Sehari sebelum acara Pameran Lukisan digelar, saya sowan ke Senior saya, Kang Herry Dim, di Studio Pohaci Cibolerang Bandung. Seperti biasanya, saya selalu membawa “laporan” rekap kegiatan Yayasan Odesa Indonesia. Sebagai senior kami di Odesa, Kang Herry Dim selalu saya berikan ikhtisar kegiatan Yayasan Odesa, terkait tiga persoalan utama yang diusung Odesa Indonesia, yaitu Pendidikan, Ekonomi dan Kesehatan.

Kang Herry pada Jumat, 10 Agustus 2018 menggelar pameran lukisan dengan mengambil tajuk pameran tunggal “Saat 64”. Dialog dengan Kang Herry adalah hal yang penting bagi kami karena beliau juga salahsatu pendorong kegiatan Odesa Indonesia, bahkan melibatkan istrinya, Ibu Ine Arini (penari). Hadir juga seniman Mukti-Mukti, Ibu Ken Zuraida, Acil Bimbo, Jais Darga, dll. Kami berdialog soal program kegiatan, dan selebihnya visi kersenian yang kita hubungkan dengan realitas keindonesiaan.
Dan malam itu kami menajamkan gagasan-gagasan penting terkait pentingnya kesadaran kelas menengah agar berperan aktif dalam lapangan kebudayaan. Kami memiliki visi, pandangan tersendiri dalam hal kebudayaan. Ia harus dikelola bukan semata dengan aksi kesenian konvensional, melainkan harus terhubung pada empat pilar peradaban, yaitu Pangan, Ternak, Literasi dan Teknologi.
Kebudayaan bagi kami adalah ruang aktualisasi bermasyarakat. Sedangkan peradaban adalah idealitas yang harus dituju. Dasar kerja kami, apapun bentuknya, harus terhubung pada empat pilar peradaban itu.
Karena acara Pameran Lukisan tersebut juga mengkaitkan dengan Penyair Ws.Rendra, karib Kang Herry, kami pun juga banyak mengapresiasi visi kepenyairan Ws. Rendra. Saya maupun Kang Herry Dim punya pandangan yang kurang lebih sama dalam memandang kiprah Almarhum Rendra, apalagi jika dihubungkan dengan gerakan Yayasan Odesa Indonesia.
Kalau diringkas kurang lebih begini: Rendra adalah sosok menaruh perhatian besar pada soal “pemiskinan” dan kehidupan orang-orang prasejahtera. Rendra sangat sensitif pada persoalan ketidakadilan. Rendra tak henti-hentinya mendakwahkan laku hidup, agar kelas menengah berpendidikan turun ke lapangan, mengurus kehidupan orang-orang sengsara, terutama para petani dan golongan yang mengalami marginalisasi korban kekuasaan politik maupun korban modernisasi. Rendra adalah sosok yang tangguh dalam urusan ilmu pengetahuan. Bagi Rendra kesenian adalah alat, bukan tujuan. Alat pun bukan sekadar alat, apalagi sekadar karir atau aktualisasi persolekan kelas menengah. Rendra sangat teguh memegang kesenian sebagai alat perjuangan, sarana pembelaan terhadap mereka yang mengalami kesengsaraan hidup. Sekalipun bukan petani, ia berbicara masalah nasib petani karena ia sadar tugasnya sebagai penyair adalah menyuarakan persoalan hidup masyarakat lapisan bawah. Rendra percaya bahwa pembangunan sumber daya manusia adalah ikhtiar paling penting yang harus dilakukan oleh siapa saja yang menginginkan perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Itulah mengapa Rendra senantiasa mengingatkan agar pembangunan harus berpihak kepada kemanusiaan; politik harus mengabdi kepada kemanusiaan.
Spirit Rendra banyak mempengaruhi kehidupan Kang Herry Dim. Kang Herry ini bukan seorang pelukis yang sibuk di kamar. Ia beraktivitas di lapangan yang luas melampaui “profesinya” sebagai pelukis.
Ia lebih menonjol sebagai orang pergerakan, karena aksi-aksi sosialnya bukan semata karena demonstrasi, melainkan lebih pada usaha untuk pembangunan manusia yang berkelanjutan. Saya bersyukur bisa menyatukan visi kesenimanan kang Herry Dim dengan gerakan kami di Odesa Indonesia. Panjang perkenalan kami menjadikan kami paham masing-masing harus mengambil peran.
Kang Herry sebagai pelukis memang berbeda dengan Kang Abdul Kabayan (Enton Supriyatna) yang wartawan dan Pak Budhiana Kartawijaya (peneliti dan wartawan), juga berbeda dengan Mang Hawe Setiawan (pemikir kebudayaan), jauh juga berbeda dengan Basuki Suhardiman, teknokrat dari ITB, berbeda juga dengan Pak Nashir Budiman (Pengurus Senior Salman ITB), dan berbeda dengan para pegiat Pegiat Odesa yang lain.
Namun kami memiliki kesadaran yang sama, bahwa semua urusan hidup ini harus memiliki skala prioritas. Bangsa ini susah maju dan kalut karena negara tidak bergerak sebagaimana mestinya membawa visi respublika.
Salahsatunya karena aktor-aktor politik negara ini mengabaikan sila Keadilan Sosial. Odesa Indonesia berdiri dalam ruang kepancasilaan dengan mengutamakan sila kelima. Kami memberi skala prioritas untuk mengawal pergerakan dengan menjadikan sila kelima dari Pancasila karena melihat banyak dari kelas menengah yang lemah bergerak dengan membawa amanat keadilan sosial tersebut.
Karena alasan itu kami sadar bahwa di Bandung harus ada gerakan yang kuat dan konsisten dalam menjawab problem masyarakat lapisan bawah. Dan kami mendapatkan tempat, di Cimenyan dan sekitarnya, sebuah kawasan di pinggir kota Bandung yang kehidupannya muram durjana karena ketidakadilan sosial merajalela.

Seni Sosial
Kang Herry Dim dan teman-teman seniman yang lain di Bandung adalah bagian penting dari gerakan Odesa Indonesia. Kesenian adalah penting karena ia media terbaik untuk gerakan transformasi sosial. Dan kita tak hanya berkesenian untuk kepentingan persolekan kelas menengah.
Kesenian kita bukan semata melukis di kertas kosong atau mengores pena untuk kemudian diolah menjadi buku sementara isinya tidak menjawab persoalan masyarakat marginal.
Kesenian kita adalah melukis persoalan hidup rakyat, menggores pena yang sumbernya dari kenyataan hidup rakyat kemudian menjadikan sebuah “kitab” gerakan sosial; menciptakan model-model inovatif guna mengatasi persoalan kemiskinan dan pemiskinan.
Gerakan Odesa Indonesia dengan semangat Organizer, Organik, hingga Online Desa adalah gerakan kesenian; seni mengatasi krisis air, seni mengatasi krisis pangan, seni mengatasi krisis ekologi, seni mengatasi pembodohan politik, seni membangkitkan budaya ekosistem, seni mengubah sumberdaya manusia melalui Sekolah SAMIN (Sabtu-Minggu), dan seni membawa perubahan sosial ke jalan virtue, jalan republikan yang sejati.
Kita bergerak atas kesadaran untuk perubahan atas realitas-realitas yang buruk dalam masyarakat. Amal sosial, pendidikan, penguatan ekonomi keluarga petani kecil (golongan peasant) sudah kita temukan jalannya.
Lalu kita pun menanam kelor, bunga matahari, sorgum, hanjeli, dan beragam jenis tanaman pangan dan tanaman herbal untuk kekuatan pangan rakyat. Dan tidak lama lagi kita akan membumikan gagasan seni kosmogoni sebagai solusi ekonomi para pengangguran.
Selamat Ulang Tahun Kang Herry Dim. Panjang umur, dan kita terus melaju membawa visi ini ke dalam tindakan konkret, transformasi sosial. Kita akan selalu banyak tombok dalam kegiatan yang telah kita lakukan ini, tetapi percayalah kita tidak akan rugi.
Larangan agama kita bukan untuk terhindar dari tombok, tapi terhindar dari kerugian. “Janganlah kamu jadi orang merugi”, bukan “janganlah kamu jadi orang menombok.” Dan mari bertombok-tombok selalu agar kita tidak merugi. []-Faiz Manshur.
Komentar ditutup.