah Sabtu-Minggu (Samin) yang telah berjalan sejak 2016 itu selama ini baru bisa melayani kegiatan belajar di 12 Kampung. Menurut Syifa, koordinator Volunteer Sekolah Samin, ada 8 permintaan baru dari masyarakat di kampung yang berbeda yang perlu dipenuhi.
“Kami membutuhkan relawan lebih banyak lagi agar pelayanan pendidikan Sekolah Samin ini bisa lebih luas,” kata Syifa seusai rapat awal tahun di Yayasan Odesa Indonesia, Sekebalingbing Desa Cikadut, Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, 15 Januari 2023.
Selama ini Syifa bersama 17 teman lainnya konsisten menggelar literasi di berbagai kampung dengan tujuan untuk memajukan pendidikan anak-anak desa. Sistem pendidikannya informal dengan muatan empati dan ekolologi.
Di setiap kampung itu menurut Syifa, rata-rata terdapat 20 anak yang ikut belajar dan membutuhkan dua hingga tiga relawan.
Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak buruh tani yang terbelakang pendidikan karena masalah ekonomi atau keterbelakangan budaya. Bahkan sebagian dari keluarga fakir-miskin yang membutuhkan pendampingan secara khusus agar bisa rutin belajar.
“Kami mengundang para mahasiswa dan aktivis yang tertarik menjadi volunteer. Kegiatannya setiap hari sabtu atau minggu, atau bisa pada hari sabtu dan minggu.
Karena kurikulum pendidikannya memuat nilai-nilai kemanusiaan dan ekologi, setiap relawan kita wajibkan bertemu bersama untuk belajar tentang dua ilmu ini di hari minggu setelah mengajar pada jam 12.00 hingga jam 14.00,” papar Syifa.
Bagi yang ingin menjadi relawan Pendidikan di Sekolah Samin bisa hubungi Admin: 082117204059
Tentang Sekolah Samin Program Sekolah Samin
Selain komitmen di atas, Syifa menyampaikan syarat khusus menjadi Volunteer Sekolah Samin, yaitu memiliki motor sendiri karena lokasi mengajarnya tidak ada transportasi publik.
Syifa mengajak para mahasiswa baik yang masih kuliah S1 atau S2 atau yang sudah alumni sekalipun bisa menjadi Volunteer dengan catatan bersungguh-sungguh untuk melayani anak-anak desa sekaligus belajar.
bandung utara“Jika tidak bisa menjadi volunteer tetap, Sekolah Samin Odesa juga membuka kerjasama menjadi volunteer yang sifatnya even, alias sekali kegiatan.
Bentuk programnya adalah kegiatan komunitas dari dengan praktik mengajar 12 lokasi Sekolah Samin. Biasanya kegiatan ini sekaligus dengan amal sosial,” kata Syifa.
Menurut Syifa, menjadi relawan di Odesa itu tujuannya ada dua, belajar dan mengajar. Selain mengajar kita bisa juga tempat belajar memahami masyarakat desa, juga bisa belajar tentang pertanian agroekologi, herbal, jurnalistik, leadership, keorganisasian dan lain sebagainya.
“Kalau menjadi aktivis di Odesa itu kita akan punya banyak jaringan. Tentu dengan catatan jangan hanya aktif saat mengajar, melainkan harus mengalokasikan waktu untuk kegiatan lain seperti pertanian dan pelatihan.
Kita bisa berjejaring dengan berbagaipihak seperti wartawan, peneliti, dosen, politisi, aktivis LSM dan selain sebagainya,” terang Syifa. []
Oleh Faiz Manshur. Ketua Odesa Indonesia.
Di Yayasan Odesa Indonesia, ada kelompok sukarelawan yang mengabdikan diri untuk mengajar anak-anak desa di perbukitan Kawasan Bandung Utara.
Mereka berstatus mahasiswa S-1 dan S-2 yang mendedikasikan dirinya untuk melayani anak-anak desa kegiatan literasi. Karena aktivitasnya dilakukan hari Sabtu dan Minggu, kegiatannya disebut Sekolah Samin.
Sebagian besar mereka berasal dari kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sebagian ada yang dari UNPAD, UNPAS, UNISBA, UPI, ITENAS, UNINUS dan ITB. Setiap hari sabtu dan hari minggu, rata-rata terdapat 15 mahasiswa yang bergiat di 12 kampung, di dua desa, Mekarmanik dan Cikadut di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.
Desain pembelajarannya bersifat humanisme-inklusif sekaligus ekologis. Niat dari mahasiswa itu adalah mencari ilmu dengan praktik mengajar, belajar berorganisasi, berkegiatan bersama warga, dan belajar jurnalistik.
Lebih jauh lagi saya terus mendorong agar mereka belajar kepemimpinan melalui semangat empati untuk manusia dan lingkungan.
Mereka menjadi sukarelawan, artinya bergerak atas dasar kesadaran, bukan karena tuntutan formal kuliah atau karena motif materi. Setiap praktik pembelajaran berkait dengan etos, etika, memuliakan alam, dan sadar iklim beserta perubahannya.
Berada di desa yang lekat dengan kehidupan petani -praktik pembelajarannya terhubung dengan masalah pangan -karena Odesa Indonesia mengambil gerakan memperkaya gizi dan mencegah erosi.
Mereka pun kemudian mengenal jenis-jenis pangan yang sehat dan bergizi dari hasil pertanian. Sumber pangan penting seperti kelor, hanjeli, talas, dan anekaragam tanaman buah bisa dipahami secara baik karena lingkungan desa mendukung untuk praktik itu.
Ada dua alasan mengapa Odesa Indonesia menggelar kegiatan ini. Pertama, karena terdapat fakta objektif ketertinggalan pendidikan. Selain keadaan sekolah formal yang terbelakang, orang tua di sana banyak yang acuh pendidikan anaknya. Perkawinan usia anak remaja (15 hingga 17 tahun) masih terjadi.
Putus sekolah kelas 2 SMP cukup dominan. Bahkan tidak lulus Sekolah Dasar masih sering kami temukan. Problem lemah gizi, termasuk stunting juga mewarnai kehidupan di sana. Tak kalah merisaukan ialah kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang berkait saling merusak kualitas hidup.
Alasan kedua, mahasiswa butuh ruang untuk belajar dengan langsung menyatu pada realitas hidup masyarakat. Kita tahu, pendidikan formal di kampus-kampus sampai saat ini tergolong belum bagus, apalagi jika dikaitkan dengan praktik di lapangan.
Selain itu juga ada kenyataan bahwa organisasi-organisasi di kampus masih lemah dalam usaha memberikan kesempatan kepada para aktivis untuk berproses menjadi pemimpin.
Bagi kami para pengurus Odesa, menggerakkan anak-anak muda usia 20 hingga 27 tahun adalah langkah strategis dalam usaha memajukan mahasiswa sekaligus memajukan warga desa. Melalui praktik ini, mereka bisa bisa membangun diri di tengah kolektivitas seusia sekaligus bisa “belajar” dari keadaan masyarakat dengan dua problem mendasar, yakni lemah gizi dan rendah literasi.
Dunia semakin cepat berubah, bukan semata perubahan teknologi, melainkan perubahan iklim. Kaum muda mesti mengambil peran dalam literasi yang empatik sekaligus etnografis karena kemajuan desa tak cukup hanya maju infrastrukturnya.
Lagi pula kekuatan peradaban selalu ditegakkan di atas empat pilar; pangan, ternak/satwa, literasi dan teknologi. Empat hal ini potensinya ada di desa dan kita bisa menjalankannya secara bersama dan seimbang. []