Ferry Curtis, Musik Bertutur dan Odesa Indonesia

Oleh: HERRY DIM. 
Budayawan/Pengurus Odesa

Ferry Curtis, musisi penggerak literasi itu bergiat untuk anak-anak sekolah samin Odesa.

SUATU ketika pada “Hari Musik Balada” munggaran yang diselenggarakan Komunitas Balada Bandung di kampus Seni Musik Unpas pada 2011, saya didaulat untuk bicara. Sama sekali tanpa persiapan maka saya bicara ‘sakacemplung’nya.

Sejauh ingatan yang kian melemah, kira-kira sbb:

Saya lebih suka menyebutnya musik bertutur, tapi tak apa, tak usah berdebat jika lebih suka dengan sebutan musik balada. Yang terpenting adalah inti dari yang hendak saya sampaikan pada kesempatan ‘dabrul’ ini, bahwa musik bertutur takayal merupakan “benteng terakhir” dari musik tekstual di pelataran musik kita.

Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa bagi penganut musik murni adalah keyakinan bahwa musik adalah musik dan teks adalah teks. Itu, antara lain, untuk mengatakan bahwa sejatinya tak ada hubungan antara musik dan teks. Kekuatan musik itu berada pada musikalitasnya itu sendiri, bahkan (demikian menurut para penganut musik murni) sejatinya bahasa musik itu melampaui bahasa tekstual.

Demikianlah adanya. Sebagai contoh, saya atau barangkali kita yang tak berbahasa Jerman, tentu tak akan bisa menangkap lengkap keagungan Badai dan Tegangan (Sturm und Drang) sekaligus ‘tentang kebahagiaan’ seperti yang dijudulkan Friedrich Schiller dalam puisi “Ode an die Freude.”

Ferry Curtis bersama anak sekolah samin odesa
Ferry Curtis bersama anak sekolah samin odesa

Tapi, itu sama sekali lain manakala kita berkenan membuka diri dalam arti mau mendengarkan hasil adaptasi Ludwig van Beethoven atas puisi tersebut dalam komposisi musik dengan judul yang sama untuk Simfoni Ke-9nya.

Tapi, bagaimanapun, adalah tradisi lain di luar jalur musik murni yaitu tradisi yang begitu ketat menghubungkan musik dengan kata-kata atau sebaliknya dari teks ke musik, salasatunya tradisi para troubador. Diduga bermula dari tradisi musik Arab yang semula berupa cara menyanyikan puisi-puisi dengan iringan Lute, Gambus, Biola/Rebab, Qitara, kemudian bertebar ke Spanyol, Italia, hingga Prancis.

Troubadour sendiri berasal dari bahasa Ositan, artinya penghibur yang menggubah dan menyanyikan puisi lirik dalam bahasa Occitan Kuno selama abad pertengahan (1100–1350).

Musik bertutur atau balada, hemat saya, adalah bagian atau kelanjutan dari tradisi Troubadour, yaitu musik naratif, berpijak pada puisi, sering digunakan oleh penyair dan komponis dari abad ke-18 untuk menghasilkan balada liris.

Intinya, musik bertutur, merupakan musik yang menghormati puisi dan/atau tidak sekadar berkata-kata. Di kemudian hari, tradisi ini dipungut oleh kebudayaan populer, lambat-laun kekuatan puitikanya menurun bahkan berantakan, ‘kata’ diperlakukan dalam kesemena-menaan. Dalam hal inilah saya mengatakan bahwa musik bertutur merupakan “benteng terakhir” dari musik tekstual di pelataran musik kita.

Keberpihakan pada Jelata

Yang menarik dari tradisi troubador ataupun musik bertutur adalah keberpihakannya kepada kehidupan jelata. Meski di atas dikatakan erat kaitannya dengan puisi, tapi yang mereka sentuh bukanlah puisi-puisi adiluhung semisal puisi epik “Illiad dan Odyssey,” melainkan puisi keseharian yang tumbuh di sekeliling pelaku troubador ataupun pemusik bertuturnya itu sendiri. Perlu pula diingat, musik bertutur itu pada mulanya dibawakan oleh para pengamen, maka kisah-kisah kehidupan seputar mereka pula yang kemudian diungkapkan ke dalam teks dan musiknya.

