Ramadan bulan amal. Itu sudah luas diketahui masyarakat. Pertanyaannya, apakah jatah pembagian hak tersebut seluas dengan jumlah warga yang fakir atau miskin?
Beberapa bulan sebelum masuk Ramadan 2017, Odesa Indonesia data dari lapangan; terdapat banyak orang golongan fakir di perbukitan Kecamatan Cimenyan belum pernah merasakan mendapatkan pertolongan ekonomi. Dari 890 warga fakir yang didata Odesa Indonesia, terdapat 102 warga rutin menerima zakat fitrah setiap jelang Idul fitri. Terdapat 196 orang menyatakan pernah mendapatkan tapi tidak rutin (kadang-kadang). Dan sisanya, 592 orang belum pernah sekalipun merasakan mendapatkan bagian zakat fitrah atau bingkisan.
Validitas fakta ini tidak sekadar berbasis pertanyaan simple ala lembaga survei, melainkan melalui pendekatan komunikasi dan juga memverifikasi fakta-fakta lingkungan masyarakat sekitarnya. Mereka yang rata-rata mendapatkan bagian rutin karena tiga faktor, 1) ada orang yang lebih mampu dari tetangganya, 2) ada tokoh lokal yang mendapatkan zakat dari kota Bandung dan 3) ada kesadaran orang lain yang membagi kepadanya secara langsung yang kebetulan sedang lewat mendistribusikan bagian zakat.
Mereka yang tidak pernah mendapatkan zakat sekalipun kondisinya miskin, bahkan fakir, disebabkan karena faktor lingkungan. Kenyataan banyak di kampung-kampung Kecamatan Cimenyan, zakat fitrah ternyata tidak dilakukan setiap orang Islam. Fakta ini sesuai fenomena di mana urusan agama di desa-desa Cimenyan memang bukan sesuatu yang menonjol. Misalnya di bulan suci Ramadhan, sebagian warga tidak canggung merokok di jalan atau di depan rumahnya. Puasa atau tidak puasa bukan suatu masalah yang menonjol. Perempuan lebih banyak yang puasa, tetapi lelaki buruh tani atau kuli bangunan yang tidak berpuasa mudah ditemui.
Soal zakat fitrah mayoritas warga memang mengetahui hal itu merupakan kewajiban, tetapi pengetahuan tentang wajibnya adalah zakat fitrah dilakukan oleh orang kaya. Sebagian merasa wajib dan langsung menyalurkan ke tetangganya atau melalui masjid, sebagian lagi tidak melakukan.
Warga golongan ekonomi lemah yang ditemui Odesa Indonesia berjumlah 890 itu adalah murni kategori fakir, dengan rumus masuk kategori miskin parah karena tidak memiliki pekerjaan yang jelas, penghasilan tidak tetap. Kadar kemampuan konsumi mereka hanya antara Rp 150-250 ribu per kapita. Angka ini jika diukur dari hitungan BPS yang menghitung kemiskinan dengan sangat rendah di Kabupaten Bandung sekalipun, yaitu Rp 304.255, tetap berada di bawah hitungan. Artinya ada keparahan yang mendalam. Apalagi jika dihitung melalui standar World Bank yang merumuskan per orang di Indonesia disebut miskin jika penghasilannya adalah (kisaran) Rp 790.000 perbulan, jelas sangat memprihatinkan.
Amal sosial sebagai bagian gerakan sosial
Melihat kenyataan tersebut, Odesa Indonesia yang sejak awal pendirian memilih jalan kegiatan di perdesaan dengan pendampingan/pemberdayaan “terpaksa” harus aktif mengurus kegiatan Amal Sosial. Sebab semestinya kesenjangan yang parah seperti ini tidak terjadi di lokasi yang berdekatan dengan Kota Bandung. Bagaimana jika yang dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi saja warganya sangat tertinggal dan miskin serta terbelakang dalam pendidikan?
Amal Sosial dipilih menjadi salahsatu bagian strategi dalam pendampingan/pemberdayaan.Basis gerakannya bukan didasarkan untuk belas kasihan terhadap kaum papa semata, melainkan sebagai pintu pembuka dalam hal pendampingan lebih lanjut. Sentuhan-sentuhan kemanusiaan dilakukan bukan hanya dengan mengirim barang bantuan, melainkan menemui mereka di rumah-rumah gubuknya, mengajak bicara panjang lebar tentang kehidupan mereka, dan mencoba mencari celah untuk kemajuan ekonomi mereka.
Dalam aksi amal Sosial, odesa juga melibatkan warga sekitar, bahkan setiap aksi amal sosial selalu melibatkan remaja; sebagai sarana edukasi sosial: “membumi dalam kebersamaan.” Ketua Pembina Odesa Indonesia, Budhiana Karyawijaya berpesan dalam kegiatan Amal ini dengan prinsip untuk mendorong generasi muda agar kelak menjadi dermawan, memacu hidup sampai tahap sejahtera sehingga bisa membantu tetangga atau saudaranya yang ekonominya lemah.
Ketiban rezeki
Dengan adanya bantuan Amal Sosial itu, banyak dari mereka yang merasa ketiban rezeki dari langit. Ada yang bilang, “mimpi apa saya semalam?” “Tumben ada bantuan di luar pilkada.” Kenapa saat membantu tidak ada suruhan memilih A atau B? Mereka terheran-heran.
Sebagian dari mereka yang bisa mengapresiasikan secara lebih panjang ada yang bilang, “biasanya kami dapat kaos, itupun jelang coblosan.” Ada yang hanya kasih uang Rp 20.000 saat esok ada coblosan.”
Aksi Amal Odesa punya model dan tujuan yang pakem. Bantuan-bantuan tersebut dari warga Kota yang digalang secara terbuka melalui media sosial atau melalui jaringan komunikasi loby. Sayangnya, dari sekian ribu keluarga fakir ini belum semuanya bisa dijangkau karena stok bantuan tidak mencukupi. Semoga di luar Ramadhan nanti tetap ada bantuan yang terkumpul dan satu persatu dari mereka mendapatkan bagian.
Semua bantuan tersalurkan secara baik. Tidak ada pemotongan bahkan untuk distribusi, sebab pengurus Odesa Indonesia sejauh ini masih bisa iuran pengurus untuk mengawal bantuan. Selain itu, bantuan selalu tepat sasaran kepada warga yang kondisi ekonomi sangat parah. Janda/duda tua sakit-sakitan tanpa pekerjaan yang jelas yang sebagian hidupnya sering dibantu secara cuma-cuma oleh tetangganya, atau keluarga fakir yang tak jelas pekerjaan dan tak jelas penghasilannya.
Mereka yang menerima bingkisan atau zakat tampak cerita. Mereka sangat bahagia karena dalam beberapa hari beban ekonominya tertolong. Dan bantuan yang paling berkualitas memang semestinya harus diterima kelompok-kelompok ini; warga di perbukitan yang jauh dari hiruk pikuk jalan raya, hidup dalam kesepian di rumah gubuknya.-Faiz Manshur. Ketua Yayasan Odesa Indonesia.
Baca Akhir Ramadan dan Kesunyian Warga Pinggir Kota
Baca Orang Kota, Segeralah Mengabdi Pada Desa
Baca Kemiskinan Warga Kawasan Bandung Utara