Sejarah Pengemis Ngemis di Hari Kamis.- Pengemis berasal dari kata kemis. Orang yang melakukan disebut pengemis saat ini kita kenal sebagai orang yang meminta-minta sedekah.
Pelakunya biasanya mempraktikkan ngemis menetap di pinggir dengan menyodorkan tangan mengharapkan bantuan uang atau materi lainnya.
Ada pula pengemis yang memilih mencari uang atau materi dengan berjalan dari pintu ke pintu. Praktik pengemisan alias ngemis itu biasanya dilakukan oleh mereka yang lemah ekonomi, cacat fisik atau karena alasan mental.
Di balik pengertian praktik ngemis tersebut punya sejarah panjang yang punya makna mendalam berkaitan dengan Keraton Surakarta.
Bahkan ketika mendalami makna wong ngemis ini, ternyata punya pesan tersirat terutama bagi para pemimpin daerah. Sehingga pengetahuan tentang sejarah mengemis ini juga bisa jadi refleksi diri dalam berbuat baik kepada sesama.
Pengemis dan Tradisi Kemisan di Hari Kamis
Kisah pengemis dimulai dari cerita ini. Hari jumat adalah hari yang mulia bagi umat Islam. Di sana ada ibadah kolektif yang wajib bagi pemeluk islam laki-laki.
Pada hari yang mulia inilah umat Islam di Kerajaan Islam Mataram memberikan nilai lebih dengan penyambutan secara khusus. Maka, pada hari kamisnya mereka melakukan tindakan kebaikan tertentu yang tujuannya untuk menyambut hari jumat.
Cerita popular di masyarakat Jawa, khususnya di Keraton Mataram Islam, kami pagi dijadikan Raja Mataram, Sri Susuhunan menghadiri acara pisowanan. Dalam agenda tersebut para pejabat akan menyampaikan perkembangan sekaligus masalah yang terjadi di bawah kepemimpinan masing-masing pejabat.
Selain menjalankan pertemuan rutin tersebut, Sri Susuhunan biasanya juga akan melakukan meditasi khusus di hari Kamis. Bahkan pada hari yang sama para abdi dalem akan menyiapkan sesaji caos dhahar yang diletakkan di berbagai sudut Keraton.
Tradisi tersebut dilakukan untuk memanjatkan doa kesucian, kesejahteraan, dan keselamatan bagi keraton. Rangkaian upacara seperti ini disebut sebagai Kemisan dan sampai sekarang masih terus dilakukan.
Pada tiap hari Kamis itu, Susuhunan Pakubuwono X juga punya agenda keluar dari Keraton untuk melihat kondisi rakyat. Sang raja juga punya kebiasaan berjalan kaki dari keraton menuju ke masjid agung untuk melaksanakan persiapan mengaji di malam Jumat.
Selama perjalanan sang raja akan membagikan udhik-udhik atau uang koin kepada rakyat yang menyambut kehadirannya di sepanjang jalan. Kebiaan baik ini kemudian menyita perhatian masyarakat sekitar keraton karena pada hari kamis mereka akan mendapatkan rezeki berupa sedekahan uang dari rajanya. Mereka berjejer di sepanjang jalan untuk bisa mendapatkan sedekah udhik-udhik.
Rakyat akan menunduk memberikan hormat setelah mendapatkan udhik–udhik dari sang raja. Hal tersebut dilakukan karena rakyat menganggap uang koin tersebut bukan sekadar sedekah, tapi juga merupakan berkah dari Tuhan.
Berdonasi di sini Membantu Anak-Anak Bisa Sekolah
Istilah Pengemis bermula dari Wong Kamisan
Lama-kelamaan orang-orang yang selalu ngalap berkah atau menunggu sedekah dari sang raja setiap hari Kamis disebut sebagai wong kemisan yang kemudian kita kenal sekarang sebagai wong ngemis.
Sebutan wong kemisan sendiri pertama kali muncul pada tahun 1895. Seorang wartawan surat kabar Bramartani yang menyebut wong kemisan atau ngemis. Dari situ lah istilah ngemis, wong ngemis semakin akrab dikenal masyarakat luas.
Setelah Susuhunan Pakubuwono X wafat, wong ngemis ini lama-kelamaan tidak hanya muncul saat kemisan atau di hari Kamis. Namun kapan saja ada keramaian, wong ngemis ini akan muncul untuk meminta sedekah dari orang-orang yang ada di sana.
Akhirnya arti dari istilah wong ngemis bergeser sebagai “orang yang meminta-minta sedekah pada orang lain”. Tentu saja wong ngemis ini didominasi oleh orang-orang yang memang berekonomi lemah. Praktik ngemis ini dilakukan sebagai cara survive mereka yang lemah.
Tetapi pada kemudian hari seringkali juga dijadikan profesi mencari nafkah. Bahkan sering kita dengar ada banyak orang ngemis tetapi kehidupannya makmur dan bahkan kaya raya dari profesi sebagai wong ngemis ini.
Makna Positif dari Sejarah Kamisan dan Pengemis
Tetapi terlepas dari pengertian itu, satu arti dari pengemis juga menyisakan kisah positif di mana Raja Surakarta tersebut memberikan keteladanan agar melakukan tindakan kebaikan membantu rakyat miskin secara konkret.
Meskipun sedekah uang koin yang diberikan tidak bernilai besar, tapi ternyata hal itu sangat berharga karena selain mengakrabkan hubungan raja dengan rakyat, implementasi dari manunggaling kawula gusti, juga menjadi edukasi bagi pejabat atau orang lain yang memiliki kemampuan untuk rutin berbagi harta kepada kaum miskin.
Baca Tulisan Tentang Filantropi yang baik. Mengemas yang tak Mengemis
Fakta sejarah ini memang seharusnya dapat menjadi cerminan untuk kita di masa sekarang. Ada makna mendalam yang tersimpan dalam sejarah pengemis bahwa kesejahteraan rakyat adalah hal yang harus diperhatikan seorang pemimpin. (Arina Eka Putri)
Admin: Alma Maulida