Aktualisasi dan Transformasi dalam Odesa Indonesia
Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Aktualisasi dan transformasi kelas menengah membutuhkan organisasi yang tepat untuk menciptakan dampak bagi perubahan sosial.
Juli 2021 lalu, saya berkomunikasi dengan Vivian Idris, Direktur Biru Terong Initiatif yang juga Direktur Program AKATARA Indonesia Film Business Forum and Market.
Kami bicara tentang gerakan lokal, dokumentasi, dan kemudian membicarakan niat Ibu Vivian untuk mendokumentasikan kegiatan Yayasan Odesa Indonesia.
Ibu Vivian bilang, sudah lama ingin berjalin dengan Odesa karena tertarik dengan serangkaian kegiatan Odesa yang ia simak dari website test.odesa.id , tetapi baru memungkinkan mengalokasikan waktunya pertengahan September 2021.
Lantas mewujudkan ketertarikannya itu untuk urusan dokumentasi dengan niatan berkontribusi atas apa yang ia mampu, yakni membuat video dokumentasi tentang Odesa.
Niat Vivian baik, dan saya tak perlu menolaknya karena urusannya bukan lagi pada Odesa, melainkan urusan ilmu pengetahuan yang kepentingannya untuk banyak orang.
Hanya saja, saya perlu menyampaikan sisi kelemahan Odesa jika berkolaborasi karena pada dasarnya Odesa ini organisasi yang fokusnya pada pelayanan masyarakat.
Artinya, seluruh energi, waktu dan biaya yang kita miliki selalu diarahkan untuk pelayanan. Mungkin untuk urusan energi dan waktu mudah direka-reka agar berjalan. Namun untuk urusan finansial, barangkali Odesa belum tentu mampu. Vivian tidak tertarik bicara soal itu. Selagi mampu ia akan lakukan dengan apa yang ia bisa.
Niatnya tulus berpijak pada hasrat sosial. Hasratnya tumbuh karena karena apa yang diambil dalam gerakan Odesa adalah isu penting dunia dan kemanusiaan, yaitu perubahan iklim, pangan dan satu hal lagi, yakni pemberdayaan yang sejak 2016 dilakukan oleh Odesa.
Kita pun mulai melakukan kerja itu secara perlahan. Tak ada MOU, tak ada target penyelesaian secara khusus.
Buat saya ini cara baik, dalam artian serangkaian kerja itu dijalani dengan keseriusan tetapi tidak menganggu kewajiban tugas utama di luar Odesa.
Film dan Pertanian. Apa Hubungannya? Vivian Idris Menjelaskan
Hal yang membuat saya tertarik dengan Vivian karena ia seorang filmmaker punya visi serta kesediaan bekerja secara sungguh-sungguh.
Karena saya mengenal pemikiran-pemikirannya yang sangat maju dalam urusan kegiatan sipil, saya pun minta kesediaannya agar setiapkali ke Odesa “membantu pendidikan” bagi relawan dan petani.
Caranya mudah. Setiap ada waktu berinteraksi dengan siapa saja dan memberikan pandangan-pandangan lain yang baik yang bisa memperkuat misi gerakan Odesa.
Gagasan Vivian Idris Tentang Film, Manusia dan Alam
Ia pun senang menerima permintaan saya. Lalu, Vivian pun selalu punya waktu untuk mengalokasikan kegiatan yang bermanfaat seperti menjadi fasilitor training video untuk relawan, berkontribusi pengetahuan tentang dunia perfilman, wawasan gerakan lokal dari berbagai daerah, dan seterusnya.
Keterlibatannya di Odesa banyak memberi pengetahuan kepada para relawan, termasuk para petani.
Ferry dengan Musik Literasinya
Bulan Maret 2022 ini datang seorang musisi kondang, namanya Ferry Curtis. Dia dikenal sebagai musisi yang getol menggerakkan literasi. Sama seperti Vivian, ia tahu Odesa cukup lama, tetapi baru ketemu waktu yang pas dan langsung menyatu dengan Odesa dengan apa yang ia miliki.
Niatan Ferry ini saya anggap serius, karena ia menyempatkan –sama seperti Vivian- mengajak bicara saya panjang lebar dan mendalam tentang gerakan sosial. Bukan sekadar ayo kita berbuat baik.
