Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah di Desa

Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah di Desa

Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah di DesaDengan langkah penuh semangat, Dimas Galih Permana (8) bergegas menuju SD Arcamanik 1.

Mengenakan sepatu sederhana, ia menyusuri jalan setapak dengan ransel plastik berisi buku-buku pelajaran di punggungnya.

Setiap hari, ia menempuh jarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya di Kampung Arcamanik ke sekolah.

Bocah yang lahir pada 12 Juni 2015 dan kini duduk di kelas 3 SD ini tidak pernah mengeluh tentang keadaannya.

“Dari awal masuk sekolah sampai sekarang, Galih sudah biasa pergi sendiri atau bersama teman-temannya. Tidak mau diantar,” kata sang ibu, Empi Sopiani (30), saat ditemui di rumahnya.

Putus Sekolah karena Keadaan Ekonomi

Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah di Desa

Galih tampaknya memahami bahwa kedua orang tuanya sibuk bekerja. Mereka tidak bisa mengantar-jemputnya karena harus mencari nafkah. Empi dan suaminya, Asep Amaludin (30), harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebagai keluarga dengan keterbatasan ekonomi, mereka sadar akan apa yang harus dilakukan, meskipun hasilnya tidak selalu sesuai harapan.

Bahkan, mereka kesulitan untuk memenuhi biaya sekolah Galih. “Beruntung ada guru yang membantu, menyumbangkan sedikit pendapatannya untuk Galih,” ujar Empi.

Untuk keperluan buku, alat tulis, tas, dan seragam, Galih mendapatkannya dari donasi para dermawan yang disalurkan melalui Yayasan Odesa Indonesia.

Karena seringkali tidak punya uang, ia sudah terbiasa tidak jajan di sekolah, namun tetap ceria bermain dengan teman-temannya.

Galih memiliki seorang adik bernama Muhammad Zidan Febriansyah yang saat ini berusia 3 tahun.

Ia sangat menyayangi adiknya, sering membawa Zidan ke mana saja, bahkan saat belajar di Sekolah Samin di Kampung Arcamanik. Selama tiga tahun terakhir, ia aktif mengikuti kegiatan tersebut.

Baca juga: Donasi Pendidikan Online: Bantu Anak-anak Meraih Impian

Ditinggal Ayah: Kisah di Balik Semangat Galih

Di balik semangat dan keceriaannya, Galih menyimpan kisah menyedihkan. Empi Sopiani menceritakan bahwa saat anak sulungnya itu masih bayi berusia 40 hari, sang ayah pergi entah ke mana. “Bapaknya pergi tidak tahu ke mana, sampai sekarang tidak ada kejelasan,” tuturnya.

Empi tidak mencari keberadaan sang suami lebih jauh. Ia sudah terlanjur sakit hati. Dia ingin mengubur kepahitan itu dalam-dalam dan memilih membesarkan anaknya sekuat tenaga meski harus sendirian.

Namun, kemudian dia bertemu dengan Asep Amaludin, yang tidak lama kemudian menjadi suaminya.

Dari pernikahan itulah lahir Muhammad Zidan Febriansyah. Dalam delapan tahun pernikahan mereka, Empi merasakan bahwa suaminya tidak pernah membeda-bedakan mana anak kandung dan anak sambung. Asep menyayangi keduanya.

Demi keluarga, Asep Amaludin menjalani berbagai pekerjaan, seperti buruh tani, tukang ojek, membersihkan rumah tetangga, tukang bangunan, dan lainnya.

Empi juga tidak tinggal diam, melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapatkan rezeki asal halal.

Bahkan suatu ketika di malam takbiran, keduanya masih bekerja membersihkan pemakaman umum demi membelikan baju Lebaran untuk anak-anak mereka.

Kesediaan Asep untuk merajut rumah tangga dengan Empi, salah satunya karena iba melihat bayi yang ditinggal ayah kandungnya, yang tak lain adalah Galih.

“Waktu itu dia memikirkan bagaimana masa depan kami berdua. Walaupun dia kurang dalam segi ekonomi, akhirnya bulat tekad menikahi saya. Lalu mengurus Galih bersama-sama,” papar Empi.

Baca juga: Menerima Donasi Gadget Bekas (Laptop, Ponsel, Kamera) untuk Pendidikan Anak Desa

Berupaya Mencicil Tanah

Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah di Desa
Keadaaan rumah keluarga Galih

Rumah keluarga tersebut berukuran sekitar 3 tumbak (42 meter persegi) dan berdiri di atas lahan seluas 8 tumbak (112 meter persegi).

Bangunannya cukup layak, berupa semi permanen dengan tembok setengah permanen dan sisanya menggunakan triplek. Mereka baru menempati rumah itu sekitar tiga tahun lalu melalui program bedah rumah dari pemerintah.

Kepemilikan tanah mereka dibeli secara mencicil dari kerabatnya dengan cicilan ringan tanpa batas waktu pelunasan yang ditentukan.

Di daerah mereka tinggal, harga tanah mencapai Rp3 juta per tumbak. Untuk 8 tumbak, mereka memiliki kewajiban membayar Rp24 juta. Sejauh ini, mereka sudah mencicil selama 3 tahun untuk 3 tumbak atau Rp9 juta.

Rumah ini memiliki dua kamar tidur yang disekat oleh triplek dan ditutupi kain, ruang keluarga, serta dapur kecil yang menyatu dengan tempat cuci piring.

Untuk kamar mandi, mereka menggunakan fasilitas MCK umum yang dibangun Yayasan Odesa Indonesia tiga tahun lalu.

Untuk membantu pekerjaan sehari-hari, keluarga ini memiliki sebuah sepeda motor bodong yang dibeli Asep dari temannya seharga Rp3.500.000 dan masih dicicil.

Motor ini dipakai untuk ojek dan terkadang juga digunakan untuk ke ladang. Untuk mencapai lahan garapan di Kampung Wass, Kelurahan Mekarmanik, setelah motor disimpan, mereka harus berjalan kaki sekitar 2 kilometer lagi.

Di lahan milik Perum Perhutani itu, mereka mengelola sekitar 500 pohon kopi. Saat ini, banyak tanaman yang masih muda dan belum berbuah. Mereka baru bisa panen paling banyak 7 kg. Dengan harga sekilogram buah kopi Rp14.000, mereka bisa mendapatkan Rp98.000 untuk 7 kg.

Namanya juga bekerja serabutan, pendapatan mereka tidak menentu. Keluarga ini termasuk salah satu dari banyak keluarga yang setiap bulan mendapatkan bantuan dana Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari pemerintah sebesar Rp200.000. “Uang itu kami tabung sebagian untuk keperluan lain,” kata Empi Sopiani.

Untuk makan sehari-hari keluarga Galih sangat mengalami kesulitan karena penghasilan yang didapat orang tuanya tidak menentu.

Lalu bagaimana dengan biaya pendidikan Galih?. Perjuangan Galih untuk bersekolah tidak boleh putus hanya karena keadaan ekonomi keluarga.

Baca juga: Saatnya Memilih Lembaga Donasi secara Tepat

Ayo Bantu Galih 

Kisah Galih adalah salah satu dari banyak cerita anak-anak yang berjuang untuk pendidikan meski dalam keterbatasan.

Akankah Galih akan berhenti sekolah karena keterbatasan ekonomi di keluarganya?. Dengan semangat dan dukungan kita, Galih dapat meraih mimpi-mimpinya.

Mari bersama-sama memberikan donasi pendidikan kepada Galih melalui Yayasan Odesa Indonesia. Setiap sumbangan Anda sangat berarti untuk masa depan mereka.

Ayo bantu Galih dan anak-anak kurang beruntung lainnya agar tetap bersekolah dan memiliki masa depan yang baik dengan berdonasi melalui link berikut.

Link Donasi:

Donasi Buku dan Alat Pendidikan Anak Desa

Bantu Kegiatan Belajar Anak-anak Buruh tani

Keranjang Belanja