Pengabdian Masyarakat sebagai cara Meningkatkan Kualitas Mahasiswa

Pengabdian Masyarakat Berpijak pada Pengetahuan Biologi


Oleh FAIZ MANSHUR
Ketua Odesa Indonesia
Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa Mengajar di Kampung-Kampung Terbelakang Pendidikannya
Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa Mengajar di Kampung-Kampung Terbelakang Pendidikannya

Model pembelajaran kampus-kampus di Indonesia secara umum bisa dibilang buruk. Telah luas diketahui, kampus adalah sarang kebodohan berkerudung teori ilmiah.

Celakanya teorinya pun banyak yang ketinggalan zaman, alias tak laras untuk bekal para sarjana. Jangankan untuk bekal hidup, untuk sekadar bekal mencari makan saja kadang tak nyambung.

Terdapat kenyataan pula, ilmu dari kampus itu sendiri merupakan ilmu parsial sementara realitas sosial begitu kompleks.

Karena alasan inilah diperlukan sebuah terobosan pendidikan di kampus agar mengarah pada praktik-praktik pembelajaran supaya terjadi emansipasi pada nalar dan mental para mahasiswa.

Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa di Odesa
Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa di Odesa

Pengabdian masyarakat oleh mahasiswa jelas dibutuhkan. Dan pelaksanaan yang terbaik bukanlah sekadar adalah praktik yang benar-benar laras dengan kebutuhan (problem) di masyarakat dan teruji mengatasi problem yang ada.

Karena alasan itu, ketika teman saya Marzuki Wahid, Rektor Institut Fahmina Cirebon, menggulirkan kuliah selama empat tahun di desa, saya mendukung penuh.

Marzuki Wahid merancang sebuah gagasan baru di kampusnya dengan mendesain teori terbalik dari kebiasaan selama ini di mana 90 persen kegiatan mahasiswa berada di ruang kuliah formal dengan bacaan serba formal.

Ia menginginkan 90 persen dari kegiatan kuliah itu adalah melihat kegiatan mahasiswa hari-harinya adalah melakukan pergulatan sosial. Antara praktik dan teori dilaksanakan dalam keseharian.

Dengan imajinasi seperti itu Marzuki juga melihat kepentingan terhadap desa tertentu di mana mahasiswa akan menjalani masa kuliah selama delapan semester dengan mengambil peran di sebuah dusun atau kampung.

Jika dalam empat tahun dilakukan, Marzuki menaruh harapan muncul dampak nyata bagi kedua belah pihak -baik bagi mahasiswa maupun masyarakat selevel kampung atau dusun, atau bahkan selevel RT/RW).

Ide Marzuki Wahid menurut saya menantang. Saya pun mendukung rencana itu, dan kebetulan Marzuki Wahid juga menjadi bagian dari Yayasan Odesa Indonesia yang kegiatannya lekat dengan praktik keilmuan etnografi.

Gagasan seperti yang dilontarkan Marzuki Wahid itu mesti diperjuangkan. Harus ada yang memulai dan berani mengambil resiko. Segala kesulitan biasanya ada di awal saja. Kelak jika sudah menemukan jalan setapaknya, tujuan juga akan tercapai.

Kita anggap apa yang diinginkan Marzuki Wahid itu sesuatu “yang ideal”. Jika logikanya demikian, di bawah  “yang ideal” bisa dilakukan juga dengan menambah kuantitas dan kualitas pengabdian masyarakat.

Dan Yayasan Odesa Indonesia mengambil peran itu dengan menjadi “terminal” keilmuan berhaluan praktik bagi mahasiswa.

Setiap pekan selalu ada kegiatan yang dilakukan mahasiswa baik mereka yang dari strata satu maupun strata dua.

Ada pengabdian mahasiswa yang bersifat temporer selama tiga bulanan atau bisa bersifat tahunan sebagai relawan.

Ada yang melakukan secara individu langsung menyatu dengan Odesa, ada pula yang mengambil peran berkelompok.

Praktik yang dominan para mahasiswa di Yayasan Odesa Indonesia adalah  mengajar anak-anak petani di berbagi kampung di perbukitan Bandung Utara.

Selain mendapatkan kesempatan menjadi fasilitator juga mendapatkan kesempatan menimba ilmu-ilmu humaniora seperti ekonomi-politik, filsafat, jurnalistik, botani, pasca panen herbal, dan juga wawasan pengetahuan multidisipliner lainnya.

Spirit pengabdian masyarakat ini sangat penting dieksplorasi lebih jauh agar kita menemukan jalan “eksploitasi” yang lebih ideal seperti yang diimpikan Marzuki Wahid di atas.