Kita pun bicara terbuka tentang apa “yang ada” dan “yang belum ada” di Odesa. Dan saya selalu bilang kepada calon kontributor kegiatan, agar lebih fokus memberi manfaat pada masyarakat, bukan berhenti pada urusan organisasi Odesa. Sebab Odesa ini hanya perantara untuk mempertemukan kebaikan kelas menengah yang ingin menyalurkan empatinya kepada masyarakat lapisan bawah.
Sejauh orientasi berkegiatan di Odesa adalah membawa spirit pelayanan untuk kaum marjinal, di situlah kita akan ketemu. Saya pun selalu menceritakan kepada siapa saja tentang ruang kosong yang mestinya diisi manakala ingin berkontribusi untuk masyarakat melalui Odesa.
Masih banyak ruang kosong yang bisa diambil karena urusan Odesa di masyarakat ini luas sekali yang dibundel dalam tiga tema garapan atas problematika yaitu ekologi, literasi dan sanitasi.
Kita tahu, jika diurai satu persatu dari tiga problem tersebut akan sangat luas. Bahkan dalam satu isu yaitu pendidikan rakyat miskin pun urusannya bisa berjubel yang membutuhkan peran banyak orang.
Kang Ferry, begitu juga dengan Pak Poedji Irawan yang mengajaknya konkret berkegiatan di Odesa, melihat celah yang mungkin untuk berkegiatan dengan target yang berkelanjutan.
Keberlanjutan menjadi kata kunci yang penting dalam “gerakan sosial” yang sesungguhnya. Inilah yang membedakan dengan “kebaktian sosial” yang sering dilakukan sebatas menyalurkan bantuan materi, bukan waktu dan energi.
Ferry Curtis dan Kegiatan Literasi di Desa
Baik Vivian maupun Ferry menginginkan kontribusi itu bukan soal besar atau kecilnya, melainkan keberlanjutan serta mempertimbangkan asas manfaat yang strategis.
Itu artinya kita sedang berbicara hal-hal yang elementer dari sebuah pakem gerakan jangka panjang dan yang itu membutuhkan intensitas melalui tindakan-tindakan nyata di waktu sekarang.
Karena tema “keberlanjutan” menjadi pembicaraan yang esensial, saya pun serius memikirkan hal itu. Kita tahu, banyak gerakan sosial tumbang karena ketidakmampuan (kepemimpinan) organisasi mengambil tiga elemen (waktu, materi dan energi).
Banyak orang berbuat baik hanya sebatas mampu berbakti sosial dengan melempar koin kepada si miskin karena ia hanya punya uang tetapi tidak punya waktu (waktu yang dialokasikan maksudnya).
Punya uang tak punya waktu derajatnya hanya akan menjadi pegiat derma (pelempar materi). Derma tetap baik sebagaimana Odesa pun tetap melakukannya.
Tetapi berhenti pada membagikan materi jelas bukan gerakan sosial karena prinsip gerakan sosial mesti berhasil mewujudkan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Dalam gerakan sosial, saya memandang waktu, energi dan uang itu satu paket yang satu sama lain, yang ketiganya bernilai seimbang; saling membutuhkan satu sama lain.
Selain itu menurut saya, karena tujuan gerakan adalah memberikan dampak pengetahuan, maka harus juga memiliki paradigma desain dalam konteks sains sosial. Itulah mengapa kami juga mempertimbangkan lima kaidah dari “desain thinking” yakni empathize, define, ideate, prototype, test.
Bahkan lebih jauh lagi watak transformatif dari gerakan sosial itu juga harus menyertakan pengetahuan-pengetahuan baru dari lapangan.
Kita tidak bisa hanya menerapkan ilmu yang sudah ada, melainkan harus rajin menggali pengetahuan baru dari lapangan. Karena itulah mengapa Odesa menganut mazhab etnografisme dalam setiap kegiatan.
Vivian dengan dokumentasinya. Bermain dengan teknologi audiovisual, artinya tools. Ferry Curtis dengan musiknya, sama juga itu sarana, bukan tujuan. Vivian dan Ferry sadar bahwa tools dan dirinya (subjek) harus bergerak bersama untuk tujuan tertentu guna menciptakan hal-hal yang baru (inovasi).
Odesa merupakan “kapal” untuk menahkodai tujuan tertentu, yakni menciptakan sebuah model perubahan sosial yang kelak nantinya bisa bermanfaat bukan hanya untuk masyarakat lokal Cimenyan melainkan bisa dijadikan sumber inspirasi atau duplikasi di daerah lain pada orang-orang yang berniat melakukan tujuan perubahan sosial.
