literasi indonesia odesa

Literasi Indonesia Rendah: Butuh Cara Khusus Mengatasinya

Literasi Indonesia membutuh perhatian serius. Hakikatnya harus dipahami dan diterapkan dengan pendekatan empati.

Literasi Indonesia: Pengertian Hakiki dan Penerapan dengan Empati.
Literasi Indonesia: Pengertian Hakiki dan Penerapan dengan Empati.

Literasi Indonesia: Pengertian, Hakikat dan Tujuannya

Literasi berasal dari kata latin literatus yang artinya kegiatan belajar. Praktik literasi menjadi bagian penting dalam dunia pendidikan dan pada perkembangannya memiliki perluasan deskripsi, definisi hingga kontekstualisasinya.

Yayasan Odesa Indonesia sebagai lembaga swadaya masyarakat memiliki cara pandang khusus terkait dengan pengertian, hakikat dan tujuannya.

Literasi menurut Odesa Indonesia adalah, menuliskan yang telah dipahami dan mengamalkan apa yang sudah dituliskan serta menuliskan kembali apa yang telah amalkan.

Cara pandang ini merupakan produk pemikiran yang digulirkan oleh Faiz Manshur dan Remy Sylado.

Faiz Manshur adalah Ketua Yayasan Odesa Indonesia dan Remy Sylado selama 4 tahun sebelum wafat aktif menjadi training for trainer bidang jurnalistik bagi para relawan Odesa.

Video Remy Sylado Tentang Literasi dan Pertanian di Odesa

Melalui tulisan ini kita akan mengenal dunia literasi dari cara pandang organisasi Odesa Indonesia yang memiliki eksperimen praktik literasi yang dijalankan sejak tahun 2016 di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung Jawa Barat yang diperuntukkan untuk anak-anak petani, ibu rumah tangga petani, dan petani laki-laki.

Ada banyak pengalaman eksperimen literasi yang dilakukan Odesa Indonesia.

Khusus pada tulisan ini kita bicarakan dari salahsatu sumber tulisan esai yang ditulis oleh Faiz Manshur berjudul berjudul  “Hakikat Literasi”.

Naskah ini pernah diterbitkan di Harian Koran Gala Edisi Cetak dan dimuat juga di edisi Online dengan link Hakikat Literasi

Literasi Indonesia: Pengertian Hakiki dan Penerapan dengan Empati
Literasi Indonesia: Pengertian Hakiki dan Penerapan dengan Empati.

Praktik Literasi Indonesia Butuh Empati

Menurut Faiz Manshur, literasi bukan hanya sekadar kegiatan membaca buku. Tetapi, jika di dalam kegiatan literasi tidak menyertakan bacaan maka, hal tersebut patut dipertanyakan.

Dalam pandangan Faiz, seseorang yang tidak mengerti manfaat membaca adalah orang yang bodoh atau termasuk golongan jahiliyyah, dan yang tidak peduli bacaan, sekalipun sudah sarjana, orang tersebut masuk dalam golongan tuna literasi.

Di sisi lain, kemalasan dalam pelayanan peminjaman buku dalam kegiatan pembelajaran merupakan problem klasik. Hal tersebut menurut Faiz menjadi bukti para fasilitator atau guru kurang memiliki empati.

Faiz menyebut menjadi bagian dari persoalan empati karena masalah akses buku bacaan merupakan proses penting dalam usaha pemberadaban manusia.

Terdapat pula banyaknya penelitian yang menyatakan bahwa terjadinya kemiskinan yang menurun ke anak-anak juga disebabkan oleh rendahnya literasi pendidikan.

Serta banyaknya kisah tentang berhasilnya seseorang meraih hidup yang lebih sejahtera dikarenakan seringnya membaca bacaan yang tepat untuk memperbaiki pola pikir seumber daya manusia.

Kemiskinan dan kebodohan bukanlah bagian yang saling bertentangan sehingga kita harus sibuk menjawab apakah orang bodoh lalu miskin, atau sebaliknya.

Kenyataan yang terjadi adalah keduanya termasuk dalam masalah spektrum yang garis batas sebab dan akibatnya tidak jelas.

Oleh sebab itu, untuk memberantas kebodohan merupakan langkah penting karena, hanya dengan ilmu yang relevan dengan kehidupan masyarakat itulah taraf kehidupan akan lebih baik.

Penerapan Literasi Membutuhkan 2 Unsur: buku dan pendamping

Dari pengertian di atas, literasi kemudian dianggap sebagai cara yang paling mujarab untuk memperbaiki keadaan hidup seseorang.

Kehadiran buku bacaan menjadi penting di masyarakat. Karena itu jika ada kegiatan pendidikan, mestilah buku menjadi bagian penting dalam kegiatan ini.

Jika kegiatan literasi hanya dibatasi beberapa jam saja tanpa peminjaman buku, jelas itu sangat membatasi potensi anak untuk berkembang.

Sementara, jika disertai peminjaman buku maka, anak-anak akan bisa terus berliterasi di luar pertemuan dengan fasilitator.

Benar adanya bahwa, berliterasi tidak sekadar meminjamkan buku karena harus menyertakan pendampingan.

Tetapi sungguh lucu jika ada pendampingan, akan tetapi sang pendamping tersebut tidak melakukan tugasnya untuk mendampingi anak-anak saat membaca buku bacaan.

Jadi perlu diperjelas lagi, bahwa jika ada seorang pegiat literasi mengabaikan peminjaman buku, dan tidak mengusahakan agar anak-anak gemar membaca, jelas itu perilaku tidak berempati, kurang bertanggung jawab pada kemanusiaan dan juga setara untuk disebut orang yang kurang beradab.

Dalam hal strategi literasi, Odesa Indonesia kuat menekankan antara kehadiran buku dan pendampingan sebagai dua sisi mata uang yang saling berguna. Fundamental literasi ini berangkat dari dua pertanyaan mendasar:

Jika kegiatan belajar hanya dibatasi sebagai kegiatan menulis, menggambar dan menyanyi saja, lalu apa bedanya dengan praktik pembelajaran di sekolah biasa?.

Bukankah anak-anak desa di Indonesia itu terpuruk dalam pendidikan karena model pembelajaran di sekolah jauh dari spirit berliterasi secara tepat?.

Masyarakat Indonesia tergolong rendah literasi karena sejak masa anak-anak tidak mendapatkan praktik literasi secara tepat (komprehensif) mengakibatkan banyaknya generasi di Indonesia menjadi rendah mutu hidupnya.

Jika literasi dipraktikkan secara konsisten dengan pendampingan, niscaya akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Selama tujuh tahun Odesa Indonesia bergiat dalam literasi, telah memberi bukti, terdapat banyak anak yang suka membaca.

Bahkan yang tidak suka membaca pun sekarang berubah menjadi gemar membaca karena terus dikondisikan untuk dekat dengan buku bacaan.

Karena itulah Yayasan Odesa Indonesia selalu keras mengingatkan agar para guru atau fasilitator untuk tidak bosan melayani peminjaman buku dalam setiap kegiatan literasi.

Literasi Indonesia: Pengertian Hakiki dan Penerapan dengan Empati.
Literasi Indonesia: Pengertian Hakiki dan Penerapan dengan Empati.

Praktik Literasi Satu Minggu Minimal Satu Buku Bacaan

Tidak memberatkan apabila mengajak anak-anak membaca minimal satu buku dalam satu pekan. Jika, dilaksanakan secara konsisten selama satu tahun maka, seorang anak akan membaca empat puluh delapan judul buku.

Jika kegiatan ini dilakukan secara konsisten dipastikan anak-anak akan tumbuh berkembang menjadi lebih baik, Maksudnya lebih bermutu dari yang tidak melakukannya.

Bahkan kelak anak-anak desa ini akan memiliki pemikiran yang lebih bermutu dari para relawan yang hingga berusia dua puluh lima tahun pun, belum tentu tamat membaca hingga empat puluh delapan judul buku.

Yayasan Odesa Indonesia yakin bahwa terwujudnya kemanusiaan dan peradaban berlandaskan selalu dari praktik literasi yang tepat.

Pilar peradaban itu sendiri ada empat dan literasi merupakan sumber kekuatan terpenting bagi syarat tercapainya peradaban. Dapat dibaca lebih lanjut di sains ilmiah sejarahnya di sini Empat Pilar Peradaban. Baca di sini Literasi Terhubung dengan Peradaban

Tiga Komponen dalam Praktik Literasi 

Karena literasi tidak sekadar praktik belajar, juga bukan sekadar membaca, tak juga cukup hanya sebatas urusan tulis-menulis, maka penting apabila kita memiliki definisi yang memuat nilai esensial secara deskriptif.

Pada tahun 2014 silam, Faiz Manshur berdiskusi dengan Penulis Remy Sylado. Saat itu Faiz Manshur sedang mengedit buku sejarah kesusastraan karya Remy Sylado (Yapi Tambayong).

Video Remy Sylado Tentang Prinsip Literasi di Odesa

Remy menjelaskan inti dari literasi, sebagai kegiatan keilmuan yang semestinya bukan sekadar untuk membebaskan manusia dari buta huruf.

Ia mengatakan bahwa setelah bebas buta huruf harus bisa bebas menyatakan pendapat dan melaksanakan apa yang dibaca.

Atas pemikiran tersebut, Faiz membuat kalimat yang bisa menjadi rumusan filosofis sekaligus praktik dengan menyebut, “memahami yang dibaca”, “mengamalkan yang dipahami” dan “menuliskan yang diamalkan”.

Mendengar slogan tersebut, Remy setuju. Di dalam tiga unsur literasi itu terdapat argumentasi yakni sebagai berikut.

  1. Yang pertama, membaca bukan suatu tujuan, melainkan sarana untuk memahami ilmu. Jika seseorang membaca tetapi tidak paham, maka seseorang hanya akan berhenti menjadi pembaca tetapi tak akan kunjung tercerahkan.
  2. Yang kedua, pembacaan yang dipahami juga jangan sebatas berhenti paham, melainkan harus mengarah pada usaha merubah pola pikir atau mindset dan sekaligus perubahan perilaku. Dengan kata lain, praktik dan wacana harus selaras dan seimbang. Kita harus yakin, bahwa ilmu yang sejati itu bukan sekadar tahu, melainkan juga teramalkan. Ilmu tanpa amal bisa membentuk seseorang menjadi pintar tapi sering tidak berguna karena tidak disertai keberanian bereksperimen atau praktik. Kita butuh generasi yang selain pintar juga punya keberanian. Sedangkan, amal tanpa ilmu akan mengkondisikan aktivitas seseorang tak ubahnya hewan menjalankan aktivitasnya sebatas  bergerak atas dasar naluri.
  3. Yang ketiga, literasi selain harus menghasilkan paham dan mewujudkan praktik, juga semestinya menjadi bagian dari peningkatan mutu hidup seseorang dengan kemampuan menulis.

Nah, sobat Odesa, dengan tiga rumus yaitu membaca, praktik dan menuliskan, maka di situlah usaha pencerahan atau pendewasaan akal budi seseorang dapat benar-benar mencapai kualitas.

Terlebih dari itu, ketika kemampuan menulis seseorang terus dilakukan, produksi ilmu pun akan tumbuh berkembang. (Ariane Venus)

Yuk baca-baca materi lain dari literasi di sini:

Ragam Bacaan Tentang Literasi ada di sini

Tips Menulis dari Remy Sylado

Remy Sylado Kelor dan Lukisan

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja