
Oleh: Faiz Manshur Ketua Odesa Indonesia
“Apa yang harus saya lakukan supaya hidup saya tidak susah begini?”
Pertanyaan ini keluar dari mulut, Sulhi, 36 tahun, seorang buruh yang tinggal di pinggiran Kota Bandung.
Selama satu tahun (September 2021-Agustus 2022) saya rutin menemui keluarganya, minimal satu bulan satu kali untuk “merekam” situasi hidupnya.
Saya mendapatkan catatan penting perihal keadaan finansial Sulhi dan istrinya, Amid. Perolehan uang sang suami Rp.9.870.000,- sedangkan istrinya Rp.8.760.000,- total disatukan Rp.18.630.000,-.
Hitungan ini merupakan akumulasi selama 12 bulan, bukan pendapatan bulanan.
Jika dibagi dalam hitungan bulanan maka mereka mendapatkan uang Rp.1.552.500,- setiap bulan. Jika dihitung harian, mereka mendapatkan pemasukan Rp.51.750,- per-hari.
Jika dipecah menjadi pendapatan individu masing-masing berpenghasilan Rp.25.875,- per hari.
Apa yang Anda tafsirkan dari angka di atas?

Tentu banyak muncul persepsi spontan. Mengapa bisa begitu? bagaimana mereka bisa cukup? Bagaimana dengan pemerintah?
Seketika itu juga muncul persepsi serampangan. Hal itu lumrah karena kehidupan orang desa tak sepenuhnya bergantung uang.
Bahkan dia harus bersyukur karena masih bisa bekerja dan tak kelaparan. Masih banyak orang yang lebih susah.
Ragam persepsi seperti itu wajar. Tapi ketika menulis ini, niat saya adalah mengajak Anda untuk hening sejenak.
Mengembangkan empati karena soal pendapatan ekonomi tak terpisah dengan urusan kerja, dan kerja adalah bagian dari budaya, atau jadi diri manusia.
Bahkan, jika diperluas sebagai urusan publik kenegaraan, masalah ini adalah masalah tanggung jawab keadilan sosial.
“Thick description,” kata Gilbert Ryle. Tebalkan atau kentalkan penjelasan tentang apa yang diketahui dalam realitas sosial.
Yang demikian itu bukan saja akan memperkaya pengetahuan, melainkan juga untuk mencari perlakuan yang tepat untuk suatu masalah.
Maka, terhadap rendahnya pendapatan, juga merupakan cermin.
Tentang apa? Cermin tentang “kelemahan hidup jutaan warga yang semestinya tidak terjadi karena kita punya negara yang demokratis, punya ideologi yang menyerukan keadilan sosial, juga punya agama untuk membawa misi luhur pembebasan ditambah lagi banyak sains dan teknologi yang bisa menjadi pilihan.”
Kisah keluarga Sulhi ini juga relevan dengan 26 juta jiwa penduduk Indonesia yang oleh pemerintah disebut golongan miskin.
Pengertiannya, orang miskin punya pekerjaan tetap, tetapi hasilnya tak cukup memenuhi kebutuhan dasarnya.
Maka, orang seperti Sulhi yang pekerjaan dan penghasilannya tak jelas itu bisa disebut fakir.
Sementara di sedikit di level atasnya–biasanya berpendapatan upah minimum regional–disebut golongan rawan miskin.
Jumlah orang berstatus rawan miskin di Indonesia tahun 2022 sekarang ini mencapai 115 juta.

Jika kita pakai cara pandang “hierarki” ala Abraham Maslow, maka dari total orang miskin dan rawan miskin yang jumlahnya mencapai 141 juta jiwa itu urusan hidupnya masih berkutat pada pemenuhan fisiologi.
Orang-orang yang hidup dalam usaha tercapainya kebutuhan dasar–katakanlah sebatas makan, pakaian, sekolah dasar anak–maka keadaan batinnya baru akan berada pada level mengamankan apa yang menjadi tuntutan itu (Safety Needs).
Pilihan Alokasi Donasi Untuk Pemberdayaan Orang Miskin
Selebihnya, untuk pemenuhan Sosial Needs, seperti hubungan keluarga yang berkualitas, persahabatan yang meluas dipastikan akan sulit tercapai. Itulah mengapa wajar jika muncul pendapat, “orang miskin identik dengan kesusahan.”
Melepas kesusahan orang miskin mesti menjadi prioritas pemerintah.
Jika tidak, jangan harap bangsa ini menjadi bangsa unggul karena keunggulan bangsa mensyaratkan kehidupan warga yang berada di level Esteem Needs (Kebutuhan Penghargaan) dan terpenuhinya Self Actualization (Aktualisasi Diri).[]
sumber, Koran Gala, Sabtu 10 September 2022. https://koran-gala.id