ORANG MISKIN PROBLEM BAGI NEGARA
DATA NEGARA PROBLEM BAGI ORANG MISKIN
Oleh BUDHIANA KARTAWIJAYA. Ketua Pembina Odesa Indonesia IG Budhiana
Akhir September 2022, Yayasan Odesa berdiskusi dengan Kepala Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, Nanang Suryana.
Desa Mekarmanik ini merupakan lokasi yang paling banyak menjadi kegiatan Odesa Indonesia.
Dari beberapa topik pembicaraan soal kemasyarakatan, Nanang Suryana menceritakan“kekisruhan pembagian bantuan sosial” dari program bantuan sosial kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Keluhan utama adalah ketidaktepatan sasaran penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) BBM.
Menurut Nanang, pemerintah menyalurkan bantuan itu kepada mereka yang namanya tercantum dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Namun sudah tiga tahun data itu tidak berubah. Yang mendapat BLT itu-itu saja, sementara ada yang lebih berhak justru tidak mendapatkan,” kata Nanang Suryana.
Akibat data yang tidak mutakhir itu, kekisruhan pun terjadi di desa. Ringkasnya, ada orang merasa butuh dengan bantuan, tidak dapat.
Ada yang mampu, ternyata masih dapat terus-menerus. Ada pula yang tadinya mendapat dan semestinya masih perlu mendapatkan, ternyata namanya mendadak hilang dari daftar.
Karena jumlahnya massif, keresahan ini berdampak buruk. Ada yang ngambek tidak mau kerjabakti. Ada pula yang mencurigai Kepala Desa itu mengambil jatah bantuan warganya.
“Kami di lapangan menjadi sasaran kemarahan warga. Kami dicurigai, dan warga ngambek, malas diajak menjalankan program desa,” kata seorang staf desa yang ikut dalam pertemuan itu.
Persoalan data penerima bantuan sosial ini sebenarnya problemnya sudah lama. Kita ingat kasus pembagian bantuan sosial di masa Covid-19 tahun 2020 hingga 2021 lalu.
Kepala Desa tertimpa simalakama; jika mengikuti prosedur dari Pemerintah akan timbul keresahan. Jika tidak menjalankan, bisa terkena konsekuensi hukum.
Karena terus-terusan muncul problem seperti itu, Tim dari Kepala Desa membuat inisiatif melalui musyawarah dengan warga penerima.
Salahsatu inisiatifnya warga penerima yang statusnya sudah mampu (terdaftar sebagai warga miskin) untuk rela mengalihkan uang bantuan kepada warga yang tidak mampu (tidak terdaftar sebagai penerima bantuan).
Namun begitu bantuan itu cair, komitmen itu hilang. Mereka yang tadinya sepakat berubah pikiran.
“Kan yang terdaftar nama saya, kenapa harus dikasihkankepada orang lain,” kata warga.
Kesimpulannya, orang bisa bijaksana manakala saat musyawarah. Tetapi mudah meninggalkan kebijaksanaannya saat uang sudah berada di tangan.
TENTANG DATA KEMISKINAN
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) disusun dan disahkan Kementerian Sosial 2019, berdasarkan usulan data dari bawah.
Daftar ini adalah data keluarga yang berhak menerima bantuan sosial yang bersumber dari APBN seperti PBI (Penerima Bantuan Iuran), PKH (Program Keluarga Harapan), Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), BLT BBM dan lain-lain.
PBI adalah BPJS gratis bagi orang miskin, PKH semacam bantuan tunai kepada rumah tangga sangat miskin berupa bantuan untuk ibu hamil, menyusui, nifas, sekolah anak.
BPNT berupa bantuan pangan non tunai seperti bantuan beras, paket sembako dll. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan membagikan STB (set top box).
STB adalah alat konversi siaran analog TV menjadi digital. Pemerintah akan melakukan peralihan siaran TV analog ke digital (Analog Switch Off – ASO) pada November 2022 ini.
Banyak warga miskin yang masih memiliki televisi lama yang tidak bisa menangkap siaran teresterial digital, sehingga memerlukan STB.
Di samping bantuan bersumber APBN, setiap daerah mempunyai program bantuan yang bersumber pada APBD masing-masing.
