Pentingnya pendidikan untuk anak usia dini

Melek Pendidikan, Jalan Untuk Menekan Angka Pernikahan Dini

Kasus pernikahan anak di bawah umur di Indonesia sudah mencapai tahap memprihatinkan. Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 menyatakan bahwa pernikahan dini anak usia <15 tahun dan kelompok usia 15 – 18 tahun sebesar 2,26% dan 19,24%, secara berurutan.

Pada tahun 2021, kasus pernikahan dini yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan mencapai 59.709 temuan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya angka pernikahan dini di Indonesia antara lain adalah keinginan untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, ketidakmerataan pendidikan, terjadinya kehamilan pra-nikah, dan faktor budaya atau agama.

Pernikahan dini telah banyak memberikan dampak buruk yang signifikan, khususnya bagi perempuan. Disproporsionalitas gender pelaku pernikahan dini antara perempuan dan laki-laki di Indonesia, menghasilkan tantangan baru bagi Indonesia untuk meningkatkan kesadaran adanya ketidakmerataan beban yang lebih banyak dilimpahkan bagi anak-anak perempuan kepada masyarakat.

Di sinilah, aspek pendidikan dapat dilibatkan dalam menanamkan paradigma baru mengenai gender dan seksualitas sedini mungkin. Pendidikan merupakan langkah preventif dan represif bagi anak-anak agar dapat mengenali kondisi fisiologis, psikologis, dan sosial secara komprehensif guna memahami efek negatif yang ditimbulkan dari pernikahan di bawah umur.

Pendidikan Menjadi Portal Penghambat Pernikahan Dini

Akses pendidikan yang merata menjadi salah satu jalan agar mengentaskan kemiskinan, meluruskan miskonsepsi dan stigma negatif masyarakat terhadap menunda pernikahan, dan memberikan ruang produktif bagi anak muda untuk melanjutkan hidupnya. Berikut ini paparan terkait pentingnya pendidikan untuk menekan angka pernikahan di Indonesia.

1. Pendidikan Non-formal

Pendidikan nonformal Sekolah Samin
Pendidikan nonformal Sekolah Samin

Pendidikan karakter dan pendidikan seksual yang dimulai dari lingkungan keluarga dapat membentuk pemahaman anak atas sebab-akibat terjadinya pernikahan dini.

Saat ini, cepatnya perkembangan teknologi membuat anak-anak usia sekolah dibombardir dengan bacaan dan tontonan yang meromantisasi dan menormalisasi kehidupan romantis dari pernikahan, meninggalkan pemahaman yang sempit tentang pernikahan. Di sinilah pentingnya orang tua untuk memonitor aktivitas anak dan melakukan banyak interaksi mendalam mengenai seksualitas, apalagi ketika anak sudah memasuki usia reproduksi.

Sudah saatnya, orang tua tidak terpatri dengan tradisi turun-temurun keluarga dalam membesarkan anak dan menjadikan isu-isu seksual dan gender menjadi hal yang tabu. Edukasi seksual penting diajarkan dari usia perkembangan sampai dewasa agar anak paham akan kendali atas dirinya dan mampu untuk berpikir lebih matang akan batas-batas interaksi antara perempuan dan laki-laki dan juga menentukan tujuan jangka panjang dari setiap keputusan, termasuk dalam pernikahan.

Tentunya, orang tua juga harus terus dibekali dengan ilmu parenting dan literasi yang tepat guna menerapkannya kepada anak nantinya. Ilmu parenting ini juga menjadi langkah preventif guna membantu mengedukasi pasangan belia atau calon orang tua yang sudah terlanjur menikah sehingga memutus rantai pernikahan dini di keluarganya kelak.

2. Pendidikan Formal

Pendidikan Sekolah Dasar di Indonesia
Foto: Yuliani Liputo/Pendidikan formal Sekolah Dasar di Indonesia

Bagi sebagian masyarakat pedesaan dan daerah tertinggal, pernikahan dini tidak hanya didasari atas kemiskinan, keterbatasan akses informasi, dan kurangnya pendidikan seksual, melainkan juga adanya internalisasi budaya dan stigma masyarakat yang menempatkan anak-anak untuk melanjutkan keturunan.

Normalisasi pernikahan anak di bawah umur ini menjadikan pernikahan bukan sebuah pilihan hidup namun memang skenario yang telah digariskan. Oleh karenanya, kemudahan akses pendidikan formal dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi akan memberikan keleluasaan bagi masyarakat daerah untuk menjalani hidup dan bahkan memberantas belenggu sosial yang mereka rasakan.

Kemudahan akses pendidikan tinggi, khususnya bagi perempuan, merupakan investasi jangka panjang nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari Jawa Pos, saat ini angka putus sekolah perempuan masih tinggi dan 12,27% di antaranya disebabkan oleh pernikahan dini sedangkan anak laki-laki disebabkan membantu ekonomi keluarga.

Data dari portal berita Universitas Airlangga menunjukan bahwa risiko pernikahan dini perempuan dengan pendidikan setara SLTA sebesar 0,396 kali lebih kecil dibandingkan perempuan dengan tingkat pendidikan di bawah SLTA dan 4 kali lebih rendah lagi pada perempuan yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk terlepas dari tekanan pernikahan dini.

