Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia
“Di lapak-lapak online, ada banyak teh kelor yang laku. Laris banget dalam satu bulan ratusan bungkus. Padahal berada dalam posisi lapak yang sama dan promosinya sama. Soalnya harganya lebih murah,” kata Abdul Hamid kepada saya setelah beberapa waktu sebelumnya berselancar mengamati perdagangan teh daun kelor di internet.
Abdul Hamid adalah sekretaris Grup Tanaman Obat Cimenyan (Taoci), Grup pertanian di bawah Yayasan Odesa Indonesia yang tugasnya adalah mengolah hasil panen pertanian para petani dan memasarkannya. Hamid adalah alumni UIN Sunan Gunung Djati. Setelah lulus kuliah ia ingin belajar berorganisasi, menulis dan juga pengabdian sosial di Yayasan Odesa Indonesia. Tugas pengamatan tentu tidak sehari atau dua hari, melainkan melewati waktu panjang lebih 15 bulan. Terus mengamati dan mengamati. Tujuannya adalah agar Hamid mendapatkan pengetahuan tentang perilaku konsumen dan penjualnya. Ngomong-ngomong, teori perilaku manusia berekonomi itu sangat penting dan menentukan sebagai cara kita berekonomi, apalagi Yayasan Odesa Indonesia ini memiliki paradigma membangun ekonomi yang berkemanusiaan. Tentu butuh analisa tentang laku hidup masyarakat.
Sekadar mengingat, jauh sebelum Adam Smith menulis Mahakarya “The Wealth of Nations” dia sudah menulis karya tentang “Hasrat Manusia”. Tahun 2010 lalu Kerajaan Inggris juga membentuk kelompok khusus, “Behaviorural Insights Team” yang terkenal karena diikuti banyak negara lain di dunia. Tujuannya adalah membuat kewenangan khusus menyertakan temuan-temuan ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal yang menarik tentang perilaku ekonomi ini adalah ungkapan Peraih Hadiah Nobel Ekonomi Richard H. Thaler, yang menyindir ekonom tradisional, mengatakan, “bagaimanapun, perusahaan dijalankan oleh manusia, pegawai dan konsumen juga manusia.”
Setelah Hamid melihat “perilaku” (tentu saja permukaan) dari internet dan juga perilaku orang dari offline (hasil interaksi dia dengan konsumen dari kota maupun masyarakat desa) apa hubungannya dengan teh daun kelor yang produksi Taoci yang menjadi tanggungjawabnya?
Pertanyaan perlu kita ajukan: Apakah kita akan menurunkan harga supaya kompetitif? Benarkah setelah harga turun akan lebih laris? Apakah setelah laris lebih menguntungkan di banding saat harga tinggi dengan keadaan kurang lain? Apakah soal harga bisa dianggap tidak masalah dan kita lebih fokus pada strategi marketingnya, termasuk salesnya?
Mendapat pertanyaan itu Hamid tak mengambil sikap. Ia, seperti saya juga, tak yakin dengan menurunkan harga lantas penjualan meningkat. Kita juga belum membuat framing psikologi seperti menaikkan harga lalu membuat diskon (sebuah permainan yang lazim diterapkan marketing, kadang berhasil kadang tidak). Lagi pula, kata saya, kalau makin laris ujung-ujungnya ketersediaan stok kurang juga akan jadi persoalan. Selain dari itu kita belum yakin bahwa konsumen kelor itu sudah benar-benar membeli karena konten/isi dari substansi kandungan kelor.
Kalau persoalannya konsumen lebih cenderung membeli karena nilai mata uang, alias murah, itu juga bukan sasaran yang ingin dicapai oleh gerakan pangan sehat dan bergizi. Sebab Yayasan Odesa punya target bahwa menjadikan kelor sebagai komoditi ini bukan semata menjual daun, lantas laris dijual, lantas untung secara ekonomi. Bukan karena Odesa tidak mementingkan laba, tetapi kita hanya ingin perdagangan ini bernilai di luar ekonomi, yakni menimbulkan kesadaran pangan sehat bergizi yang bersumber dari lokal. Dengan kata lain pula harus ada dimensi sosial kemanusiaannya. Ini bukan perkara idealisme, ini adalah urusan menumbuhkan kebaikan jangka panjang dengan sekian nilai-nilai, terutama masyarakat sadar gizi dan juga mau menanam guna mencegah lahan dari bencana erosi. Menggerakkan tanaman kelor, sorgum, hanjeli, dan ribuan tanaman buah-buahan hanyalah alat untuk berbuat kebaikan.
Odesa punya niatan sejak awal bahwa pangan sehat bergizi dari kelor harus dikawal. Itu artinya membutuhkan kerja etik dari penanaman, pengolahan, kebersihan dan juga manfaat setelah mengonsumsi teh kelor. Sangat tidak bagus kalau Odesa hanya menjual barang, sementara kita berkegiatan berbasis ilmu pengetahuan dan juga mengemban misi kemanusiaan. Untuk mengawal keberhasilan itu dampaknya pada harga yang rasional, yakni Rp 50.000 per 50 gram (tahun 2016 hingga 2017) dan sekarang berubah menurun sedikit karena efisiensi bahan baku menjadi Rp 47.000 adalah sesuatu yang sudah diperhitungkan sejak awal. Hal ini dimulai dari harga beli daun segarnya dari para petani senilai Rp 10.000 per kg.
Kenapa mahal? Saya jawab, tidak mahal. Itu harga baik yang rasional supaya tidak memperbudak petani. Utamakan produsen (hulu) agar nanti konsumsen (hilirnya) juga terlayani. Nanti bisa dimurahkan juga selaras dengan kemajuan yang dicapai petani. Dengan kata lain harga ditetapkan dengan menghargai pekerja awal yang paling gigih berjuang. Soal menurunkan harga itu urusan mudah. Misalnya, setelah peningkatan panen kelor petani secara massif, biasanya setelah 3-4 tahun pohon berkembang, hasil panen akan meningkat secara otomatis seiring dengan pembesaran pohon.
Karena semua hal yang dilakukan oleh Odesa adalah eksperimen yang ujungnya dikelola dengan tujuan mendidik para petani (minimal untuk Ketua Taoci, Yayan Hadian, untuk Ujang Rusmana, dan untuk Kang Toha), maka lebih baik kita kembalikan pada hitungan ekonomi dan sosial di awal.
Bagaimana “hitungan” Odesa menggerakkan budidaya kelor (juga sorgum, hanjeli dan tanaman lainnya)?
Pertama, tujuan budidaya kelor yang paling utama adalah menggerakkan masyarakat menanam dan mengonsumsi kelor. Ini menjadi patokan dasar. Tetapi kita tahu bahwa dalam gerakan massif yang dilakukan Odesa tentu butuh biaya. Dan biaya yang terbaik (secara ekonomi) harus bersandar pada “nilai” (perhitungan input dan output) yang dilakukan dalam ranah produksi. Apalagi Taoci ini grup yang konsentrasinya untuk kewirausahaan (berbeda dengan target Yayasan yang sifatnya sosial). Saya berpikir, ini adalah proses yang membutuhkan kesabaran. Saya tidak percaya proses instan menguntungkan jangka panjang. Instanisme asal laku, asal laba itu etos yang tidak produktif. Laba cepat sesaat, setelah itu mati.
Kami di Odesa percaya bahwa membangun tradisi adalah kekuatan yang lebih bagus dari sisi manapun dan petani mesti memiliki tradisi memperkuat sendi-sendi ekonominya dengan rasionalitas ekonomi yang tertata sejak awal. Mereka menanam dengan cara yang baik, sebagai contoh, tidak memakai pupuk kimia, memanen dengan prosedur tepat sesuai petunjuk, menerima pembayaran dengan aturan yang koperatif sesuai sistem yang ditegakkan. Laku ekonomi ini kemudian kami rasakan sangat menguntungkan para petani. Keuntungannya antara lain, pertama, para petani mendapatkan ilmu pengetahuan yang baru tentang model produksi dan dagang. Jika sebelumnya mereka tidak memiliki panduan ekonomi dalam pekerjaan pertanian mereka, di Yayasan Odesa Indonesia mereka punya aturan. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu ekonomi yang sering dihitung oleh Pak Basuki Suhardiman (Pembina Yayasan Odesa) bernilai membawa obor pemahaman baru.
Keuntungan kedua, para petani juga mendapatkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan karena satu tanaman pun dicatat, berharga dan kapan waktu panen ada aturan mainnya. Misalnya kecenderungan petani “bermental” pragmatis menjual sistem ijon (belum waktunya dijual, terpaksa dijual karena butuh duit), kita hilangkan. Bagi kami, menjual berarti (berusaha) melayani konsumen. Dan konsumen kelor lebih banyak membutuhkan ilmu sehingga harus terus dilakukan edukasi. Jangan membeli bibit di bawah umur 4 bulan misalnya, menjadi doktrin agar kelor yang ditanam oleh pembeli tidak mudah mati.
Kedua, ekonomi kelor melalui perdagangan mesti ditegakkan dengan konten, yakni sebagai sumber gizi. Misalnya teh daun kelor harus diproduksi secara benar dengan target hasil daunnya tetap hijau (sekitar 70 persen) dalam keadaan kering. Tidak dipanaskan dengan sinar matahari, kebersihan terjaga, dan barang yang kurang berkualitas harus disortir, dimanfaatkan untuk keperluan lain. Kualitas barang harus diusahakan selalu stabil baik.
Mengapa harus seperti itu? Bukankah penyusutan daun kelor dari petani kemudian tinggi? Benar. Karena sikap disiplin itulah Yayan Hadian yang mensortir sering melaporkan catatan bahwa susut dari daun segar menjadi daun kelor kering kualitas A hanya antara 15-22 persen. Penyusutan disebabkan oleh beberapa faktor 1) Proses sortir, 2) Susut karena dari basah menjadi kering, 3) Akibat cuaca, 4) atau faktor eksternal lain.
