Oleh Faiz Manshur
Ketua Odesa Indonesia
Poster monyet tertawa sedang makan pisang dengan narasi “seperti dirimu hobi makan tak pernah menanam” ini punya tujuan mengigatkan kita bahwa secara ontologis manusia memiliki perbedaan dengan hewan dalam cara survive.
Letak perbedaannya, manusia bisa merekayasa tanaman dengan cara intensif dan ekstensif. Sementara hewan hanya bisa mengembangkan makanan dengan pola “alamiah” (menyebarkan benih setelah dimakan dan membantu pemupukan dengan kotoran yang dikeluarkannya).
Poster yang didesain oleh Kezia Holly, mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Petra Surabaya dengan teks dari saya, itu bermaksud menyampaikan pesan bahwa menanam merupakan kerja kebudayaan manusia.
Sebab, awal mula terbentuknya kebudayaan manusia (culture) lahir dari pertanian (agriculture). Sampai zaman modern ini manusia masih butuh tanaman karena belum ada fakta manusia bisa memenuhi kebutuhan pangan yang didapat dari sumber lain-selain tanaman.
Mengandalkan daging saja tak cukup. Bahkan protein hewani pun harus didapat dari ternak yang massif dan itu hanya mungkin terwujud jika terdapat pertanian yang kuat (intensif, ekstensif dan ekologis).
Fakta menunjukkan, bangsa yang lemah mengembangkan tanaman akan rapuh. Contohnya adalah bangsa kita, Indonesia. Mayoritas sumber pangan rakyat Indonesia berasal dari negeri lain (impor). Sampai saat ini kita hanya bisa menjadi konsumen, belum mampu menjadi produsen.
Rakyat Indonesia miskin karena pemerintah tak bisa memajukan pertanian. Karena kemiskinan pula banyak generasi putus sekolah dan lemah dalam aktualisasi sosial. Mayoritas urusan hidup rakyat Indonesia masih fokus pada urusan pemenuhan kebutuhan biologis; suatu perilaku yang tak jauh dari pemenuhan hewani.
Dampak lainnya, rakyat kurang gizi. Hal itu dibuktikan oleh data rakyat Indonesia rendah konsumsi buah, rendah konsumsi sayur dan rendah konsumsi protein.
Hobi Makan Mestinya Hobi Menanam
Menanam adalah urusan kebudayaan. Barangsiapa yang tidak memperhatikan tanaman bisa dinilai sebagai orang yang kurang beradab. Kalau tak bisa kegiatan menanam praktis seperti yang dilakukan petani, kita bisa terlibat dalam gerakan filantropi dengan mengusahakan modal bibit bagi petani. Para petani bisa kita jadikan mitra agar bekerja memproduksi pangan dan sekaligus menjadi aktor ekologi.
Urusan menanam harus dijadikan sebagai urusan bersama, dengan membangun cara pandangan baru gerakan kebudayaan. Kita harus meninggalkan mindset lama bahwa kebudayaan adalah pentas kesenian. Kita pun harus melampaui visi pemerintah di era sekarang ini (Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No 5 tahun 2017) dengan menempatkan tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa dan ritus.
Bahwa Undang-Undang ini selangkah sudah maju itu bagus, tetapi dalam pandangan saya, kebudayaan esensial mestinya menyertakan pandangan yang lebih visioner meliputi penguatan pangan, pengembangan satwa, penguatan literasi dan penguatan teknologi.
Kebudayaan mestinya dilihat sebagai proses transformasi dari apa yang dijalani rakyat (tradisi) ke arah budaya dan diarahkan untuk sebuah pencapaian peradaban dengan mengacu pada empat nilai, yakni nilai ekonomi, nilai sains, nilai moral dan nilai seni.
Visi budaya dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No 5 Tahun 2017 memang bisa lebih menggairahkan peran negara dalam memajukan kebudayaan. Tetapi dalam upaya memajukan mindset pemikiran jelas itu tak cukup. Masih terdapat lubang kelemahan yang harus ditambal karena masih terkungkung dalam pemikiran homo sentris, belum ke level ekosentris.
Semestinya dalam proses usaha memajukan kebudayaan kita bicara kerja budaya yang mendasar dengan melibatkan cara pandang interdisipliner. Hal yang paling dasar dalam kebudayaan itu adalah pangan, ternak, literasi dan teknologi.
Karena pangan merupakan segmen mendasar yang harus dilakukan dalam setiap kerja kebudayaan, maka kerja budaya yang paling mendasar mesti mengarah pada usaha pemberdayaan agar petani mendapatkan banyak kesempatan sebagai produsen pangan sekaligus aktor ekologi.
Mindset Kerja Budaya. Butuh Kerjasama Lintas Spesies
Di Indonesia, masih ada 45 juta petani, dan itu bisa menjadi aktor kebudayaan karena bisa mengerjakan tindakan produksi pangan sekaligus ekologi. Dengan memprioritaskan petani sebagai pekerja budaya, kita akan beruntung karena bisa memanen dampak positif yang banyak meliputi pendidikan ekologi, pendidikan pangan, pendidikan wirausaha desa.
Bahkan gerakan wisata desa akan lebih bagus dari sekadar kegiatan hura-hura mencari kenikmatan sesaat tanpa manfaat edukasi. Wisata desa baru bisa menjadi bernilai dalam dimensi kebudayaan manakala di dalamnya memuat nilai edukasi pangan dan ekologi.
Potensi Tanah Desa untuk Pangan dan Ekologi
Di desa-desa banyak sekali para petani yang lahannya sering menganggur. Salahsatu sebab mendasarnya karena minim jumlah tanaman. Jenis tanaman monokultur yang terikat dengan musim tertentu menyebabkan kekosongan kerja. Hal itu akan berubah manakala ladang-ladang pertanian lebih bersifat polikultur.
Ada banyak ladang petani yang kosong. Bahkan yang sudah jadi lahan pertanian pun masih bisa ditambah jenis tanaman buah-buahan seperti mangga, nangka, sirsak, durian, srikaya, manggis, jambu, jeruk, pepaya, termasuk jengkol, pete dan kelor.
Konsep pertanian monokultur (hanya menanam jenis komodisi seragam) adalah bentuk pertanian yang terbelakang dan merusak lingkungan. Sudah saatnya diganti dengan pola pertanian polikultur dengan menanam anekaragam rajam jenis tanaman penghasil pangan baik jenis tanaman pendek, menengah dan tinggi.
Mari Berdonasi untuk Kemajuan Kebudayaan dengan Membantu Petani Mendapatkan Bibit Tanaman
Kerja Budaya Melibatkan Tanaman
Semua orang harus mengenal, memahami dan memiliki empati terhadap tanaman karena di situlah sumber udara, air, dan kerja fotosintesis yang membuat kita bisa bahagia dalam menjalani survival hidup.
Tanaman pangan harus ditancapkan sebanyak mungkin karena potensi tanah kita benar-benar subur. Dari sinilah sebenarnya kita harus mulai menancapkan mindset kerja budaya dengan menaruh perhatian atas pentingnya gerakan pembibitan di setiap desa.
Satu Desa Satu Pembibitan Sebuah Terobosan Untuk Kebudayaan Indonesia
Odesa Indonesia punya gagasan menggulirkan agar satu desa satu pembibitan. Ini penting dengan banyak alasan yang mendasari.
1) Setiap tanaman akan lebih mudah tumbuh manakala berhasil beradaptasi di lingkungan barunya. Karena itu lebih utama jika setiap bibit diusahakan dari masing-masing lokal. Menyemai benih menjadi bibit adalah cara terbaik bagi perkembangan spesies tanaman karena bagaimanapun tanaman membutuhkan adaptasi untuk survival.
2) Usaha pembibitan pertanian akan menimbulkan efek sains botani dan kewirausahaan tani. Dengan munculnya spesialis pembibit tanaman itu, secara otomatis akan tumbuh keahlian, bahkan kepakaran tradisional yang berpeluang menciptakan sebuah nilai dan ilmu baru dalam praktik pertanian. Adanya ahli atau spesiali pembibitan akan memicu lahirnya perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus lahirnya peluang kegiatan kewirausahaan baru karena apa yang dihasilkan dari kerja pembibitan akan diperjualbelikan.
3) Usaha pembibitan di setiap desa sangat dibutuhkan bagi gerakan yang lebih massif karena karena selama ini masalah bibit tanaman dihambat oleh problem mahalnya harga akibat matarantai perdagangan yang jauh. Transportasi yang jauh menyebabkan harga bibit mahal sehingga petani sangat minim mendapatkan akses tanaman. Jauhnya bibit tanaman dari para petani merupakan problem yang harus diatasi segera dengan mengusahakan gerakan pembibitan dengan rumus satu desa satu pembibitan.
Monyet Bisa Makan Tanpa Menanam dari Hasil Esktratif
Video Gerakan Ekologi dan Pangan Odesa Indonesia di Bandung Utara