Jawa Barat misalnya, mempunyai program bantuan beras, bantuan untuk usaha mikro, subsidi kuota internet, bantuan diskon listik, dll. Belum juga kota dan kabupaten, punya program masing-masing.
Siapa yang berhak atas bantuan APBN dan APBD, itu semua berdasar DTKS itu.
REALITAS BERUBAH, DATA TIDAK
Mengapa kekisruhan itu terjadi?
Di antaranya, ada DTKS yang selama tiga tahun tidak berubah. Padahal di lapangan banyak terjadi perubahan. Ada yang sudah keluar dari kemiskinan, tapi ada juga yang menjadi orang miskin.
Ada pula dampak dari kematian sehingga muncul anak berstatus yatim atau piatu. Ada juga yang dari rawan miskin menjadi miskin, bahkan menjadi fakir karena kesulitan pekerjaan.
Perubahan-perubahan status kemiskinan yang cepat ini menjadi problem manakala tidak terespon oleh kebijakan negara terkait dengan dokumen.
Sebab untuk mendapatkan hak bantuan kesejahteraan orang-orang miskin baru itu harus punya surat kependudukan: surat nikah, akte, ijazah, kartu keluarga, dan KTP.
Di sini akar masalahnya, banyak warga miskin tidak punya surat nikah, entah karena kawin hanya di depan penghulu, atau pernah punya surat nikah tapi hilang.
Banyak yang tidak punya akte kelahiran, apalagi ijazah. Banyak yang tidak punya Kartu Keluarga (KK), ada juga yang punya KK yang warnanya masih merah mawar zaman dulu, ada juga yang tidak punya KTP.
Ada juga yang punya dokumen-dokumen itu. Namun banyak yang tidak konsistan antar satu dokumen dengan dokumen lain. Misalnya di KK tertulis nama “Acep” tapi di KTP tertulis “Asep”. Atau di surat nikah bernama “Nur”, di KTP ditulis “Enur”.
Di era digital seperti ini situasi seperti ini tidak mudah. Sistem digital sangat keras. Beda satu huruf, beda titik dan koma, beda angka, sistem akan menolak.
“Ini menyulitkan kami pak. Orang kampung kan tak semua punya android. Kalau punya pun tidak paham soal data!” Kata Nanang Suryana.
Konsekuensi dari ketidaksinkronan data tersebut adalah orang-orang miskin malah tidak terinput ke dalam sistem.
Nanang Suryana juga menceritakan, sebelum ada BPJS, ada Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas).
Waktu Jamkesmas, kalau ada warga sakit, kepala desa tinggal mengisi formulir manual. Warga miskin pun bisa dirawat.
Sekarang, karena ada masalah ketidaksesuaian data, mereka tidak masuk dalam DTKS. Otomatis tidak masuk dalam skema bantuan apapun.
DIGITALISASI: SOLUSI ATAU MASALAH BARU?
Pemerintah dalam waktu dekat akan mengubah KTP elektronik (KTP-el) yang sekarang dipakai, menjadi KTP Digital, sehingga bisa dimasukkan ke dalam telepon genggam, dan menggunakan teknologi QR Code sehingga bisa diakses di mana saja.
Tapi untuk mengakses KTP digital, rakyat harus punya gadget, dan di kampungnya harus ada internet. Untuk mengaksesnya, warga harus memasukkan nomor induk kependudukan (NIK), dan PIN.
Saya lantas bertanya, apakah data itu bisa diperbarui agat tidak ditolak sistem?
“Bisa pak. Tapi Disdukcapil biasanya minta dokumen pembanding. Misalnya mau mengubah data KK, pembandingnya harus dokumen lain.
Kalau tidak akte, ya surat nikah, atau ijazah. Tapi warga miskin tak punya dokumen pembanding!” keluh Nanang Suryana.
Kata Nanang Suryana, “Warga itu sering menyepelekan perbedaan data di dokumen. Baru kalau ada keperluan mendesak seperti pengambilan bantuan sosial mereka merasakan kebutuhan.
Tapi mau memperbarui data tidak tahu harus bagaimana. Ada juga faktor malas karena ribet. Yang lain punya alasan tak punya uang untuk bayar pihak ketiga atau calo.
Saya tanya lebih lanjut, bisakah DTKS diperbarui?
Tentu saja bisa. Namun prosesnya panjang dan lama. Paling tidak ada 12 langkah:
- Warga mendaftarkan diri ke kantor desa atau kelurahan setempat, dengan membawa KTP dan KK.
- Desa atau kelurahan melakukan musyawarah membahas kelayakan warga untuk dimasukkan ke dalam DTKS.
- Desa/Kelurahan menyusun Berita Acara yang ditandatangani oleh kepala desa/lurah dan perangkat desa lainnya yang kemudian menjadi pre-list
- Pre-listakhir tersebut dikirim ke Dinas Sosial Kota/Kabupaten. Dinas sosial melakukan verifikasi dan validasi data dengan mengunjungi rumah tangga warga yang bersangkutan.
- Data yang telah diverifikasi dan divalidasi kemudian diinput ke aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS) Offlineoleh operator desa/kecamatan.
- Data yang sudah diinput di SIKS Offlinekemudian diekspor dan menghasilkan file extention.
- File ini kemudian dikirim ke Dinas Sosial.
- Dinas sosial mengimpor data kedalam aplikasi SIKS online.
- Hasil verifikasi dan validasi data dilaporkan kepada bupati/wali kota.
- Bupati/wali kota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi data yang telah disahkan kepada gubernur untuk diteruskan kepada menteri.
- Penyampaian dilakukan dengan cara meng-importdata hasil verifikasi dan validasi ke SIKS-NG (next generation) dengan mengunggah Surat Pengesahan Bupati/Wali Kota dan Berita Acara Musyawarah Desa/Kelurahan.
- Warga mengecek apakah namanya terdaftar di DTKS, dengan mengakses kemensos.go.id, dengan memasukkan nomor induk kependudukan (NIK) KTP.
Panjang sekali bukan?
Pemutakhiran bisa terkendala dokumen kependudukan. Bisa juga warga tidak tahu, atau tahu tapi enggan. Ada juga warga yang satus kesejahteraan membaik, tidak mengajukan keluar dari DTKS.
Bisa karena tidak tahu, enggan, atau tetap terus menikmati bantuan. “Banyak orang mau menerima bantuan, tapi menolak disebut miskin,” ujar Nanang.
Ada juga kepala daerah atau kepala desa yang tidak mau data DTKS-nya bertambah.
“Kepala desa itu akan ditegur camat, camat ditegur bupati: kenapa orang miskin di daerahmu meningkat? Kalau saya sih tak perduli. Saya akan suarakan orang miskin,” kata Nanang.
Karena proses panjang itu, dan sebab adanya keterbelakangan jaringan di daerah maupun adanya faktor kultural di atas, proses pemutakhiran DTKS menjadi lama.
Bisa jadi karena ada krisis pemerintah menyalurkan bantuan berdasar data yang belum atau sedang proses diperbarui itu.
Tapi walaupun kelak proses pemutakhiran DTKS menjadi lebih sederhana, tetap saja kuncinya adalah kelengkapan dokumen dasar kependudukan warga: akte kelahiran, KK, KTP, surat nikah, dan ijazah.
Pemerintah daerah, mulai dari gubernur, bupati/walikota, camat, lurah/kepala desa, hingga Ketua RW dan RT harus memastikan ketertiban dokumen kependudukan warganya.
Kalau kita kembali ke kesepakatan dunia tentang sustainable development goal (SDG), pembangunan harus inklusif. Jangan sampai ada yang tertinggal (no one left behind) atau tidak terbawa oleh kereta pembangunan.
Tetapi dari uraian ini, kita menyaksikan secara nyata, orang miskin problem bagi negara dan data negara adalah problem bagi orang miskin.
Teknologi digital yang seharusnya mempercepat capaian kesejahteraan manusia, malah membuat kelompok miskin makin tertinggal.
Satu pertanyaan perlu diajukan: apakah kita sedang melangkah maju meninggalkan orang miskin, atau sedang memajukan orang miskin?[]
Baca Juga Tulisan: Kerusakan Alam dan kemiskinan
Jika Anda Ingin Terlibat Mengatasi Kemiskinan. Berdonasi di sini