Ya, kita perlu terus mengekslorasi jenis-jenis peraihan ilmu pengetahuan, dan praktik di lapangan, terutama untuk jenis ilmu humaniora sangat diperlukan.

Dengan kuatnya ilmu humaniora, bukan hanya mahasiswa dari jenis humaniora saja yang mendapatkan manfaat.

Kelompok mahasiswa dari kalangan teknokrat juga bisa mendapatkan kesempatan mengintegrasikannya.

KETERASINGAN SARJANA

Pengabdian masyarakat mesti dijalani mahasiswa karena sebagai kelompok sosial yang beruntung dibanding orang yang tidak bisa kuliah.

Dengan keuntungan tersebut tentu saja tanggungjawabnya mesti lebih serius karena kelak setelah lepas dari status kemahasiswaannya diharapkan bisa berbuat banyak di masyarakat.

Amat beresiko bagi mahasiswa manakala tidak “kenyang” oleh pergulatan sosial karena telah banyak bukti banyak sarjana yang “plonga-plongo” saat hidup di masyarakat.

Ada ilmu ada status. Naas kalau tak ada yang bisa diperbuat. Ada pengalaman di kota tetapi urusannya tak lebih masalah teknologi atau piknik yang tak menyisakan pengalaman mengubah keadaan.

PERTEMUAN SEBAGAI LANGKAH TEPAT

Urusan mahasiswa adalah urusan hidup. Sebagai makhluk hidup dimensi dasarnya adalah soal statusnya sebagai makhluk sosial.

Maka segenap pendidikan pun mesti laras dengan dimensi biologis kehidupan sosial.

Mesti ditekankan juga bahwa pengabdian masyarakat yang dimaksud oleh Tri Darma Perguruan Tinggi itu harus ilmiah, realistis dan kontekstual.

Jika kita yakin akan hal ini, maka pengetahuan yang terpenting dalam hidup kita adalah praktik atau mengalami.

Berinteraksi langsung bisa menimbulkan dampak bukti, apalagi untuk urusan pendidikan dan sosial yang bertujuan mengubah keadaan.

Mahasiswa mesti hadir dan memahami situasi kehidupan masyarakat supaya kita bisa menguasai pengalaman itu dan menjadikan sebagai modal pengetahuan empirik dalam batin kita.

Menarik adalah pandangan Simon Sinek tentang pentingnya melihat proses perbaikan ini.

Bagi Sinek, makhluk sosial “perlu melihat secara langsung dampak nyata dari usaha dan waktu kita agar kerja kita bermakna dan kita termotivasi melakukannya dengan lebih baik,” katanya.

Sinek menjadikan keterlibatan seseorang dalam kegiatan sosial ini penting karena sekalipun kita bisa mendapatkan informasi mudah dari laporan atau berita, tetapi pengaruhnya tak sebanding kalau seseorang tersebut melakukannya sendiri.

Sinek juga meyakinkan kita tentang pentingnya mengalami pekerjaan itu karena biologi manusia mengandung unsur “kooperatif yang mudah terinspirasi dan termotivasi saat seseorang membantu orang lain.”

Mahasiswa yang terjun di masyarakat secara langsung akan mendapatkan banyak keuntungan. Selain mendapatkan empati yang besar juga mendapatkan pengetahuan dari pergulatannya sosialnya.

Keuntungan ilmu dengan keterlibatan itu bisa dijelaskan sebagai berikut:

Setiap kehidupan orang memiliki latar belakang, dan keadaan struktur itulah yang membuat kita akan berpikir tentang realitas, bukan sekadar konsepsi.

Misalnya saat kita menemui langsung orang miskin di perdesaan, maka kita akan dapatkan pengetahuan lingkungan desa itu.

Begitu juga sebaliknya, keadaan orang miskin yang kita temui di kota menjelaskan tentang banyak hal atas situasi kehidupannya.

Jika di perdalam lagi argumentasinya, bisa jadi orang hidup hidup di tengah orang-orang kaya; sehingga kita bisa menyimpulkan ada anomali.

Atau sebaliknya keadaanya bersifat massif di mana di situ terdapat banyak orang miskin sehingga kita bisa berpikir bahwa kemiskinan juga dipengaruhi keadaan kultural. []

Menjadi Relawan Belajar Menjadi Pemimpin

Strategi Filantropi Melibatkan Mahasiswa

Rekrutmen Relawan Mahasiswa

Gerakan Literasi Odesa: Mahasiswa Mengajar Anak-Anak Desa

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja