Kerja-Budaya dan Budaya Kerja yang baru dibutuhkan untuk menjawab masalah dasar rakyat Indonesia. Pertanian harus dibangkitkan dengan strategi kebudayaan. Segenap sumber daya petani butuh perbaikan agar potensi alam desa berdaya guna.
Kerja Budaya dan Budaya Kerja Pertanian
Oleh Faiz Manshur
Ketua Odesa Indonesia
Pertanian dan kebudayaan merupakan dua sisi mata uang dalam kehidupan manusia. Kultur (culture) manusia tumbuh dari sektor agrikultur (agriculture). Di sini kebudayaan tumbuh berkembang dimulai dari urusan survival hidup. Watak khas budaya manusia pun tak lepas dari urusan ekonomi (tata kelola rumah tangga) yang cikal-bakal coraknya dari pertanian.
Zaman terus bergerak. Lahir corak ekonomi industri kasar dengan mesin uap. Dan ini kita telah memasuki corak ekonomi digital. Jika zaman pra industri segenap kultur selalu berkorelasi dengan urusan pertanian, sekarang hal itu tidak terjadi.
Strategi Kebudayaan dengan Kerja Budaya dan Budaya Kerja
Ada -bahkan lebih banyak urusan kebudayaan manusia- yang bisa lepas dari praktik pertanian. Spesialiasi pekerjaan dalam perdagangan telah menciptakan banyak manusia bisa bekerja tanpa harus lagi dengan tanah namun tetap terjamin kebutuhan pangannya, bahkan bisa lebih makmur.
Bahkan orang-orang yang mengaku pegiat budaya (kalangan pendidik dan seniman) pun bisa lepas dari praktik pertanian. Kegiatan pendidikan tercerabut dari sumber survival dasar manusia (pertanian). Begitu juga kegiatan budaya, hanya menjadi even kesenian yang eksklusif dan terpisah dari ekologi; tanah, air, bebatuan, satwa, botani dan lain sebagainya.
Fakta ini, pada tahun 1979 silam pernah dikritik oleh penyair WS Rendra dalam “Sajak Lisong”nya dengan ungkapan: Apa artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan? Apa Artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan?
Sekarang kehidupan manusia di planet bumi terancam serius. Istilah perubahan iklim (climate change) menyeret semua negara untuk berpikir serius mengatasi kerusakan ekologi dan membenahi ekonomi serta mengusahakan keadilan sosial.
Ingin Berkontribusi untuk Memajukan Budidaya Pertanian Petani? Berdonasi di sini
Fakta menjelaskan, bahwa ekonomi yang ugal-ugalan pada hanya memakmurkan satu kelompok tertentu tetapi menyengsarakan kelompok lain. Ketidakadilan sosial merajalela dan pada akhirnya kemajuan yang dicapai tidak melahirkan kebahagiaan secara merata.
Pada akhirnya semua sadar, pertanian harus urus karena tempat ini merupakan dasar tumbuhnya ekonomi keluarga. Keluarga adalah entitas utama masyarakat. Kuatnya entitas dari rahim oikos (rumah tangga) akan menentukan kekuatan masyarakat.
4 Pilar Kebudayaan Menuju Terwujudnya Peradaban
Jika kita kembali menengok sejarah tentang maju-mundurnya peradaban manusia, hal itu tak akan bisa lepas dari urusan pertanian karena peradaban hanya akan tumbuh dan kuat manakala terdapat 4 elemen kekuatan, yaitu 1) pangan, 2) satwa, 3) literasi, 4) teknologi.
Indonesia punya modal dari aset yang tangible (material) berupa alam yang kaya sekaligus intangible-nya berupa generasi untuk sebuah pencapaian membangun keadaban sampai muncul sebuah peradaban jika serius memperhatikan empat kekuatan itu.
Ini yang belum kita pikirkan secara serius. Pendidikan kita sampai saat ini hanya menghasilkan pekerja tanpa visi hidup, bahkan hanya mampu menghasilkan status/identias sosial. Pendidikan kita belum mengarah sebagai rekayasa untuk menghasilkan generasi paham dan sadar masalah sekaligus memiliki kemampuan mengatasi masalah.
Akibat salah urus dalam pendidikan inilah potensi pertanian dan potensi sumber daya kaum amburadul. Sumber makanan rakyat pun mayoritas bergantung pada negara lain sementara pada sisi lain banyak tanah mangkrak dan banyak generasi susah mendapatkan pekerjaan yang layak.
Sekarang kita masih punya sisa 40,64 juta petani. Itu artinya ada 29.96 persen. Kita masih harus bicara tentang pertanian dengan segenap fakta objektif (kelemahan) sekaligus menggali potensi untuk meraih kemajuan. Usaha memajukan pertanian dengan mindset kerja budaya sangat diperlukan tentunya.
Kerja-budaya (tentu saja berbeda dengan budaya kerja). Kalau kerja-budaya mengandaikan sebuah gagasan untuk melahirkan strategi tata-kelola hidup bermasyarakat, budaya-kerja lebih pada urusan pengembangan mental dalam dimensi praktis pekerjaan pada ruang-lingkup kolektif.
Antara kerja-budaya dan budaya-kerja saling berkait dan saling membutuhkan. Sebab rumusan-rumusan strategi kebudayaan yang akan kita kerjakan juga harus dimulai etos kerja.
Kerja Budaya Berbeda dengan Budaya Kerja: Pandangan Odesa
4 Nilai Budaya untuk Mengukur Kerja Budaya
Tetapi yang terpenting dari keduanya, kita butuh nilai-nilai dasar untuk alat ukur. Ada empat nilai yang saya ajukan di sini sebagai sebagai alat ukur menilai suatu budaya masyarakat. 4 nilai itu adalah 1) nilai ekonomi, 2) nilai sains, 3) nilai moral, 4) nilai seni.
Pertanian yang digarap dengan nilai-nilai kebudayaan akan menolong rakyat Indonesia dari bencana kemiskinan karena sumber-sumber primer untuk memenuhi kebutuhan biologis tersedia. Dari rahim pertanian itu kita bisa meraup sumber kekayaan berupa oksigen, serat, lemak, karbohidrat, protein, air, dan vitamin.
Gizi adalah kata kunci utama untuk dibicarakan menjadi sebuah persoalan penting karena ia -selain untuk terpenuhi hajat biologis manusia juga- merupakan faktor penentu kualitas akalbudi.
Fakta sejarah dan antropologi disertai data statistik telah memberi banyak kesaksian bahwa masyarakat yang kurang gizi dipastikan susah menemukan jalan keluar dari kesulitan hidup karena kualitas akalbudinya juga rendah.
Indonesia adalah contoh di mana masyarakatnya yang mengalami kelemahan gizi -termasuk stunting- yang penyebabnya berasal rendahnya konsumsi protein dan sayuran.
Tetapi kita punya potensi untuk mangatasi problem tersebut karena kita memiliki modal berupa struktur alam yang mendukung untuk sebuah pertanian yang solutif bagi pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia, termasuk satwa dan fauna.
Masih banyak keadaan alam desa dengan hembusan udara segar tiada henti, air bersih yang mengalir melimpah, tanah hitam yang subur memunculkan anekaragam hayati, julangan pepohonan yang menggelantungkan buah-buahan, dan petak-petak sawah dan ladang yang eksotik. Ini semuanya yang harus digerakkan lebih masif!
Dengan modal itu, sumber nutrisi yang kita dapatkan bukan semata zat gizi biologis, melainkan juga bisa memberikan “gizi lain” yaitu ilmu pengetahuan yang kaya untuk kemudian kita hubungkan dengan usaha mengatasi kemiskinan, mengatasi keterbelakangan pendidikan, dan juga mengatasi perubahan iklim.
Baca Juga
4 Landasan Stratagi Kebudayaan Indonesia. Tulisan Faiz Manshur di Katadata
Kita harus masuk kembali menemukan kebudayaan kita dari kekuatan tanah, air, udara dan api- yang semuanya telah ada. Keanekaragaman hayati yang kaya adalah sumber kemakmuran dan sumber ilmu pengetahuan terpenting.
Di sini kita butuh membangun cara pandang baru untuk memproduksi sumber pangan dengan; etos kerja baru, model kerja baru, dan orientasi baru untuk sebuah tujuan hidup yang baru dan lebih beradab..
Memang benar pertanian merupakan ladang mencari nafkah. Tetapi isinya tidak mesti hanya berupa tenaga kerja kasar rendahan dan pemilik tanah dengan mindset hasil sebatas panen biologis (sebuah hitungan untung rugi berurusan dengan pasar tradisional-konvensional)
Perlu cara lain dalam bertani dengan memasukkan ilmu pengetahuan baru, manajemen baru, dan juga melibatkan orang baru bisa menjadi awal menemukan jalan keluar.
Dengan memperkuat akalbudi mengelola ekologi dengan kerja pertanian yang baik kita bisa memanen output (memenuhi kesejateraan ekonomi terpenuhi) tetapi sekaligus mampu menemukan jalan baru yang sifatnya transformatif ke arah peraihan outcome dengan produktivitas lain seperti lahirnya ilmu pengetahuan dan lahirnya aktualisasi sosial. [Naskah ini dipublikasikan di Koran Gala Senin 8 Juli dan Senin 15 Juli 2024]
Budayawan Hawe Setiawan Bilang: Kerja Kebudayaan Paling Esensial ada di Pertanian.