Saya merasa perlu menulis dua sosok di atas karena beberapa alasan penting dan ini sebagai cara kami berbagi pengetahuan dalam urusan transformasi sosial.
Tetapi perlu diingat juga bahwa sosok Vivian dan Ferry ini saya tulis hanya sebagai sampel dari sosok-sosok lain yang sebelumnya sudah menyatu di atau dengan Odesa.
Barangkali juga nanti saya akan menulis peran dr. Tan Shot Yen (ahli gizi komunitas), Dr. Poppy Ismalina, KH. Maman Imanulhaq sekeluarga yang mengambil peran intensif memberi kontribusi tetapi dengan cara yang lain.
Apa yang penting dari uraian di atas?
Bahwa seseorang yang menginginkan perubahan sosial (bukan lagi target individualistis seperti kenaikan karir, pendapatan finansial atau tujuan pribadi lainnya) selalu membutuhkan sarana (komunitas/organisasi) yang tepat untuk aktualisasi (Self-Actualization-Needs).
Saya menggunakan kata aktualisasi (walaupun mungkin tidak seratus persen tepat dua sosok di atas) tetapi bermakna bermakna positif.
Artinya, dengan hasrat sosial yang ambil itu membuktikan bahwa sosok seperti Vivian Idris atau Ferry Curtis telah mampu melampaui tujuan-tujuan dari sekadar pemenuhan hasrat manusia yang di bawahnya, yaitu Esteem Needs (kebutuhan atas penghargaan), Social Needs (kebutuhan memiliki cinta-kasih), Safety Needs (kebutuhan rasa aman), Physiological Needs (kebutuhan tubuh).
Aktualisasi sosial pada sosok Vivian atau Ferry Curtis itu serupa dengan hasrat para pendiri Odesa Indonesia, yaitu meng-aktualisasi-kan “kehendak bebas” sebagai manusia dari piramida paling atas dari Maslowian tersebut.
Artinya apa? Ini adalah model aktualisasi golongan kelas menengah yang pada level kualitatif sudah di puncak piramida maslowian. Karena sadar bahwa hasrat level aktualisasi ini tidak bisa bekerja sendirian, maka yang perlu dilakukan adalah menemukan ruang (organisasi) yang tepat untuk aktualisasi.
Dengan mengambil peran kebersamaan dalam organisasi yang sudah berjalan seperti Odesa, itu artinya mereka memiliki sikap rendah hati karena tujuannya adalah memberi manfaat yang lebih luas, bukan eksistensi sempit.
Demikian juga sebaliknya dari Yayasan Odesa, selalu membuka ruang untuk jalinan relasional pada konteks aktualisasi yang didalamnya memuat sprit “altruisme” kewargaan.
Hal ini penting dicatat mengingat banyak individu dari kelas menengah kita yang sudah berada di level tinggi (self-actualization-needs), tetapi tidak menemukan jalan keluar dalam pengembangan praksis sosialnya.
Akibatnya, banyak kemampuan diri yang mubazir. Sementara di tengah-tengah masyarakat kita banyak yang membutuhkan peran sosial mereka, terutama pada tiga urusan mendasar Indonesia, yakni keterbelakangan pendidikan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
Vivian Idris memandang, niat dalam gerakan sosial itu lebih utama untuk dijadikan ladasan dalam menilai sebuah tujuan organisasi.
Tetapi tentu saja niat yang dimaksud Vivian itu harus dibuktikan dengan kerja nyata yang telah menunjukkan hasil, bukan niat dalam pengertian angan-angan.
Vivian punya pengalaman banyak tentang gerakan sosial, punya kemampuan kerja dokumentasi, dan punya keinginan memperbaiki masalah pangan dengan edukasi di masyarakat. Odesa memberi ruang itu, dan Vivian berbaik hati mengambilnya.
Ferry Curtis menilai, bahwa kegiatan di manapun itu baik, tetapi membutuhkan satu locus permanen karena di situlah bisa dilakukan dengan cara efektif.
Berada di Bandung yang masyarakatnya punya ragam problem memprihatinkan buat Ferry adalah kesempatan untuk berbuat baik.
Ferry punya kemampuan (bermusik) luar biasa dalam musik, bisa menyempatkan waktunya, dan masih punya energi untuk aktualisasi yang lebih luas.
Odesa memberi kesempatan itu, dan Ferry memanfaatkannya. Itu sikap bijaksana.[]
Gerakan Odesa, Remy Sylado, dr Tan Shot Yen, Vivian, Ulil Abshar Abdalla
Komentar ditutup.