Jadi mengapa harga daun teh kelor adalah Rp 47.000? dan tidak Rp 25.000 misalnya? Itu karena ongkos produksinya menjalankan prosedur. Jika harganya di bawah itu, justru tidak ketemu rasionalitas ekonominya. Karena itu jika ada teh daun kelor yang murahnya kelewatan, misalnya per 50gram hanya Rp 25.000 biasanya karena proses produksinya asal-asalan, atau karena produsennya tidak memakai rasionalitas ekonomi yang baik.
Pembelajaran Ekonomi Berdampak lain
Yang patut kami catat dari proses kewirausahaan produksi kelor ini adalah bahwa ratusan konsumen yang mengonsumsi teh kelor dari Taoci menjadi fanatik. Mereka yang telah merasakan manfaat dari teh daun kelor merasakan dampak baik bagi kebugaran tubuhnya.
Ada pengalaman dari saudara dan teman-temannya Dr. Hawe Setiawan (Pembina Odesa). Beberapa orang sering memesan teh kelor dari Dr. Hawe Setiawan. Tentu bukan lantas Dr.Hawe menjadi penjual kelor. Ia hanya sering menjadi teman bicara bagi orang terdekatnya akibat provokasi, biasanya dari akun Facebooknya atau dari tulisannya yang tersebar luas di Koran Pikiran Rakyat berjudul “Kelor dari Cimenyan” https://odesa.id/kelor-dari-cimenyan/
Contoh lain juga dari Budhiana Kartawijaya (Ketua Pembina Odesa) yang kalau dirinya dalam satu minggu tidak mengonsumsi Teh Kelor produksi Taoci asmanya memburuk. Begitu juga anaknya, kalau tidak mengonsumsi kelor dalam empat hari alerginya akan kambuh. Begitu juga Andy Yoes Nugrono (Pengurus Odesa Temanggung) yang kebugaran fisiknya sekarang membaik karena rutinitas mengonsumsi teh kelor. Banyak juga pengalaman dari teman-teman Pak Basuki Suhardiman. Teman Pak Basuki yang kebanyakan alumni Institut Teknologi Bandung juga banyak yang rutin memesan teh kelor dari Taoci.
Satu cerita lagi, Dr. Bucky Wikagoe, manajer dan Kakak Kandung Nicky Astria itu tahun 2019 lalu mengenal kelor dari Odesa. Beliau mau meninum teh kelor tapi meminta saya menjelaskan alasannya. Setelah saya jelaskan ia meminumnya. Bukan urusan enak dan tidak enak, melainkan urusan ilmiah. Lantas ia pun pelajari tentang kelor, kemudian menanam, dan juga membuat teh kelor atau mengonsumsinya dalam bentuk sayuran. Dan Kakek Herry Dim, pelukis kenamaan dari Bandung itu seringkali protes kalau tidak mendapat jatah teh kelor.
Mengapa kelor berkaitan dengan penyakit? Bukankah tujuan Odesa menanam kelor karena untuk sumber gizi dan bukannya mengobati penyakit?
Garis pemikiran Yayasan Odesa Indonesia sesuai kaidah ilmiah akan bekerja dengan tujuan gerakan massal menghasilkan pangan sehat bergizi bagi masyarakat. Melahirkan pangan sehat membutuhkan prosedur mulai dari pembibitan hingga pengolahan. Sedangkan menetapkan slogan gizi sebagai cara kita mengingatkan niatan luhur agar kita menjadi bagian masyarakat yang cerdas sadar akan sumber gizi. Ingat, negara Indonesia kurang sumber gizi. Kalaupun ada sumber gizi kebanyakan bersumber dari negara lain.
Adapun perkara fenomenal banyak orang tersembuhkan dari penyakit itu nilai plus. Banyak juga contoh, (tercatat bulan Pebruari 2021) terdapat 84 petani yang melaporkan kesembuhan penyakitnya karena anjuran mengonsumsi kelor dari para pengurus Yayasan Odesa, terutama yang terbanyak karena kampanye pak Enton Supriyatna, peran kampanye relawan Mahasiswa saat mengajar anak-anak petani, dan juga karena peran petani seperti Kang Toha dan Kang Ujang Rusmana.
Sekian kisah orang mengalami proses penyehatan dari penyakitnya itu di antara dari masalah jantung, alergi, stroke, pernapasan, asam-urat, ASI ibu menyusui tidak lancar, kanker payudara dan sejumlah keadaan terkait dengan kebugaran fisik yang lemah.
Pada kelor, kita akan berekonomi. Kegiatan ekonomi bisa asal-asalan, tetapi bisa pula dengan menerapkan kaidah keilmuan. Kita ingin dari setiap langkah agar ekonomi kelor ini berjalan dengan menyertakan nilai edukasi dan nilai kemanusiaan. Demikianlah kami bekerja, berusaha.[]
Komentar ditutup.