Orientasi pada kehidupan ‘bawah,’ jelata, atau khalayak antara lain berjejak pada pemusik-pemusik seperti Bob Dylan, Joan Baez, Melanie Safka, dll. Di pelataran musik kita sendiri kiranya adalah Dede Harris yang sangat memengaruhi Iwan Fals, Franky Hubert Sahilatua, hingga Mukti-Mukti yang egitu kuat dan setia pada jalur hidup rakyat. Lantas pada ‘réngréngan’ ini diantaranya adalah Ferry Curtis.

Ferry Curtis atau nama lengkapnya adalah R. Ferry A. Anggawijaya, studi formalnya yang ia tempuh yaitu di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Budaya Indonesia Bandung) jurusan Teater, lulus pada tahun 1994. Sejak kuliah, disposisinya tak lain adalah musik, tak heran jika keterlibatannya di panggung teater itu sebagai pemusik, tak kurang dari 14 pertunjukan teater yang pernah ia ikuti dengan posisi sebagai penata musik. Sejak masa kuliah pula ia begitu mengagumi dan menyintai puisi-puisi Saini KM yang sekaligus menjadi gurunya.

Belakangan ia karib dan mendalami juga puisi-puisi karya Juniarso Ridwan, Nenden Lilis Aisyah, Acep Zam-Zam Noor, Soni Farid Maulana, Diro Aritonang, Moh. Sunjaya, Budi Sabarudin, Deddy Koral, Kyai Matdon, Soerya Disastra (Ru Liang Bu), Etti Rs, Rachmat M. Sas Karana, Godi Suwarna, Acep Iwan Saidi, Joko Pinurbo, Ajip Rosidi, dll.

Atas apresiasinya pada sastra (puisi), di kemudian hari ia menulis sendiri syair-syair untuk karya musiknya, antara lain adalah “Sahabat Cahaya” dan “Jangan Berhenti Membaca.”

Beberapa pekan terakhir ini, saya yang sudah lama absen hadir di Odesa Indonesia (OI) karena berbagai hal, tiba-tiba melihat di FB bahwa Ferry Curtis muncul/hadir di tengah kawan-kawan Odesa bersama para petani, anak-anak Cimenyan, dan anak-anak SaMin (Sekolah Sabtu-Minggu). Dalam hati saya berkata: “nah, kiranya Ferry menemukan kolamnya yang di Bandung.”

Kisah Hidup Ferry Curtis di depan Anak-Anak Petani

Hati saya mengucapkan itu saking girang, sebab Ferry dengan diposisinya pada musik yang begitu kuat, itu akan lebih jelas dalam melihat Indonesia sekaligus sebagai sumber kreatifnya. Kawasan Cimenyan adalah prototipe desa-desa “tertinggal” (maaf saya belum menemukan kata ganti yang lain) yang menyerminkan sejatinya keadaan Indonesia.

Sejak lama saya berpendirian bahwa jika hendak melihat Indonesia itu bukan pada gedung-gedung di Jakarta dan kelak pun bukan pada kemegahan IKN (Ibu Kota Nusantara), sejatinya wajah Indonesia itu berada di pelosok-pelosok. Kira-kira sama lah dengan cara pandang Cak Nun seperti termaktub di dalam “Indonesia Bagian dari Desa Saya” (1980). Dan/atau pemandangan seolah-olah makmurnya Jakarta itu sama sekali bukan cerminan Indonesia, kecuali dalam posisi terbalik yaitu jika di pelosok-pelosok (desa) itu makmur barulah bisa dikatakan Indonesia itu makmur.

Kegirangan lainnya berada di sebalik harapan, bahwa Cimenyan serta desa-desa lain itu perlu “juru suara,” butuh wakil yang menyuarakan keberadaan hingga isi hatinya. Salasatu harapan itu tertuju kepada para pemusik bertutur yang saya sebut “benteng terakhir.”

Nuhun Ferry Curtis, selamat berproses di sana, kelak niscaya lahir sejatinya monumen dalam wujud musik, monumen tentang Indonesia.

Dan, selamat menjalankan ibadah puasa bagi semua yang menjalankan, semoga kita diberi kekuatan untuk melaksanakannya.(test.odesa.id).

Artis Ferry Curtis Belajar Kelor dan Gerakan Sosial di Odesa

Ferry Curtis Berliterasi Menyanyi untuk Anak Petani

Keranjang Belanja