Organisasi Girls Not Brides yang berfokus dalam memberantas pernikahan dini di dunia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kerugian lebih dari 170 juta Rupiah pada setiap pernikahan dini yang dilangsungkan. Hal ini disebabkan oleh tingginya risiko kematian bayi, stunting, gizi buruk, dan kemiskinan berkelanjutan dari pernikahan dini yang dapat berujung pada kualitas SDM yang rendah dan menurunkan produktivitas nasional. Dengan pendidikan tinggi, calon Ibu diharapkan dapat mengurangi risiko tersebut dan mengoptimalkan potensi perempuan sebagai penyokong generasi emas bangsa.

Edukasi Pernikahan Dini Bukan Hanya Tugas Pemerintah

Beberapa jenis pendidikan seksual dan edukasi pra-nikah untuk remaja yang disosialisasikan bersama Kantor Urusan Agama (KUA) dan dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah menjadi salah satu iktikad pemerintah untuk menekan angka pernikahan dini.

Saat ini pemerintah juga bekerja sama dengan organisasi nonprofit dunia, United Nations Children’s Fund (UNICEF) untuk mengangkat kesadaran akan pentingnya kesejahteraan hidup anak-anak melalui pendidikan dan menggencarkan riset/survei strategis dalam mengentaskan pernikahan anak. Walaupun begitu, anak muda juga memiliki peranan penting untuk membantu mengangkat isu-isu pernikahan dini secara lebih luas lagi yang dijabarkan sebagai berikut.

1. Mengikuti Kegiatan Sukarelawan di Daerah dengan Pernikahan Dini yang Tinggi

Kegiatan sukarelawan atau volunteer merupakan kegiatan yang menarik minat anak muda. Bukan hanya menawarkan pengalaman bekerja bersama masyarakat, namun juga meningkatkan soft skill berupa kepemimpinan, bekerja di dalam tim, komunikasi dan berbicara di depan publik, serta berpikir kritis dan inovatif.

Saat ini, terdapat konsep menarik berupa Voluntrip, di mana anak muda bisa membayar uang secara sukarela untuk mengikuti kegiatan volunteer di suatu daerah tertentu dengan aktivitas-aktivitas yang sudah terjadwal. Kemudian uang yang mereka berikan langsung disumbangkan kepada masyarakat atau komunitas yang membutuhkan. Voluntrip ini dapat mengangkat tema mengenai edukasi seksual dan pra-nikah untuk menggaet minat anak muda menjadi pengajar bagi masyarakat daerah tertinggal.

Baca juga: Ayo Menjadi Volunteer Pendidikan di Sekolah Samin

2. Berkampanye melalui Media Sosial

Anak muda sudah seharusnya menciptakan arus informasi belajar kapanpun dan dimanapun, termasuk di media sosial. Media sosal seperti Instagram, TikTok, X, dan Youtube dapat dijadikan ruang berkampanye untuk meningkatkan literasi bangsa terkait pernikahan dini. Kampanye dapat berupa konten infografis, video pendek, dan bahkan film yang dapat diakses oleh publik dan juga dapat menjadi konsumsi anak usia sekolah.

3. Menciptakan Aplikasi Interaktif Mengenalkan Pernikahan Dini pada Remaja

Kemudahan teknologi informasi dapat membentuk inovasi baru dalam melakukan sosialisasi pernikahan dini bagi remaja di sekolah-sekolah, salah satunya adalah membentuk aplikasi yang dapat memonitor pemahaman siswa mengenai reproduksi dan pernikahan.

Aplikasi ini nantinya berisi edukasi dasar dalam bentuk permainan level bertingkat dan dilengkapi survei singkat di akhir permainan untuk mempermudah analisis efektivitas sosialisasi. Tentunya, aplikasi ini dapat dikembangkan lebih jauh lagi seperti mengkoneksikan dengan tenaga profesional untuk menampung diskusi pengguna.

4. Menggerakkan Komunitas dan Organisasi Sosial

Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan komunitas anak muda setempat yang berfokus pada isu-isu seksual, reproduksi, dan parenting untuk membantu menyebarluaskan edukasi tersebut, baik pada daerah perkotaan maupun pedesaan yang berpotensi menimbulkan pernikahan dini. Tentunya, komunitas tersebut juga harus menjadi ruang aman bagi anak-anak korban pernikahan dini dan menjadi baris terdepan untuk menampung keresahan yang dirasakan anak-anak tersebut.

Baca juga: 15 Manfaat Organisasi bagi Anak Muda

Pernikahan dini di Indonesia saat ini mungkin masih dinilai meresahkan, namun hal ini tidak menjadikan penurunan angka pernikahan dini suatu hal yang mustahil dilakukan. Saat ini teknologi informasi membuka jalan baru bagi pendidikan agar masuk ke dalam wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit terjangkau.

Tentunya, dukungan seluruh lapisan masyarakat dan keterbukaan akan pemikiran baru akan mendukung berjalannya edukasi pernikahan dini di seluruh wilayah di Indonesia. (Nisrina Salsabila)

Admin: Fadhil Azzam Ismail

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja