Kemampuan menulis mesti ditumbuhkembangkan kepada anak-anak muda. Terutama mereka yang aktif dalam pergerakan sosial.
Menulis merupakan bagian dari kerja manusia untuk menghargai kehidupan. Karena itu, wajar jika salahsatu ukuran peradaban sebuah bangsa sangat berkaitan dengan kerja penulisan, atau literasi. Guna memicu perbaikan hidup di masyarakat, kegiatan menulis dan membaca harus diutamakan, terutama pada kelas menengah, terlebih lagi pada aktivis pergerakan.
Petuah-petuah bijak tersebut disampaikan oleh Enton Supriyatna, wartawan Senior yang juga pengurus Odesa Indonesia di hadapan belasan relawan Pergerakan Sekolah Ekologi Garut (Segar) saat mengikuti kegiatan Training of Trainer di Pasir Impun Desa Cikadut Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, Kamis 26 November 2020.
“Menulis harus dibiasakan, apalagi oleh aktivis pergerakan. Jika belum mampu menulis dalam bentuk jurnalistik, setidaknya harus mampu mencatat setiap kegiatan atau mencatat juga setiap objek yang dilihat. Kemampuan menulis pada relawan pergerakan adalah modal sosial yang paling penting,” kata Enton.
Menurut Enton Supriyatna, salahsatu tolak ukur peradaban manusia dinlai dari kemampuan menulis warganya. Indonesia tergolong rendah literasi karena urusan membaca dan menulis belum menjadi kebutuhan hidup masyarakat. Lahirnya bangsa Indonesia juga disertai dengan munculnya kekuatan-kekuatan aktivis pergerakan yang memiliki kemampuan menulis. Oleh sebab itu menurut Enton, para aktivis sekarang juga harus sadar akan pentingnya jurnalistik.
“Para aktivis harus bisa menjadi teladan dengan kemampuan menulis terutama tentang apa yang dilakukan dengan kegiatan sosialnya. Bagi aktivis pergerakan, menulis juga berarti propaganda dan sekaligus mencatat setiap persoalan kehidupan. Kalau kita punya kepedulian sosial tetapi tidak mampu menuliskannya, kita akan kerepotan kalau tidak mampu menulis, ” kata Enton.
Menjawab pertanyaan bagaimana supaya bisa menulis?, Menurut Enton, hal itu harus berangkat dari niat seseorang untuk berhasil dan berjuang tanpa lelah dengan membiasakan diri. Pembelajaran terbaik dalam urusan menulis adalah kebiasaan. Bahkan dengan kebiasaan menulis tersebut dampaknya juga akan terbiasa membaca karena memang dalam urusan menulis tak akan lepas dari kebiasaan membaca.
“Semakin rutin seseorang menulis, akan semakin berpeluang menghasilkan tulisan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Kalau ada keinginan orang mampu menulis tetapi tidak membiasakan diri berlatih setiap hari maka mustahil hal tersebut diwujudkan,” terang Enton.
Di Yayasan Odesa Indonesia tardisi menulis menjadi pilar penyangga pergerakan. Banyak pengurus di Yayasan yang aktif bergiat menyertakan kegiatan menulis. Sebut saja Budhiana Kartawijaya, Hawe Setiawan, Faiz Manshur, Asep Salahudin, Yuliani Liputo, Ahmad Baiquni dan lain sebagainya. Enton yang menjadi penanggungjawab Pendidikan Jurnalistik terus mendorong kaum muda yang aktif di Odesa agar tak lelah menulis.
“Saking seriusnya kami dalam jurnalistik diputuskan pembentukan kelas khusus pelatihan jurnalistik. Bahkan sekiankali pelatihan tidak mujarab, kita coba dengan cara lain. Salahsatunya adalah membentuk kelas cantrik jurnalistik,” kata Enton.
Pembelajaran cantrik Jurnalistik yang didesain Odesa Indonesia merupakan model kursus jurnalistik yang menekankan praktik jurnalistik di lapangan. Para peserta mengikuti senior wartawan terjun ke lapangan, dan kemudian melaporkan hasil kerjanya. Model pembelajaran seperti itu menurut Enton diterapkan seperti dirinya saat memimpin kegiatan jurnalistik di tempat kerjanya, Harian Pikiran Rakyat. Dengan kata lain, para mahasiswa yang sedang belajar tersebut bekerja langsung menjadi reporter. Berhasilkan teori itu diterapkan?
“Kalau soal keberhasilan pasti ada. Hanya saja levelnya berbeda-beda. Keberhasilan paling dasar yang mudah dilihat adalah kemampuan para peserta melihat kesalahan dalam penulisan. Keberhasilan kedua, para peserta bisa membedakan beragam jenis tulisan dan tidak mencampuradukkan satu jenis tulisan dengan jenis tulisan lain,” kata Enton.
Para peserta jurnalistik juga lebih mengenal cara kerja yang lebih praktis. Menghindari inefisiensi dalam menulis menjadi penting dimiliki para peserta karena dengan bekerja lebih efektif akan terhindar kefrustasian. Dengan praktik “magang” tersebut para peserta juga tidak bingung lagi tentang ide, sebab ide bisa mudah dicari dan tidak mengambinghitamkan kekosongan pikirannya dengan menyatakan “tak punya ide,”. Hanya saja pada level lebih lanjut, yaitu kebiasaan menulis setiaphari masih menjadi kendala. Menurut Enton, problem kebiasaan ini sudah di luar urusan teknis.
“Kita harus bersama-sama mencari solusi dalam hal kebiasaan. Adik-adik mahasiswa ini sudah terlihat berhasil dalam waktu 6 bulan menulis. Tapi mengapa tidak produktif dalam menghasilkan tulisan? Rupanya masih perlu dicambuk,” terang Enton.
Sesi Training of Trainer yang dilaksanakan Yayasan Odesa Indonesia pada kesempatan itu juga dihadiri oleh Budhiana Kartawijaya (Ketua Pembina Yayasan Odesa Indonesia) yang mengisi materi pembelajaran empati dan strategi gerakan sosial. Hadir juga pengurus lain Yayasan, yaitu pelukis Herry Dim yang mengisi materi ekologi. Odesa.id
Cantrik Jurnalistik Odesa, Model Pembelajaran Aktif Jurnalisme